Amelyce Sarradictz.
Gadis itu terus fokus memperhatikan setiap bait kata yang ditulisnya menjadi sebuah coretan, kebiasaannya sebelum mengetik cerita, Amelyce harus menuangkan ide terlebih dahulu di atas kertas.
"Elyce, bolehkah Bibi masuk?" Suara Bibi Jessica terdengar dari luar, dia mengetuk pintu pelan.
"Ya, Aunty," jawab Amelyce sembari berjalan menuju pintu kamar yang terkunci untuk membukanya. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, namun mata gadis itu sulit sekali untuk diajak bekerja sama. Lebih tepatnya dia mengalami insomnia sudah dari dua bulan yang lalu.
"Bibi sudah menduga kau belum tidur," tebaknya.
Amelyce hanya mengulas cengiran kecil, dan menjawab, "Hehe iya, Aunty."
Bibi Jessica nampak tersenyum dan berjalan beriringan dengan Amelyce ke arah meja belajar. Dia meletakkan nampan berisi segelas susu cokelat hangat dan buah apel.
"Terima kasih, Aunty."
"Setelah ini langsung tidur! Jangan terlalu larut. Lihatlah kantung matamu sudah seperti panda," nasehat Bibi Jessica sambil membelai rambut gadis itu pelan.
"Okay, Aunty," jawabnya sambil mengacungkan ibu jari dan tersenyum hangat.
"Baiklah, awas saja jika kau berbohong pada Bibi!" sahutnya. Setelah itu Bibi Jessica pergi meninggalkan Amelyce seorang diri.
Dia menutup laptop, hanya lampu tidur yang dibiarkan menyala. Dia mulai meminum cokelat hangat sambil sesekali memijat tengkuknya yang terasa pegal. Satu hal, Amelyce tak suka memakan apel yang masih ada kulitnya, jadi dia mengupasnya terlebih dahulu. Saat gadis itu asik mengupas apel, tiba-tiba saja listrik padam.
Semuanya menjadi gelap.
"Akhhh...," Amelyce merasa jarinya perih. Sepertinya terkena sayatan yang cukup dalam. Sial! Karena listrik padam semuanya menjadi gelap. Satu tangannya berusaha mencari handphone di atas meja. Cukup lama Amelyce meraba atas meja, sampai akhirnya benda pipih itu berhasil didapatkan.
"Alright, akhirnya ketemu."
Entah mengapa lama-kelamaan, rasa luka sayatan itu sangat perih, Amelyce merasa sepertinya tadi tidak tergores dalam. Untuk memastikan, dia menyalakan flashlight handphone dan menyenteri tangannya.
"Darah!" pekiknya dengan wajah menegang.
Mata gadis itu melotot saat melihat darah sudah menetes banyak diatas kertas coretan tadi. Padahal kalimat yang tertulis disitu sangat penting untuk cerita yang sedang Amelyce buat. Sekarang kertas itu sudah ternodai oleh darahnya sendiri.
Amelyce tak tau mengapa seketika saja hatinya merasa tak enak, bulu kuduknya meremang. Seperti ada yang mengganjal, ada yang aneh. Mengapa darah itu nampak memudar diatas coretan kertas, tak mungkin kan kertas itu menyerap darahnya?
"Why?" gumam Amelyce.
Anehnya lagi tulisan dikertas itu menghilang, layaknya tak pernah ada tulisan disana. Dengan detak jantung yang berpacu cepat, dia memberanikan diri mengambil kertas coretan di atas meja, memastikan apakah itu hanya sekadar halusinasi.
"Ini ... benar-benar aneh, sungguh aneh!" Dia mengacak rambut frustasi dan meremas kertas itu, lalu membuangnya kesembarang arah.
"Sial! Karena cerita ini, semuanya menjadi tak masuk akal!"
"Arghhh! Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Elyce! Buka pintunya!" Pergerakan jari Amelyce yang terus berkutat di atas tombol laptop terpaksa dihentikan. Gadis itu memijat pelan pelipisnya yang berdenyut, seharian ini dia harus terburu mengejar waktu untuk menyelesaikan naskah cerita yang sedang dibuatnya. "Elyce! Apa kau tuli, hah!" Suara gedoran pintu itu benar-benar membuat Amelyce muak. Dia sangat membencinya, jika saja dirinya tak tinggal di rumah milik paman dan bibinya, mungkin sudah dari dulu gadis itu membunuh pria tua itu. Dia hanya bisa merengek pada Amelyce, meminta bekerja ini-itu hanya untuk memuaskan hasratnya yang suka mabuk, berjudi, dan bermain wanita. Amelyce tak habis pikir dengan bibi Jessica yang masih bertahan dengan manusia bejat seperti paman Jake. Kalau saja dia jadi bibinya, mungkin Amelyce sudah pergi meninggalkannya dan mencari pria kaya dan baik di luar sana. "Sebentar, Paman! aku a
Gadis itu terbangun dengan nafas tersengal serta peluh keringat yang mengalir dipelipis serta dahinya. Saraf-saraf otak Amelyce belum sepenuhnya berfungsi. "Apa itu tadi? Mimpi?" lirih Amelyce. Itu terasa nyata, terakhir kali dia bermimpi dua minggu yang lalu. Rangkaian memori alur itu selalu tersambung bagaikan cerita yang Amelyce buat. Tapi, dia tak merasa ada bagian itu yang diketiknya di cerita Dark Side. Amelyce mengikat rambut asal lalu berjalan kearah meja, jam sudah menunjukkan tengah malam. Hampir saja dia kelupaan dengan rencananya tadi pagi. Gadis itu membaca ulang dari awal, bacaan itu terus bergulir sampai bagian akhir. Sebenarnya Amelyce kurang yakin dengan akhir cerita yang dibuatnya, selama menulis cerita, hampir setiap malam gadis itu bermimpi hal aneh di luar akal sehat, awalnya dia mencoba tak peduli, tapi entah mengapa alur mimpi itu semakin hari seperti tersambung bagaika
Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Liburan musim panas sudah berakhir. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari kelas mereka atau hanya sekadar bersenda gurau, berkumpul, dan mengitari kawasan lingkungan Universitas untuk melihat keindahan arsitektur bangunan Harvard. Tahun ini umur Amelyce sudah menginjak sembilan belas tahun. Menjadi mahasiswi tahun kedua di Harvard bukan hal yang bisa dibuat bermain dan bersantai lagi. Sebelumnya tak pernah gadis itu bayangkan jika dia bisa menjadi salah satu mahasiswa Harvard, yang menempati posisi universitas terbaik di dunia dan tentunya sangat bergengsi. Amelyce memilih masuk jurusan seni dan sains, awalnya dia sedikit ragu, tapi berhubung otaknya cerdas, jadi mudah baginya untuk berada di fakultas ini dan mendapatkan beasiswa. Amelyce menopang dagu dengan kepalan tangan, jarinya asik mengetuk-ngetuk meja pelan. Pikirannya masih berkelana pada kejadia
"Apa maksudmu, hah!" William membentak, dia berdiri di depan Amelyce layaknya pelindung. "Menyingkir dari hadapannya!" jawab pria itu dingin penuh penekanan. "Pengecut! Lewati aku dulu sia—!" Ucapan William terpotong. William terpental cukup jauh, jatuh tersungkur di atas lantai, sebelum itu punggungnya lebih dulu terbentur meja panjang. Sedangkan yang lain hanya bisa diam membisu tak berani melerai takut terkena imbasnya juga. Amelyce langsung bersimpuh di dekat William, sudut bibir pria itu terluka. Dia meringis menyentuh pundaknya, Amelyce yakin bagian itu sangat parah. "Are you okay, Will?" Gadis itu bertanya lirih mencoba membantu William berdiri. Namun, pria itu menggeleng pelan seolah memberi tahu bahwa dia baik-baik saja dan itu membuat Amelyce semakin merasa bersalah. Dia melirik adiknya, Peter. Tubuh Peter bergetar
Angin sore berhembus, langit sudah berubah jingga. Kawanan burung bertebrangan menuju sarangnya. Dari atas gedung Amelyce dapat mendengar lalu lalang kendaraan lewat. Dia duduk bersandar di kursi yang masih layak dipakai dekat tumpukan kursi dan meja tak terpakai lainnya. "Ini ... benar-benar tak masuk akal. Apa maksudnya...." "Membutuhkanku?" lirihnya. Amelyce merogoh saku untuk mengambil permen batangan yang sempat dia beli waktu di kantin tadi lalu mengemutnya. Pikiran gadis itu masih tertuju pada kejadian barusan. Dia? Sebenarnya siapa? Wajah itu mengapa mirip seperti ciri-ciri salah satu karakter di cerita Dark Side. "Ah sepertinya otak ini mengalami depresi serius akibat dipaksa belajar terus menerus." Amelyce berucap meyakinkan bahwa itu tak pernah terjadi. Di zaman modern begini hal di luar akal sehat tentunya tak mungkin terjadi. Dia melirik arloji yang melingk
Semuanya terasa gelap, hening, dan sepi. Amelyce merasa dirinya sudah mati tenggelam ke dasar danau. Tubuhnya terasa ringan dan kaku bersamaan. Di sana, ada sebuah lorong kecil mengarah ke cahaya putih. Sejenak gadis itu terdiam menatap kosong ke arah sana, apakah dia benar sudah tak bernyawa lagi. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati lorong menuju cahaya yang bersinar terang. Perlahan tapi pasti, Amelyce sudah hampir sampai, senyumnya mengembang. Hingga ada suara asing memanggil nama gadis itu berulang kali dari arah belakang. Awalnya tak peduli. Namun, suara itu semakin dekat dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia berbalik. Orang itu berjalan cepat ke arah Amelyce, mengguncang pelan bahu gadis itu, dia bisa melihat sorot mata orang itu nampak khawatir, cemas, dan takut. Amelyce hanya bisa meresponnya dengan kedipan mata tanpa berucap sepatah kata apapun. "Kumohon bertahanlah, sebentar saja," ucapnya.
Di sepanjang koridor kampus Amelyce terus memikirkan kejadian semalam. Arshaka membawanya sampai ke rumah, menyelamatkan dia dari dalam danau, dan menggendongnya. Padahal dia tahu, pria itu ingin membunuhnya waktu lalu dari atas gedung. Tapi, mengapa dia tiba-tiba berbaik hati? "Elyce!" Rangkulan tangan seseorang tiba-tiba berada di pundak gadis itu, rupanya si pelaku adalah William. Pria itu tersenyum manis sambil mencubit pipi Amelyce gemas. "Syukurlah kau masih hidup." "Kau baik-baik saja, 'kan? Tidak ada lecet sedikitpun?" tanya William cemas. Sepertinya dia masih mengingat jelas tragedi waktu lalu di kantin. "Aku baik-baik saja, Will. Apa punggungmu sudah baikan? Maaf karena tidak bisa menemanimu." "Untunglah orang brengsek itu tidak terlihat lagi! Jika iya akan kupastikan seluruh badannya remuk!" Amelyce tersenyu
"Terserah!" Amelyce menutup loker keras dan melenggang pergi dengan segala kekesalan di hati. Baru pagi saja darahnya terasa sudah naik ke ubun-ubun. Terlebih lagi lirikan tajam dan sinis dia dapatkan di sepanjang koridor, rasanya punggung Amelyce panas mendapat tatapan dari mereka. "Lihatlah! Gadis jalang itu! Bahkan dia sudah menggoda pria tampan itu, cih," desis salah satu dari mereka. "Ya, dia memang sangat ahli soal pria!" "Gadis tak tahu diri!" Telinga Amelyce terasa panas mendengar mulut mereka yang suka men-judge oranglain tanpa tau fakta sebenarnya. Dia menghentikan langkah, menatap dingin pada dua gadis yang barusan mengatainya. Mereka ... sudah keliatan cemas. "A ... apa, memang be ... nar, 'kan!" tantang dari salah satu mereka. Dari nadanya saja sudah tersendat. Amelyce menyilangkan tangannya di depan dada sambil