"Elyce! Buka pintunya!"
Pergerakan jari Amelyce yang terus berkutat di atas tombol laptop terpaksa dihentikan. Gadis itu memijat pelan pelipisnya yang berdenyut, seharian ini dia harus terburu mengejar waktu untuk menyelesaikan naskah cerita yang sedang dibuatnya.
"Elyce! Apa kau tuli, hah!"
Suara gedoran pintu itu benar-benar membuat Amelyce muak. Dia sangat membencinya, jika saja dirinya tak tinggal di rumah milik paman dan bibinya, mungkin sudah dari dulu gadis itu membunuh pria tua itu. Dia hanya bisa merengek pada Amelyce, meminta bekerja ini-itu hanya untuk memuaskan hasratnya yang suka mabuk, berjudi, dan bermain wanita.
Amelyce tak habis pikir dengan bibi Jessica yang masih bertahan dengan manusia bejat seperti paman Jake. Kalau saja dia jadi bibinya, mungkin Amelyce sudah pergi meninggalkannya dan mencari pria kaya dan baik di luar sana.
"Sebentar, Paman! aku akan membukanya," teriaknya kesal.
Dia membuka pintu kamar dan mendapati paman Jake yang sudah menyorot gadis itu berang sambil membawa botol minuman keras. Sudah Amelyce duga, pasti pamannya itu sedang mabuk berat, lihat saja tubuh besar itu beberapa kali ingin terjatuh dan terhuyung, jika saja disampingnya tak ada dinding sudah dipastikan paman Jake akan terjatuh ke lantai dan yang paling mengesalkan adalah saat pria tua itu sudah sadar, dia pasti akan menyalahkan Amelyce.
"Hoi Elyce! Aku tahu kerjaanmu hanya bermalas-malasan saja di dalam, iya, 'kan?"
Apa katanya tadi! Pria tua ini benar-benar tak pernah berkaca, apa perlu Amelyce membawakan kaca yang besar agar dia bisa melihat siapa disini yang hanya bisa bermalas-malasan.
"Dasar pria tua keparat tak tahu diri!" batin Amelyce kesal.
Gadis itu menghembuskan nafas pelan berusaha mengontrol emosi. "Paman, lebih baik kau istirahat di dalam kamarmu," sarannya. Karena Amelyce tau, paman Jake saat ini dalam keadaan mabuk, mengajaknya berdebat tak akan ada habisnya. Walau dia tahu pasti pamannya akan mengumpat setelah ini.
"Oh fucking! Gadis kecil sepertimu tak pantas menceramahiku, lebih baik kau kerja dan dapatkan uang yang banyak!"
Amelyce ingin sekali rasanya menampar mulut itu. Namun dia tahan, untung saja gadis itu masih tahu sopan santun. "Ayo, Paman, aku akan mengantarmu ke kamar," bujuknya.
"Ohhh lihat, Bocah satu ini sudah pandai mengaturku. Heh lihat memang kau siapa berhak menyuruhku, hah!"
"Paman! Bisakah ka—"
"Elyce, kau sudah bangun sayang. Kemarilah, Bibi sudah menyiapkan makanan kesukaanmu," teriak bibi Jessica dari ruang makan dan tentunya walau dia berteriak, suaranya masih terdengar lembut di telinga Amelyce.
Ah itu dia, bibi Jessica, satu-satunya alasan kuat gadis itu masih bertahan dirumah ini. Sifatnya sangat bertolak belakang dengan suaminya, bibi Jessica sangat baik dan murah senyum, memperhatikan Amelyce seperti anak kandungnya sendiri. Dia sangat bersyukur mempunyai bibi sepertinya. Amelyce tidak tahu hidupnya akan seperti apa jika tak ada bibinya yang selalu menjadi tempat mengadu keluh kesah dan penyemangat gadis itu.
Terkadang dia merasa sedih, mengapa wanita baik hati seperti bibi Jessica harus menikahi pria bejat sejenis paman Jake. Jika Amelyce bertanya, pasti bibinya akan menjawab pertanyaan yang benar-benar membuat gadis itu kesal sekaligus menjijikan.
Alasannya hanya satu, yakni cinta.
Amelyce tak mengerti, sehebat apa sih arti cinta hingga bisa membuat orang kehilangan akal. Dia berharap semoga saja dirinya tak dihadapakan dengan perasaan yang disebut cinta itu.
Amelyce tersenyum hangat mendengar bibi Jessica memanggil. "Baik, Aunty. Aku akan segera kesana," jawabnya.
"Heh Bocah! Mau kemana kau, Pamanmu belum selesai bicara!"
Tak ingin ambil pusing, gadis itu langsung saja melewatinya tanpa berkata apapun. Sudah tau dia ingin pergi ke ruang makan, paman Jake masih saja bertanya, apakah otaknya sudah tak berfungsi lagi.
"Hei Bocah!" Paman Jake masih berteriak dibelakang sana.
Biarkan saja, untung Amelyce sudah terbiasa dengan kesehariannya. Dia pikir hidupnya akan baik-baik saja saat tinggal di rumah itu, rupanya tak sesuai harapan.
Lebih baik Amelyce segera memakan masakan bibi Jessica, dia membutuhkan banyak energi agar cepat pulih dan kembali menyelesaikan ceritanya.
"Anak kesayangan Bibi sudah datang ya, duduk dan makanlah sepuasmu. Bibi hari ini memasak banyak untukmu."
"Terimakasih, Aunty," jawabnya riang. Amelyce mengunyah dengan lahap sampai pipinya mengembung, masakan bibi Jessica memang sangat enak.
"Bagaimana cerita yang kau buat sayang, apakah sudah selesai?"
"Sudah, Aunty." Dia tersenyum, memang benar naskah itu sudah selesai, namun Amelyce harus membaca ulang lagi dari awal.
"Elyce, malam ini Bibi dan paman akan pergi ke rumah kerabat lama ayahmu. Mungkin kami akan bermalam disana. Apakah kau ingin ikut?"
Amelyce menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Aku di rumah saja, Aunty. Lagi pun aku harus menuntaskan pekerjaanku malam ini juga."
"Memangnya tak apa jika kau sendirian di rumah. Bibi tak tega meninggalkanmu sendirian," sahut bibi Jessica, dari raut wajahnya dia terlihat khawatir.
Gadis itu menatap bibi Jessica lalu menunjukkan deretan gigi sampai matanya menyipit. "Aunty, aku 'kan sudah besar, tenang saja aku akan menjaga diri, keponakanmu ini kan pemberani," jawab Amelyce.
"Iya-iya. Tapi ingat, jangan membuka pintu sebelum kau melihat siapa yang datang. Perasaan Bibi hanya tak enak, ah tapi Bibi percaya kalau Elyce adalah gadis pemberani."
Amelyce hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Jujur, sebenarnya sudah lebih dari seminggu ada perasaan aneh yang menghantui gadis itu. Tapi dia tak tahu penyebabnya apa, Amelyce berharap semoga itu hanya perasaannya saja.
-Presence&Time-
Di bawah sinar gerhana bulan merah darah, gadis itu tergeletak tak bernyawa di atas batu karang besar. Mati mengenaskan dengan pedang yang masih tertancap di perutnya.
Hingga sebuah teriakan memanggil nama gadis itu berulang kali-terdengar pilu menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.
Terkecuali, mereka.
Mereka yang sudah tak sabar menunggu peristiwa itu terjadi sedari dulu.
Seorang pria duduk bersimpuh lalu memindahkan kepala gadis yang sudah tak bernyawa itu di pangkuannya. Dia menangis terisak-berteriak, tak peduli tangan serta pakaian miliknya berlumuran darah. Bahkan seluruh tubuhnya yang juga terluka dibiarkan. Melihat gadis yang dicintainya tewas lebih menyakitkan melebihi apapun.
Tak jauh dari sana. Dari balik batu karang ada siluet hitam berdiri mematung memandang lurus dengan tatapan kosong, tangannya mengepal kuat sampai kukunya tanpa sadar semakin menusuk di telapak tangannya.
"Bagaimana pun caranya, aku akan membalaskan dendammu! Dia harus menerima ganjaran yang setimpal!"
Gadis itu terbangun dengan nafas tersengal serta peluh keringat yang mengalir dipelipis serta dahinya. Saraf-saraf otak Amelyce belum sepenuhnya berfungsi. "Apa itu tadi? Mimpi?" lirih Amelyce. Itu terasa nyata, terakhir kali dia bermimpi dua minggu yang lalu. Rangkaian memori alur itu selalu tersambung bagaikan cerita yang Amelyce buat. Tapi, dia tak merasa ada bagian itu yang diketiknya di cerita Dark Side. Amelyce mengikat rambut asal lalu berjalan kearah meja, jam sudah menunjukkan tengah malam. Hampir saja dia kelupaan dengan rencananya tadi pagi. Gadis itu membaca ulang dari awal, bacaan itu terus bergulir sampai bagian akhir. Sebenarnya Amelyce kurang yakin dengan akhir cerita yang dibuatnya, selama menulis cerita, hampir setiap malam gadis itu bermimpi hal aneh di luar akal sehat, awalnya dia mencoba tak peduli, tapi entah mengapa alur mimpi itu semakin hari seperti tersambung bagaika
Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Liburan musim panas sudah berakhir. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari kelas mereka atau hanya sekadar bersenda gurau, berkumpul, dan mengitari kawasan lingkungan Universitas untuk melihat keindahan arsitektur bangunan Harvard. Tahun ini umur Amelyce sudah menginjak sembilan belas tahun. Menjadi mahasiswi tahun kedua di Harvard bukan hal yang bisa dibuat bermain dan bersantai lagi. Sebelumnya tak pernah gadis itu bayangkan jika dia bisa menjadi salah satu mahasiswa Harvard, yang menempati posisi universitas terbaik di dunia dan tentunya sangat bergengsi. Amelyce memilih masuk jurusan seni dan sains, awalnya dia sedikit ragu, tapi berhubung otaknya cerdas, jadi mudah baginya untuk berada di fakultas ini dan mendapatkan beasiswa. Amelyce menopang dagu dengan kepalan tangan, jarinya asik mengetuk-ngetuk meja pelan. Pikirannya masih berkelana pada kejadia
"Apa maksudmu, hah!" William membentak, dia berdiri di depan Amelyce layaknya pelindung. "Menyingkir dari hadapannya!" jawab pria itu dingin penuh penekanan. "Pengecut! Lewati aku dulu sia—!" Ucapan William terpotong. William terpental cukup jauh, jatuh tersungkur di atas lantai, sebelum itu punggungnya lebih dulu terbentur meja panjang. Sedangkan yang lain hanya bisa diam membisu tak berani melerai takut terkena imbasnya juga. Amelyce langsung bersimpuh di dekat William, sudut bibir pria itu terluka. Dia meringis menyentuh pundaknya, Amelyce yakin bagian itu sangat parah. "Are you okay, Will?" Gadis itu bertanya lirih mencoba membantu William berdiri. Namun, pria itu menggeleng pelan seolah memberi tahu bahwa dia baik-baik saja dan itu membuat Amelyce semakin merasa bersalah. Dia melirik adiknya, Peter. Tubuh Peter bergetar
Angin sore berhembus, langit sudah berubah jingga. Kawanan burung bertebrangan menuju sarangnya. Dari atas gedung Amelyce dapat mendengar lalu lalang kendaraan lewat. Dia duduk bersandar di kursi yang masih layak dipakai dekat tumpukan kursi dan meja tak terpakai lainnya. "Ini ... benar-benar tak masuk akal. Apa maksudnya...." "Membutuhkanku?" lirihnya. Amelyce merogoh saku untuk mengambil permen batangan yang sempat dia beli waktu di kantin tadi lalu mengemutnya. Pikiran gadis itu masih tertuju pada kejadian barusan. Dia? Sebenarnya siapa? Wajah itu mengapa mirip seperti ciri-ciri salah satu karakter di cerita Dark Side. "Ah sepertinya otak ini mengalami depresi serius akibat dipaksa belajar terus menerus." Amelyce berucap meyakinkan bahwa itu tak pernah terjadi. Di zaman modern begini hal di luar akal sehat tentunya tak mungkin terjadi. Dia melirik arloji yang melingk
Semuanya terasa gelap, hening, dan sepi. Amelyce merasa dirinya sudah mati tenggelam ke dasar danau. Tubuhnya terasa ringan dan kaku bersamaan. Di sana, ada sebuah lorong kecil mengarah ke cahaya putih. Sejenak gadis itu terdiam menatap kosong ke arah sana, apakah dia benar sudah tak bernyawa lagi. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati lorong menuju cahaya yang bersinar terang. Perlahan tapi pasti, Amelyce sudah hampir sampai, senyumnya mengembang. Hingga ada suara asing memanggil nama gadis itu berulang kali dari arah belakang. Awalnya tak peduli. Namun, suara itu semakin dekat dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia berbalik. Orang itu berjalan cepat ke arah Amelyce, mengguncang pelan bahu gadis itu, dia bisa melihat sorot mata orang itu nampak khawatir, cemas, dan takut. Amelyce hanya bisa meresponnya dengan kedipan mata tanpa berucap sepatah kata apapun. "Kumohon bertahanlah, sebentar saja," ucapnya.
Di sepanjang koridor kampus Amelyce terus memikirkan kejadian semalam. Arshaka membawanya sampai ke rumah, menyelamatkan dia dari dalam danau, dan menggendongnya. Padahal dia tahu, pria itu ingin membunuhnya waktu lalu dari atas gedung. Tapi, mengapa dia tiba-tiba berbaik hati? "Elyce!" Rangkulan tangan seseorang tiba-tiba berada di pundak gadis itu, rupanya si pelaku adalah William. Pria itu tersenyum manis sambil mencubit pipi Amelyce gemas. "Syukurlah kau masih hidup." "Kau baik-baik saja, 'kan? Tidak ada lecet sedikitpun?" tanya William cemas. Sepertinya dia masih mengingat jelas tragedi waktu lalu di kantin. "Aku baik-baik saja, Will. Apa punggungmu sudah baikan? Maaf karena tidak bisa menemanimu." "Untunglah orang brengsek itu tidak terlihat lagi! Jika iya akan kupastikan seluruh badannya remuk!" Amelyce tersenyu
"Terserah!" Amelyce menutup loker keras dan melenggang pergi dengan segala kekesalan di hati. Baru pagi saja darahnya terasa sudah naik ke ubun-ubun. Terlebih lagi lirikan tajam dan sinis dia dapatkan di sepanjang koridor, rasanya punggung Amelyce panas mendapat tatapan dari mereka. "Lihatlah! Gadis jalang itu! Bahkan dia sudah menggoda pria tampan itu, cih," desis salah satu dari mereka. "Ya, dia memang sangat ahli soal pria!" "Gadis tak tahu diri!" Telinga Amelyce terasa panas mendengar mulut mereka yang suka men-judge oranglain tanpa tau fakta sebenarnya. Dia menghentikan langkah, menatap dingin pada dua gadis yang barusan mengatainya. Mereka ... sudah keliatan cemas. "A ... apa, memang be ... nar, 'kan!" tantang dari salah satu mereka. Dari nadanya saja sudah tersendat. Amelyce menyilangkan tangannya di depan dada sambil
Sudah hampir seminggu semenjak Amelyce bertemu dengan Arshaka dan dia menyebutkan namanya, gadis itu tak pernah lagi melihat wujudnya. Beberapa hari lalu Amelyce sempat bertanya pada mahasiswa yang melihat pria itu juga waktu di kampus dan anehnya mereka menjawab tidak tahu sama sekali. "Arshaka ... apa ini nyata? Benarkah dia memang ke dunia ini? Tapi, bagaimana bisa itu terjadi?" gumam Amelyce. Kepalanya sakit jika terus memikirkan hal di luar nalar itu. Cerita Dark Side memang sudah selesai. Namun, rasa khawatir, cemas, dan takut terus menghantui Amelyce. Buktinya saja dua hari yang lalu dia melihat lagi sebuah cahaya merah berbentuk akar menyerupai petir berada di halaman belakang rumahnya. Dia membaca ulang alur seluruh cerita. Entah mengapa, hatinya merasakan sedikit sesak saat tahu, di cerita itu pria yang beberapa hari ini selalu terlintas di otaknya adalah pangeran Arshaka akan jatuh cinta pada seorang put