Share

01. Last Dream?

"Elyce! Buka pintunya!"

Pergerakan jari Amelyce yang terus berkutat di atas tombol laptop terpaksa dihentikan. Gadis itu memijat pelan pelipisnya yang berdenyut, seharian ini dia harus terburu mengejar waktu untuk menyelesaikan naskah cerita yang sedang dibuatnya.

"Elyce! Apa kau tuli, hah!"

Suara gedoran pintu itu benar-benar membuat Amelyce muak. Dia sangat membencinya, jika saja dirinya tak tinggal di rumah milik paman dan bibinya, mungkin sudah dari dulu gadis itu membunuh pria tua itu. Dia hanya bisa merengek pada Amelyce, meminta bekerja ini-itu hanya untuk memuaskan hasratnya yang suka mabuk, berjudi, dan bermain wanita.

Amelyce tak habis pikir dengan bibi Jessica yang masih bertahan dengan manusia bejat seperti paman Jake. Kalau saja dia jadi bibinya, mungkin Amelyce sudah pergi meninggalkannya dan mencari pria kaya dan baik di luar sana.

"Sebentar, Paman! aku akan membukanya," teriaknya kesal.

Dia membuka pintu kamar dan mendapati paman Jake yang sudah menyorot gadis itu berang sambil membawa botol minuman keras. Sudah Amelyce duga, pasti pamannya itu sedang mabuk berat, lihat saja tubuh besar itu beberapa kali ingin terjatuh dan terhuyung, jika saja disampingnya tak ada dinding sudah dipastikan paman Jake akan terjatuh ke lantai dan yang paling mengesalkan adalah saat pria tua itu sudah sadar, dia pasti akan menyalahkan Amelyce.

"Hoi Elyce! Aku tahu kerjaanmu hanya bermalas-malasan saja di dalam, iya, 'kan?"

Apa katanya tadi! Pria tua ini benar-benar tak pernah berkaca, apa perlu Amelyce membawakan kaca yang besar agar dia bisa melihat siapa disini yang hanya bisa bermalas-malasan.

"Dasar pria tua keparat tak tahu diri!" batin Amelyce kesal.

Gadis itu menghembuskan nafas pelan berusaha mengontrol emosi. "Paman, lebih baik kau istirahat di dalam kamarmu," sarannya. Karena Amelyce tau, paman Jake saat ini dalam keadaan mabuk, mengajaknya berdebat tak akan ada habisnya. Walau dia tahu pasti pamannya akan mengumpat setelah ini.

"Oh fucking! Gadis kecil sepertimu tak pantas menceramahiku, lebih baik kau kerja dan dapatkan uang yang banyak!"

Amelyce ingin sekali rasanya menampar mulut itu. Namun dia tahan, untung saja gadis itu masih tahu sopan santun. "Ayo, Paman, aku akan mengantarmu ke kamar," bujuknya.

"Ohhh lihat, Bocah satu ini sudah pandai mengaturku. Heh lihat memang kau siapa berhak menyuruhku, hah!"

"Paman! Bisakah ka—"

"Elyce, kau sudah bangun sayang. Kemarilah, Bibi sudah menyiapkan makanan kesukaanmu," teriak bibi Jessica dari ruang makan dan tentunya walau dia berteriak, suaranya masih terdengar lembut di telinga Amelyce.

Ah itu dia, bibi Jessica, satu-satunya alasan kuat gadis itu masih bertahan dirumah ini. Sifatnya sangat bertolak belakang dengan suaminya, bibi Jessica sangat baik dan murah senyum, memperhatikan Amelyce seperti anak kandungnya sendiri. Dia sangat bersyukur mempunyai bibi sepertinya. Amelyce tidak tahu hidupnya akan seperti apa jika tak ada bibinya yang selalu menjadi tempat mengadu keluh kesah dan penyemangat gadis itu.

Terkadang dia merasa sedih, mengapa wanita baik hati seperti bibi Jessica harus menikahi pria bejat sejenis paman Jake. Jika Amelyce bertanya, pasti bibinya akan menjawab pertanyaan yang benar-benar membuat gadis itu kesal sekaligus menjijikan.

Alasannya hanya satu, yakni cinta.

Amelyce tak mengerti, sehebat apa sih arti cinta hingga bisa membuat orang kehilangan akal. Dia berharap semoga saja dirinya tak dihadapakan dengan perasaan yang disebut cinta itu.

Amelyce tersenyum hangat mendengar bibi Jessica memanggil. "Baik, Aunty. Aku akan segera kesana," jawabnya.

"Heh Bocah! Mau kemana kau, Pamanmu belum selesai bicara!"

Tak ingin ambil pusing, gadis itu langsung saja melewatinya tanpa berkata apapun. Sudah tau dia ingin pergi ke ruang makan, paman Jake masih saja bertanya, apakah otaknya sudah tak berfungsi lagi.

"Hei Bocah!" Paman Jake masih berteriak dibelakang sana.

Biarkan saja, untung Amelyce sudah terbiasa dengan kesehariannya. Dia pikir hidupnya akan baik-baik saja saat tinggal di rumah itu, rupanya tak sesuai harapan.

Lebih baik Amelyce segera memakan masakan bibi Jessica, dia membutuhkan banyak energi agar cepat pulih dan kembali menyelesaikan ceritanya.

"Anak kesayangan Bibi sudah datang ya, duduk dan makanlah sepuasmu. Bibi hari ini memasak banyak untukmu."

"Terimakasih, Aunty," jawabnya riang. Amelyce mengunyah dengan lahap sampai pipinya mengembung, masakan bibi Jessica memang sangat enak.

"Bagaimana cerita yang kau buat sayang, apakah sudah selesai?"

"Sudah, Aunty." Dia tersenyum, memang benar naskah itu sudah selesai, namun Amelyce harus membaca ulang lagi dari awal.

"Elyce, malam ini Bibi dan paman akan pergi ke rumah kerabat lama ayahmu. Mungkin kami akan bermalam disana. Apakah kau ingin ikut?"

Amelyce menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Aku di rumah saja, Aunty. Lagi pun aku harus menuntaskan pekerjaanku malam ini juga."

"Memangnya tak apa jika kau sendirian di rumah. Bibi tak tega meninggalkanmu sendirian," sahut bibi Jessica, dari raut wajahnya dia terlihat khawatir.

Gadis itu menatap bibi Jessica lalu menunjukkan deretan gigi sampai matanya menyipit. "Aunty, aku 'kan sudah besar, tenang saja aku akan menjaga diri, keponakanmu ini kan pemberani," jawab Amelyce.

"Iya-iya. Tapi ingat, jangan membuka pintu sebelum kau melihat siapa yang datang. Perasaan Bibi hanya tak enak, ah tapi Bibi percaya kalau Elyce adalah gadis pemberani."

Amelyce hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Jujur, sebenarnya sudah lebih dari seminggu ada perasaan aneh yang menghantui gadis itu. Tapi dia tak tahu penyebabnya apa, Amelyce berharap semoga itu hanya perasaannya saja.

-Presence&Time-

Di bawah sinar gerhana bulan merah darah, gadis itu tergeletak tak bernyawa di atas batu karang besar. Mati mengenaskan dengan pedang yang masih tertancap di perutnya.

Hingga sebuah teriakan memanggil nama gadis itu berulang kali-terdengar pilu menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.

Terkecuali, mereka.

Mereka yang sudah tak sabar menunggu peristiwa itu terjadi sedari dulu.

Seorang pria duduk bersimpuh lalu memindahkan kepala gadis yang sudah tak bernyawa itu di pangkuannya. Dia menangis terisak-berteriak, tak peduli tangan serta pakaian miliknya berlumuran darah. Bahkan seluruh tubuhnya yang juga terluka dibiarkan. Melihat gadis yang dicintainya tewas lebih menyakitkan melebihi apapun.

Tak jauh dari sana. Dari balik batu karang ada siluet hitam berdiri mematung memandang lurus dengan tatapan kosong, tangannya mengepal kuat sampai kukunya tanpa sadar semakin menusuk di telapak tangannya.

"Bagaimana pun caranya, aku akan membalaskan dendammu! Dia harus menerima ganjaran yang setimpal!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status