Share

05. Cahaya itu?

Angin sore berhembus, langit sudah berubah jingga. Kawanan burung bertebrangan menuju sarangnya. Dari atas gedung Amelyce dapat mendengar lalu lalang kendaraan lewat. Dia duduk bersandar di kursi yang masih layak dipakai dekat tumpukan kursi dan meja tak terpakai lainnya.

"Ini ... benar-benar tak masuk akal. Apa maksudnya...."

"Membutuhkanku?" lirihnya.

Amelyce merogoh saku untuk mengambil permen batangan yang sempat dia beli waktu di kantin tadi lalu mengemutnya. Pikiran gadis itu masih tertuju pada kejadian barusan. Dia? Sebenarnya siapa? Wajah itu mengapa mirip seperti ciri-ciri salah satu karakter di cerita Dark Side.

"Ah sepertinya otak ini mengalami depresi serius akibat dipaksa belajar terus menerus." Amelyce berucap meyakinkan bahwa itu tak pernah terjadi. Di zaman modern begini hal di luar akal sehat tentunya tak mungkin terjadi.

Dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Oh tidak, setengah jam lagi Amelyce sudah berjanji menemani bibi Jessica berbelanja kebutuhan dapur, dia segera bergegas meninggalkan rooftop gedung menuju lift.

Matanya menyipit kala ada seorang anak kecil tak jauh dari gadis itu menangis di bangku taman, mengapa di sekitarnya tak ada oranglain? Apa anak itu tersesat? Jika dibiarkan bisa saja ada seseorang yang berniat jahat nantinya.

Amelyce berjalan mendekat, sedikit berlari lalu bersimpuh di bawah anak kecil itu. Senyumnya mengembang saat suara tangis anak itu makin pecah.

"Hei, Boy. Mengapa kau menangis?" tanya gadis itu lembut sambil memegang kedua tangan mungilnya yang terus menutup wajah.

Responnya hanya gelengan, mungkin dia berpikir Amelyce orang jahat.

"Tenang saja, Boy. Kakak tak berniat sedikitpun berbuat jahat padamu. Jadi ... apa kau tersesat?" tanyanya lagi.

Isak tangis perlahan mengecil, dia menurunkan kedua tangannya, menatap Amelyce dengan wajah sembap dan mata memerah. Gadis itu tersenyum kecil sambil mengusap bahu kecil anak itu.

"Jadi....?"

"Saat aku bermain, aku ingin sekali memakan cokelat, jadi kakak ku ingin membelikannya di supermarket. Dia menyuruhku untuk tinggal ditempat bermain bersama anak yang lain, tak tahunya balonku terbang dan tentu saja aku mengejarnya...."

Anak itu menggantung kalimatnya, pelupuk matanya menggenang ingin menangis lagi, beberapa kali dia mengusap-usap hingus, membuat Amelyce terkekeh geli sembari menyodorkan sapu tangan membantu menyapunya tanpa rasa jijik.

"Dan ... aku tidak mendapatkan balonku, pada akhirnya akulah yang tersesat," lanjutnya. Setelah itu dia menangis kencang, Amelyce semakin tak tega, lantas memeluk berusaha menenangkannya.

Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk membantu anak itu mencari kakaknya. Jika diabaikan bisa saja dia bertemu dengan orang yang salah nantinya.

"Bagaimana jika aku membantu menemukan kakakmu?" tawar Amelyce dan tentu saja anak itu langsung mengangguk antusias.

Tapi, Amelyce merasa ada langkah kaki yang mendekat dari arah belakang, baru saja ingin menengok. Anak kecil di depannya sudah berteriak kegirangan dan berlari menubruk seseorang di belakangnya.

Sepertinya itu kakaknya, Amelyce berdiri dan menghadap mereka. Anak tadi sudah berada dalam gendongan seorang pria, ternyata benar dugaan gadis itu.

"Terimakasih sudah menjaga Adikku. Maaf merepotkanmu. Hmm ... aku Leo dan kau....?"

Leo mengulurkan tangan, tentu saja Amelyce membalasnya tanpa senyuman, dia tak suka berhadapan dengan lawan jenis apalagi yang mempunyai niat terselubung. Katakanlah dia orang yang cuek, tak masalah. Karena wajah seperti pemuda di depannya ini memang patut di curigai. Beda halnya jika menyangkut orang yang lebih tua atau anak kecil, itu pengecualian. 

"Amelyce," jawabnya singkat tak ingin berbasa-basi.

Pria itu menggaruk tengkuknya, padahal Amelyce tau, itu sama sekali tak gatal. Dia lebih memilih berjongkok dihadapan anak kecil tadi yang sudah diturunkan Leo beberapa menit yang lalu.

"Hmm, Boy. Jangan menangis lagi ya. Kakak pergi dulu, Sampai jumpa," pamit Amelyce sambil mencubit pipi anak kecil itu gemas.

Baru ingin berdiri, namun pergelangan tangan gadis itu lebih dulu digenggam. "Kakak, harus hati-hati malam ini. Lebih baik Kakak tetap di rumah jangan keluar," pesan anak kecil itu.

"Kenapa?"

"Karena dia mengincar Kakak!"

Dahi Amelyce nampak mengerut, apa maksud dari ucapannya? Tak ingin berpikir lebih jauh, gadis itu membalas dengan senyuman tipis sambil mengusap kepala anak kecil di depannya lembut.

"Good boy, Kakak pergi dulu ya, see you," ucapnya lalu berdiri pergi meninggalkan mereka.

___

Matahari sudah hampir tenggelam, siang ingin berganti malam. Pasti bibi Jessica sudah menunggu Amelyce dari tadi. Dia bergegas berjalan menuju rumah, membuka pintu dan lekas melihat ke dapur, benar dugaannya. Bibi Jessica sudah pergi sendirian untuk belanja dan buktinya dia sedang menyimpan barang belanjaan ditempat semestinya.

Bibi tersenyum saat melihat Amelyce berdiri di ambang pintu. Membuat gadis itu merasa tak enak sudah mengingkari janji.

Dia berdeham canggung menatap bibi Jessica, dan berkata, "Maafkan aku, Aunty, karena datang terlambat, tadi aku ada urusan yang sangat penting."

"Tak apa, Elyce. Lagi pun Bibi bisa belanja sendiri, jadi kau tak perlu khawatir," jawabnya lembut. Setelah sekian menit akhirnya Amelyce dapat bernafas lega. Bibi Jessica memang berhati malaikat.

"Elyce. Apa kau bisa membantu Bibi?"

"Ya, Aunty. Katakan saja."

"Bibi lupa membeli daging kesukaan pamanmu. Apa kau bisa keluar untuk membelikannya?"

"Tentu saja, Aunty," jawabnya yakin.

Setelah itu Amelyce keluar, hari sudah gelap. Supermarket hanya beberapa meter dari rumahnya, jadi gadis itu memilih untuk berjalan kaki, sekaligus olahraga malam. Menikmati hembusan angin dan melihat bentangan bintang di atas sana.

Awalnya biasa saja, tapi entah kenapa Amelyce merasa ada seseorang yang mengawasinya sejak tadi. Langkah kaki gadis itu semakin cepat saat suara langkah oranglain juga mengikuti dari belakang.

Jantungnya berdetak tak karuan, ingin menengok ke belakang namun Amelyce urungkan saat ranting patah terdengar nyaring. Bukan tak ingin melawan, hanya saja disekitar sini sangat sepi, jika gegabah akan sulit nantinya, setiap empat meter baru terpasang lampu jalan.

"Jangan takut, Elyce. Kau pemberani!" lirihnya menyemangati.

Cukup sudah nyawanya terancam tadi siang, jika kali ini tak bertindak lebih cepat, maka hidup Amelyce di penghujung maut. Mau tak mau dia berlari dan sungguh sial kakinya malah berayun melangkah ke arah danau di persimpangan jalan.

Saat menengok Amelyce terkejut, orang yang mengejarnya berpakaian serba hitam sedang membawa pisau lipat dan dia terkekeh.

"Long time no see, El. Bagaimana? Apa aku berhasil membuatmu ketakutan? Kulihat ... sepertinya iya?" ejeknya lalu tertawa keras. 

Amelyce tahu pemilik suara itu, lelaki yang pernah dia tolak cintanya dulu. Namanya—Gaston. Apa ini yang dimaksudkan dia untuk membalas dendam, jika iya cara ini sungguh kekanakan.

"Caramu sungguh menjijikan! Apakah tak ada cara lain lagi, bodoh!" umpatnya kesal.

"Sayangnya dugaanmu salah. Aku tidak akan membunuhmu menggunakan pisau ini. Tebaklah, menurutmu apa yang akan kulakukan?" Dia kembali tertawa kencang sambil berloncat kegirangan.

"Kau—"

"Aku tau semua tentangmu, El," jawab Gaston dingin. Dia menyeringai semakin melangkah maju. 

Refleks Amelyce memundurkan langkah hingga tak sadar kakinya sudah memijaki ujung kayu dermaga. Tak disangka Gaston mendorongnya hingga tubuh Amelyce tercebur ke danau, dia berusaha menggapai sesuatu yang bisa dipegang.

Gadis itu trauma berada di air dalam. Nafasnya sesak, rongga dada Amelyce rasanya terhimpit. Perlahan dia melemas, dia Pasrah, gadis itu tenggelam semakin dalam.

'Siapapun. Tolong aku.'

Dia berucap dalam hati berulang kali. Berharap akan ada seseorang yang menyelamatkannya.

Apa akan ada seseorang yang menolongnya? Rasanya itu tak mungkin. Seluruh saraf Amelyce seperti sudah tak berfungsi, dia mati rasa, perlahan gadis itu semakin jatuh ke bawah ditelan kegelapan. Dia sendiri, seperti biasa, bahkan di saat akhir kisahnya, Amelyce pun tetap sendiri.

"Bertahanlah." Suara asing itu menggema di dalam pikiran Amelyce.

Hingga ada suatu cahaya yang berenang ke arah Amelyce. Hal yang paling dia ingat, ada seseorang menarik pinggangnya dan membawa dia ke atas sana sebelum kesadaran Amelyce perlahan menghilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status