Share

06. Dia yang Datang

Semuanya terasa gelap, hening, dan sepi. Amelyce merasa dirinya sudah mati tenggelam ke dasar danau. Tubuhnya terasa ringan dan kaku bersamaan. Di sana, ada sebuah lorong kecil mengarah ke cahaya putih. Sejenak gadis itu terdiam menatap kosong ke arah sana, apakah dia benar sudah tak bernyawa lagi.

Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati lorong menuju cahaya yang bersinar terang. Perlahan tapi pasti, Amelyce sudah hampir sampai, senyumnya mengembang. Hingga ada suara asing memanggil nama gadis itu berulang kali dari arah belakang. 

Awalnya tak peduli. Namun, suara itu semakin dekat dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia berbalik. Orang itu berjalan cepat ke arah Amelyce, mengguncang pelan bahu gadis itu, dia bisa melihat sorot mata orang itu nampak khawatir, cemas, dan takut. Amelyce hanya bisa meresponnya dengan kedipan mata tanpa berucap sepatah kata apapun.

"Kumohon bertahanlah, sebentar saja," ucapnya.

Dia ... seorang pria.

Amelyce sama sekali tidak bisa merespon ucapannya. Ingin membalas, namun, suaranya hilang. Bahkan sekedar lirihanpun dia tak bisa.

"Jika saja aku terlambat, mungkin kau sudah masuk ke dalam cahaya putih itu."

"Jadi, bertahanlah, Elyce. Aku akan membawamu keluar dari sini."

Uhuk....

Gadis itu membuka kelopak mata cepat dan terbatuk mengeluarkan banyak air, dadanya terasa sesak, saat menengok dia menegang sesaat, mata orang itu bersinar di kegelapan malam. Baju yang dia kenakan tampak kuno seperti zaman kerajaan.

Mengapa itu ... terlihat tak asing.

Pria itu berdeham canggung, kening Amelyce mengerut. Setelah dia merasa baik-baik saja, Amelyce ingin mengatakan sesuatu padanya. Namun, belum sempat mulutnya terbuka, pria itu sudah berucap mendahuluinya.

"Dasar ceroboh!" ucapnya ketus.

Hati Amelyce yang sebelumnya menghangat dan berniat mengucapkan terimakasih, tiba-tiba saja berubah kesal, tangan Amelyce mengepal di kedua sisi, menatapnya dengan sorot dingin. Tapi kembali lagi, jika dia memang yang membantu gadis itu dari kematian yang mungkin saja merenggut nyawanya beberapa saat lalu, sebaiknya dia menahan amarah.

"Ck, jika saja aku tak ada. Dapat kupastikan kau sudah mati mengenaskan," pungkasnya menatap Amelyce dengan tatapan yang sulit diartikan.

Gadis itu mengalihkan pandang kearah lain. "Oh, ya?" jawabnya mengejek.

"Huh, membayangkannya saja sudah membuatku mual. Pasti kau akan ditemukan dalam keadaan jelek, kotor, bau, dan mengembung!"

Amelyce mendengus kasar, mulutnya benar-benar tidak ada rem sama sekali. Bagaimana bisa dengan kondisinya seperti ini, dia masih sempat mengatai gadis itu.

"Lebih baik menurunkan ego daripada harus berdebat dengannya. Tunggu dulu, disini gelap, sebenarnya siapa dia? Mengapa suara itu terdengar tak asing? Apa mungkin?" 

Amelyce menoleh cepat mengamati wajahnya, bersamaan dengan cahaya bulan menyinari yang sebelumnya tertutup awan mendung. Dia menahan nafas sesaat.

"Apa kau ingin membunuhku lagi kali ini!?" tangan gadis itu mencengkram kuat rerumputan, dia memang berhasil selamat beberapa menit lalu. Tapi, tidak menutup kemungkinan kali ini nyawanya juga terancam.

Dia berdiri lalu menatap bulan di atas sana, dapat Amelyce lihat dia menyeringai.

"Membunuhmu, ya?" jawabnya dengan nada serak disertai kekehan ringan.

Bulan kembali tertutup, hembusan angin malam terus menerpa kulit Amelyce yang terbuka, ditambah lagi seluruh pakaiannya basah. Entah mengapa, hawanya sangat tidak bersahabat. Gelap, dia bergidik saat tak lama mendengar suara lolongan serigala saling bersahutan satu sama lain.

"Apa kau tidak merasa takut? Entah mengapa aku merasa suara lolongan serigala itu seperti menyerukan ke arah kita," lirih Amelyce.

Pria itu terkekeh sembari menunjuk ke arah bulan yang kembali bersinar. Amelyce langsung mengikuti ke arah mana jarinya.

"Bulan purnama, serigala, pedang."

Dahi gadis itu mengerut dalam tak mengerti apa yang dia bicarakan.

"Dan terakhir ... bulan darah," lanjutnya.

Kali ini bukan lolongan serigala yang terdengar, melainkan suara beberapa langkah yang berlari menimbulkan suara berisik dari ranting patah dan dedaunan kering.

'Jangan takut, Elyce. Itu hanya halusinasi,' batinnya.

Ketegangan Amelyce mereda saat melihat dia masih ada disini berdiri di dekatnya. Dia memperhatikan wajah pria itu dari samping, firasatnya mengatakan dia mirip seperti salah satu karakter di cerita yang dia buat. Pakaian kuno pada zaman kerajaan membuat semua kemungkinan di benak Amelyce semakin kuat.

"Ck, berhentilah memandangku seperti itu!"

Amelyce meneguk ludah kasar. Jadi, sedari tadi dia menyadari gadis itu karena memperhatikannya. Amelyce menyapukan pandangan ketempat lain. Sial, dia baru saja tertangkap basah.

"Bodoh! Apa kau ingin tetap tinggal disini!" omelnya.

"Ohh ... jadi, kau menemaniku sejak tadi? Sudah kuduga."

"Hah!"

Karena posisi gadis itu masih duduk. Dia mendongak melihatnya lagi. "Mungkin saja kau peduli denganku," sahutnya tak santai.

"Apa kau pikir aku peduli denganmu!? Aku masih banyak urusan yang lebih penting daripada harus menemani gadis sepertimu, cih!" Dia berdecih. Namun, masih tetap berada di posisinya. Bertolak belakang dengan kalimatnya barusan.

Tanpa sadar Amelyce tersenyum tipis, entahlah, dia tak tahu biasanya dia selalu bersikap acuh dengan lawan jenis, tapi saat berbicara dengannya, Amelyce merasa sedikit berbeda.

"Pergilah, aku tak butuh bantuanmu," ucap gadis itu pelan. Ternyata dia benar-benar mengikuti ucapannya barusan.

"Huh. Tak apa, aku bisa berjalan sendiri."

Baru saja beberapa langkah, tiba-tiba Amelyce terjatuh, rupanya kaki kirinya terkilir. Sakit, perih. Mulut gadis itu tertutup rapat, tak ingin meringis apalagi merengek meminta pertolongan. Karena pasti pria itu akan mengatakan, dia adalah gadis lemah. Untung saja tepat di dekat telapak tangan Amelyce berpijak ada sebuah batang kayu kecil lumayan panjang, itu akan dia gunakan sebagai penyangga.

Dia berdiri, melihat sekitar, pria itu sudah menghilang, ditelan kegelapan malam. Sunyi, sepi, untungnya cahaya bulan kembali lagi menyinari membuat jalanan terlihat walau samar. Amelyce terkekeh, selalu seperti ini. Dimana pun berada, selalu sendiri. Kakinya terus melangkah, perlahan tapi pasti, sesekali dia mengigit bibir bawah kuat, berusaha menahan rasa sakit yang kian menjalar ke seluruh tubuh.

"Ck, menyusahkan!"

Langkah Amelyce terhenti, tatkala mendengar suara seseorang di belakangnya. Suara itu seperti pria tadi, apakah dia kembali lagi? Baru ingin memastikan, derap langkah terdengar semakin dekat dan melewatinya. Ah benar, pria tadi kembali lagi. Tapi untuk apa? Apa ada yang tertinggal. Amelyce sedikit terkejut saat dia berjongkok di bawah gadis itu sambil menepuk pundaknya dua kali.

Amelyce bingung harus merespon apa, mana mungkin dia menyuruh untuk naik kepundaknya. Apalagi menggendong gadis itu.

'Oh ayolah aku tak boleh terlalu percaya diri. Berfikirlah positif, dia menepuk pundak hanya karena lelah.' Amelyce membatin.

"Apa yang kau tunggu lagi, hah! Naiklah ke pundakku, sekarang!" ucapnya ketus terdengar memerintah.

"Hah?"

"Hah heh, apa kau bodoh!"

Tak ingin membuatnya lebih marah lagi, kali ini Amelyce mengikuti perintahnya. Lagi pun sekujur tubuh gadis itu juga sakit, kesempatan seperti ini tak boleh dia sia-sia 'kan?

Perlahan gadis itu mendekat dan naik ke pundaknya, tangan Amelyce melingkar di leher pria itu, ralat, sebenarnya dia hanya memegang baju bagian atasnya sedikit, dia hanya merasa canggung, baru kali ini jantung Amelyce berdetak tak karuan, bukan karena jatuh cinta, melainkan khawatir, sewaktu-waktu pria itu berniat membunuhnya lagi.

"Maaf sudah merepotka—"

Dengan secepat kilat, dia langsung berdiri tanpa aba-aba, refleks tangan Amelyce melingkar dilehernya, hampir saja dia terjatuh.

Keheningan terjadi diantara keduanya. Hanya suara jangkrik dan lolongan serigala yang sesekali terdengar. Tapi anehnya saat pria itu menoleh cepat ke asal suara, lolongan serigala seketika senyap beberapa menit. Apa dia bisa berbicara bahasa binatang? Atau memiliki kekuatan supranatural.

Amelyce menggeleng pelan menepis berbagai pertanyaan-pertanyaan konyol yang selalu muncul di otaknya saat berdekatan dengan pria itu.

Dia berdeham pelan sambil melihat lurus ke depan. "Mengapa kau kembali lagi dan menolongku?" Amelyce menghembuskan nafas lega, akhirnya pertanyaan paling membuat dia resah keluar juga.

"Aku rasa pertanyaanmu tak penting untuk dijawab."

Dia berhenti lalu menoleh bertepatan dengan kepala Amelyce yang sudah tersandar dibahunya, gadis itu menahan nafas saat jarak mereka begitu dekat, jika saja wajahnya maju dapat dipastikan hidung mereka akan bersentuhan.

Seolah tersihir, Amelyce terus menatap matanya lekat dan dalam. Iris peraknya yang terang menyoroti gadis itu tajam. Tentu saja, dia sama sekali tak takut.

"Mengapa kau membuatnya menderita?" lirihnya pelan, terdengar sendu dan putus asa.

Amelyce sontak tersadar dari dunianya sendiri, apa maksud dari ucapan itu?

"Aku tak mengerti apa yang kau katakan?" jawabnya lirih. Memang benar Amelyce tak paham maksudnya apa dan kepalanya masih tetap bersandar di bahu pria itu.

"Dia sudah cukup merasakan sakit, perlukah kau membuatnya tambah menderita lagi!" jawabnya. Entah mengapa disetiap kata, terdengar ada emosi yang dia tahan untuk keluar.

Amelyce yang mulai merasa jengkel tanpa tahu ke arah mana tuduhannya barusan, mulai mengepalkan tangan.

"Pasti kau tak pernah merasakan sakit, saat dirimu ditinggal sendiri," katanya lagi.

Gadis itu tersenyum miris.

'Kau tidak tahu kehidupanku seperti apa, tapi seenaknya mengataiku seperti itu. Jelas saja aku pernah merasa sendiri, benar-benar tak ada seorangpun disisiku yang mengerti keadaanku pada waktu itu maupun sekarang, aku hanya mempunyai bibi Jessica yang mau memamahiku, tapi ada satu hal siapapun tak tahu rahasiaku. Hanya aku seorang diri yang menyimpan rasa sakit itu. Aku tahu betul, apa arti kata sendiri.'

"Ya, kau benar. Aku tak pernah merasa sendiri. Semua orang memahamiku. Jadi, tidak ada kesempatan kesendirian itu akan datang dihidupku. Lagi pun, aku sangat bahagia, dari lahir sampai sekarang aku tak perlu merasa khawatir jika suatu hari diriku menderita, karena orang-orang selalu memperhatikanku."

Amelyce menjawab dengan nada riang. Berbeda jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, rasa sesak dan menyakitkan saat mengatakan kalimat bohong itu. Jelas saja kebalikannya. Dari dulu Amelyce berprinsip. 'Teruslah jadi gadis kuat, jangan lemah. Karena itu hanya membuatmu terlihat menderita di depan oranglain.'

"Mungkin ... kau benar, tapi kalimatmu sungguh—"

Lagi, dia menggantungkan kalimat dan kembali berjalan.

"Sungguh?"

"Lupakan. Lihatlah rumahmu sudah hampir sampai."

Amelyce menghembuskan nafas pelan. Biarlah apa maunya, yang penting dirinya selamat dan pria itu berbaik hati membawa dia sampai rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status