Share

03. The Beginning

Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.

Liburan musim panas sudah berakhir. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari kelas mereka atau hanya sekadar bersenda gurau, berkumpul, dan mengitari kawasan lingkungan Universitas untuk melihat keindahan arsitektur bangunan Harvard.

Tahun ini umur Amelyce sudah menginjak sembilan belas tahun. Menjadi mahasiswi tahun kedua di Harvard bukan hal yang bisa dibuat bermain dan bersantai lagi. Sebelumnya tak pernah gadis itu bayangkan jika dia bisa menjadi salah satu mahasiswa Harvard, yang menempati posisi universitas terbaik di dunia dan tentunya sangat bergengsi. Amelyce memilih masuk jurusan seni dan sains, awalnya dia sedikit ragu, tapi berhubung otaknya cerdas, jadi mudah baginya untuk berada di fakultas ini dan mendapatkan beasiswa.

Amelyce menopang dagu dengan kepalan tangan, jarinya asik mengetuk-ngetuk meja pelan. Pikirannya masih berkelana pada kejadian dua hari lalu, bahkan suara dosen di depan sana dia hiraukan.

"Elyce!"

"Amelyce!"

"Hei!"

Bahu Amelyce terguncang pelan, saat tersadar dari dunianya sendiri, yang dilihat pertama kali William yang tengah menatap gadis itu khawatir.

Pria berkaca mata itu memijat pangkal hidungnya dan bergumam pelan.

"Are you okay, Elyce?" tanyanya.

Seolah nyawa Amelyce sudah terkumpul, dia langsung memegang pundak William dan mengangguk mantap dengan bibir terkulum. Wajahnya serius dan menjawab, "I'm okay, Will."

"Syukurlah, aku kira tadi kau sedang kesurupan," balas William disertai kekehan ringan.

"Enak saja!"

Amelyce baru menyadari jika sudah masuk jam istirahat, Profesor Moriz sudah keluar sejak lima menit yang lalu, itupun William yang memberitahunya.

"Ayo kita menuju kantin, saatnya mengisi perut," ucap Amelyce riang sambil mengusap-usap perut. Membayangkan makanan kantin membuat jiwa lapar gadis itu terpanggil.

"Let's go," jawab William tak ingin kalah.

 -Presence&Time-

Harvard memiliki dining hall berjumlah tiga belas tempat. Disinilah Amelyce berada, salah satu dining hall yang terkenal yaitu Anennberg Hall, dengan gaya arsitekturnya yang unik seolah-olah kita sedang berada di Hogwarts, kantin di film Harry potter.

Makanan dan minumannya pun beragam, setahun sekali pada bulan Maret akan di adakan program tahunan bernama Recipes from Here.

Program itu bertujuan untuk menghadirkan resep rumahan bagi mahasiswa yang rindu akan cita rasa dari keluarga masing-masing. Mereka bisa memasak dengan resep yang sudah dikumpulkan dalam acara Recipe from Home. Jika banyak yang menyukai, maka menu itu bisa disajikan permanen.

Siang ini Amelyce memilih menu sandwich bar begitupun dengan William, mereka duduk berhadapan di meja pojok. Sebenarnya ada yang ingin dia tanyakan pada pria berkaca mata didepannya. Tapi, gadis itu masih ragu apa William akan mempercayai ucapannya atau tidak. Jika terus menyimpan, rasanya seperti ada yang terus mengganjal dibenak Amelyce.

William itu sahabatnya sejak pertama masuk sekolah menengah, sewajarnya William harus tahu rahasia ini, karena mereka selalu terbuka satu sama lain.

"Emm ... Will, ada yang ingin kutanyakan padamu," ungkapnya.

William cepat menggeser tempat makanannya yang sudah kosong, menopang dagunya dengan kepalan tangan, satu alis William terangkat.

"Ya, El. Katakan saja?"

"Sebelumnya aku tak tahu harus mulai dari mana, aku harap kau tidak menertawakanku apalagi menganggapku gadis tak waras."

"Oh c'mon, El. Kau tahu 'kan, aku tak seperti itu."

Memang benar, William tak mungkin tega melakukan itu. Tapi, terkadang dia bisa saja di waktu-waktu tertentu akan menjelma menjadi sosok pria menyebalkan.

Amelyce menghela nafas gusar, dan melanjutkan, "Apa kau percaya jika ada karakter dari salah satu novel yang kau baca keluar ... dari dalam buku?"

Dahi William nampak mengerut, dia melepas kaca mata menaruhnya di atas meja. Pria itu nampak berpikir keras dengan ibu jarinya yang mengelus dagu berulang kali.

"Percaya dan tidak percaya. Memang ada apa, El? Tumben kau bertanya hal seperti itu?" tanyanya kembali menyorot Amelyce serius.

"Dua hari yang lalu, saat tengah malam ada sosok misterius yang mendatangiku," jawab Amelyce pelan, nyaris tak terdengar jika saja William tak berpindah posisi duduk disebelahnya.

Gadis itu terus menceritakan sampai akhir. William membekap mulut, dia kira pria itu terkejut dan percaya. Dua menit kemudian telapak tangan William menempel di kening Amelyce lalu dia menggeleng pelan.

"Aku rasa kau hanya kelelahan, El. Karena terburu mengejar waktu dan itu membuatmu berhalusinasi," ucapnya meyakinkan gadis itu.

Mungkin apa yang dikatakan William ada benarnya, Amelyce hanya kelelahan dan itu membuatnya membayangkan suatu hal yang tak masuk akal.

"Yah, sepertinya aku hanya kelelahan. Oh iya, apa kau sudah membaca ceritaku sampai habis, Will?" tanyanya.

Kemarin, Amelyce menyuruh pria berkaca mata itu membaca cerita Dark Side, sudah menjadi kebiasaannya setiap selesai mengetik cerita, orang yang pertama kali dia izinkan membaca, pasti William. Karena gadis itu tahu, William tak segan melontarkan pendapatnya jika memang cerita itu tak menarik.

"Tentu saja, El. Dari sekian banyak ceritamu. Baru kali ini aku sangat terbawa suasana dengan alurnya. Bukannya aku menyebut ceritamu sebelumnya itu tak bagus, hanya saja kau tahu, 'kan? Kau selalu menulis cerita genre romance. Sejujurnya aku agak terkejut kau akan mengambil genre fantasi kali ini, tapi kuakui, kau sangat hebat, El. Cerita itu benar-benar membawaku seperti ke dunia lain," ungkap William. Dia tersenyum tipis.

Inilah yang Amelyce suka darinya, dia akan menjawab sejujur-jujurnya.

"Emm ... menurutmu bagaimana dengan endingnya?" tanya Amelyce penasaran. Bahkan dia sampai memajukan wajahnya agar melihat ekspresi William lebih dekat dan jelas.

William menatapnya aneh. "Kau tahu, El––" dia menggantungkan kalimatnya memandang Amelyce tajam.

Gadis itu jadi merasa terintimidasi.

"Perfect," lanjutnya.

Bugh

Amelyce langsung memukul pelan William. Tatapan matanya tadi membuatnya sedikit ngeri, mengingatkan gadis itu dengan kejadian dua hari yang lalu. William meringis pelan, padahal itu tidak sakit, lagipun dia sudah sering mendapat bogeman mentah dari Amelyce.

Walau William berkaca mata, namun jangan salah, banyak gadis yang mengincarnya, selain senyum yang manis ditambah lesung pipi, dia juga pria bermulut manis yang suka menebar janji harapan palsu. Entah mengapa dari sekian banyak gadis yang dia dekati, hanya Amelyce yang tidak jatuh kedalam pesonanya. Padahal, William memperlakukannya berbeda dari kebanyakan orang, bisa dibilang mereka bersahabat tanpa melibatkan perasaan. Meskipun Amelyce tak tahu isi hati William seperti apa padanya.

"Tapi Elyce, jujur sebenarnya aku sedikit ngeri dengan ending ceritamu," ungkap William. Amelyce pun juga berpikir begitu.

"Hmm kau benar, Will."

"Dibalik itu aku sangat puas dengan endingnya, tokoh itu memang pantas mati. Kau memang penulis berbakat, El. Aku bangga padamu," pujinya dengan senyuman manis.

"Will," panggilnya pelan. "Apa kau merasa pria di ujung sana tengah memperhatikan kita?" lanjut Amelyce.

Dia sedari tadi sesekali melirik kearah yang dimaksud. Disana, seseorang tengah memandang Amelyce tajam dibalik maskernya.

William mengikuti arah yang ditunjuk, pria itu mengedipkan mata, paham akan maksud Amelyce.

"Entahlah, auranya sedikit berbeda. Tapi biarkan saja, El. Anggap saja dia tak ada," ujar William berusaha meyakinkan gadis itu. Tidak ingin membuat Amelyce berpikir terlalu jauh.

Prang!

Semua orang menengok kearah asal suara, begitupun dengan Amelyce dan William. Disana kaca jendela besar pecah tak beraturan. Suasana kantin yang riuh seketika senyap menyisakan seorang pria yang memegang kuat kerah salah satu mahasiswa yang Amelyce tahu, itu adalah Peter.

Adik William. 

Ini tak bisa dibiarkan, gadis itu melihat William sudah tak ada didekatnya. Sejak kapan dia pergi dan Amelyce pun tidak menyadari? Rupanya dia sudah berjalan kearah tempat kejadian dengan tangan mengepal.

Amelyce tahu emosi pria itu sekarang sedang membuncah. Dia lantas berlari menyusul, karena dia tahu jika William sudah dikuasai emosi, pria itu akan sangat mengerikan.

"Kau ingin mati, hah!" Bentak pria bermasker tadi. Amelyce bahkan terkejut sambil memegang dadanya. Begitu juga dengan semua orang.

"Oh fuck! Jangan sentuh dia brengsek!" umpat William sembari mendorong kasar pria itu agar adiknya terlepas dari cengkraman.

"Kau—"

Kali ini bukan William atau Peter, yang dia tunjuk adalah Amelyce! Apa maksudnya? Bicara sepatah kata pun tidak ada.

"Why?"

Dia menatap gadis itu tajam sembari melangkah mendekat. Di luar dugaan, sekali lagi dia melempar kursi ke arah jendela dan seketika pecah berkeping-keping membuat mahasiswa yang lainnya memekik dan berteriak heboh.

Amelyce menahan nafas saat tak sengaja membalas tatapannya, aura disekitar pria itu sungguh mencekam.

"Mati!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status