Share

02. Nightmare

Gadis itu terbangun dengan nafas tersengal serta peluh keringat yang mengalir dipelipis serta dahinya. Saraf-saraf otak Amelyce belum sepenuhnya berfungsi.

"Apa itu tadi? Mimpi?" lirih Amelyce.

Itu terasa nyata, terakhir kali dia bermimpi dua minggu yang lalu. Rangkaian memori alur itu selalu tersambung bagaikan cerita yang Amelyce buat. Tapi, dia tak merasa ada bagian itu yang diketiknya di cerita Dark Side.

Amelyce mengikat rambut asal lalu berjalan kearah meja, jam sudah menunjukkan tengah malam. Hampir saja dia kelupaan dengan rencananya tadi pagi. Gadis itu membaca ulang dari awal, bacaan itu terus bergulir sampai bagian akhir.

Sebenarnya Amelyce kurang yakin dengan akhir cerita yang dibuatnya, selama menulis cerita, hampir setiap malam gadis itu bermimpi hal aneh di luar akal sehat, awalnya dia mencoba tak peduli, tapi entah mengapa alur mimpi itu semakin hari seperti tersambung bagaikan film.

Malam ini, akhirnya Amelyce telah menyelesaikan ceritanya yang berjudul Dark Side.

"Yey, akhirnya selesai juga. Saatnya tidur," ungkapnya senang sambil menguap sesekali. Rumah ini sangat sepi, tak ada bibi dan paman rasanya hampa. Biasanya bibi Jessica akan membawakan segelas susu ke kamar, jika Amelyce bergadang sampai larut malam.

Gadis itu sebenarnya sedikit ngeri membaca akhir ceritanya. Tak biasanya dia membuat akhir yang tragis. Karena Amelyce pikir jika memberi ending yang bahagia sangat tak memungkinkan, jatuhnya malah aneh.

Dlep!

Tiba-tiba listrik padam, tak ada angin maupun hujan. Amelyce rasa bibi Jessica tak mungkin lupa membayar tagihan listrik bulan ini. Walau dia pemberani, namun sama saja sedikit takut jika sewaktu-waktu ada penjahat yang masuk kerumahnya.

Tok.

Tok..tok...

Tuk..

Siapa lagi yang mengetuk tengah malam begini, mana suara itu dari arah pintu belakang. Karena rasa penasaran Amelyce sudah sangat melekat, dia pikir tak ada salahnya untuk memeriksa suara ketukan itu berasal. Semakin lama suara itu terdengar kencang seiring degup jantungnya yang berdetak tak karuan. Amelyce memberanikan diri berjalan ke arah dapur, ditangannya sudah ada tongkat baseball. Jika ada orang iseng yang mencoba menakuti gadis itu, awas saja, dia tak segan akan memukul badan orang itu sampai patah tulang.

"Lihat saja, akan ku keluarkan tenaga dalamku!" Satu tangan Amelyce sudah memegang handle pintu dengan kayu baseball terangkat siap siaga. Dia membuka perlahan. Suara deritan pintu itu semakin membuat suasana terasa horror. Amelyce bahkan sampai meneguk saliva kasar.

Pintu terbuka, dan ...

Seketika nafasnya tercekat di tenggorokan, aliran darah Amelyce seolah terhenti, matanya melotot tak percaya apa yang dilihat dia saat ini.

Sosok pria yang hampir mirip seperti karakter di cerita miliknya!

"Si ... siapa kau?"

"Seseorang yang akan menjemput kematianmu lebih cepat!" sahutnya datar. Aura disekitarnya terasa menusuk.

Deg!

Tubuh Amelyce terasa kaku, apa ini nyata? Sosok yang berdiri di luar teras belakang rumah mengapa seperti salah satu tokoh di dalam ceritanya. Tongkat baseball sudah terjatuh di lantai sejak tadi, dia bahkan mengerjapkan mata berulang kali agar tersadar dari halusinasi yang dibuatnya.

"Aku harap ini hanya mimpi," batin Amelyce menduga.

Desiran angin dingin berhembus menerbangkan beberapa helai rambut pria di depan Amelyce, dapat dia rasakan ketegangan tercipta dan aura gelap menguar disekitarnya. Dari cahaya bulan purnama dia dapat melihat kedua bola mata pria itu bersinar terang. Tak ada senyum, pandangannya lurus menatap Amelyce seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.

Amelyce mencubit kuat lengannya, "Akhh ... Ini nyata!" gumamnya. Karena cubitannya barusan terasa sakit.

Dengan cepat Amelyce berbalik dan menutup pintu, namun belum sampai tertutup sempurna, pintunya sudah ditahan dari luar, sekuat apapun tenaganya berusaha mendorong, tapi tenaga lawan gadis itu lebih kuat. 

Selang berapa menit kemudian, hawa dingin seketika berhembus, bulan nampak tertutup. Suara hewan nokturnal seolah lenyap menyisakan desiran angin menyapu beberapa dedaunan kering.

Bruk

"Akhhh." Amelyce meringis saat tubuhnya terhempas ke dinding sekitar satu meter, saat mendongak pintu belakang sudah terbuka lebar. Diisana, pria itu berdiri seperti patung di ambang pintu. Gadis itu tak menyangka kekuatannya jauh lebih besar.

Rintikan hujan mulai turun, semakin lama bertambah deras dan pria asing itu masih betah berada diposisinya. Dia menyeringai tipis dan itu terlihat ... mengerikan.

"Arghhhh...," 

Petir menyambar pohon belakang dekat sumur, Amelyce berteriak kesakitan dengan kedua mata terpejam serta telapak tangan menutupi kedua telinga. Sebelumnya tak pernah dia rasakan sakit ini ketika hujan turun, telinganya berdengung. Dada gadis itu seketika sakit sampai berulang kali dia memukulnya berupaya menghilangkan rasa sesak.

"Akhh ... sa ... sakit."

"Siapa pun ... tolong a ... ku."

"Sstttt tenanglah." Suara itu menggema ditelinga Amelyce. Saat membuka mata yang dia lihat pertama kali yaitu sosok pria di sana tadi mengulurkan tangannya tepat di depan wajah, matanya bersinar di kegelapan malam.

"Sakit?"

Amelyce mengangguk sebagai jawaban. Tangannya masih setia terulur, dia ragu untuk menggapai. Apa ini jebakan? Siapa dia sebenarnya, apa dia memang karakter yang keluar dari cerita, oh itu tak masuk akal. Tapi mungkin saja iya? Amelyce merasa otaknya sudah tak berfungsi lagi akibat cerita yang dibacanya tadi. Anehnya rasa sakit itu sudah menghilang, padahal hujan masih deras di luar sana.

"Ck, gadis lemah!" Dia berdesis sembari menarik uluran tangannya dan menepuk-nepuk keras seolah habis memegang debu.

Apa katanya tadi? Amelyce tak terima dirinya disebut gadis lemah. Dia tak tahu saja seberapa sakitnya tadi, rasanya mirip seperti diambil jiwa secara paksa.

Amelyce berdiri, menatap dia sengit, dan menyahut, "Aku tak butuh bantuanmu! Sekarang, keluar, dari, rumahku!" Gadis itu menekankan kalimat itu agar dia segera pergi dari sini.

"Hmm ... kau yakin? Akan kupastikan setelah ini kau akan mencariku," jawabnya dingin.

"Kau hanya orang asing yang seenaknya main masuk ke rumah orang tanpa izin! Untuk apa aku mencarimu!"

Dia berbalik membelakangi Amelyce dan berdesis. "Sekujur tubuh itu akan sakit tak mampu menahan, kecuali—" Dia menggantungkan kalimatnya. Setelah itu dia tertawa keras. Apa yang lucu?

"Kecuali?"

"Aku harap kau tidak memohon padaku," lanjutnya ketus.

Lalu dia melangkah keluar semakin jauh hilang ditelan kegelapan yang menyisakan rintikan hujan. Tadi, Amelyce tak bisa melihat wajahnya secara jelas, hanya pantulan cahaya rembulan yang sedikit menerangi. Tapi entah firasatnya saja, dia merasa pria itu mirip seperti karakter di dalam cerita Dark Side.

Tak ingin memikirkan lebih jauh, Amelyce segera menutup pintu dan menguncinya. Pria itu kira, dirinya penting sampai Amelyce akan mencarinya. Lihat saja, dia tak akan memohon apapun kepada sosok misterius itu.

"Sejauh ini hidupku baik-baik saja tanpanya, memang dia Tuhan yang berhak mengaturku! Cih!" dengusnya.

Saat sudah sampai di ambang pintu kamar, Amelyce termangu mencengkram kuat sisi baju tidurnya. Disana, di atas meja ada sebuah cahaya merah darah menguar membentuk akar tanaman mirip seperti petir, tak berselang lama kemudian, pudar menyisakan setitik cahaya yang melebur perlahan dikegelapan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status