"Suara apaan tuh, Pak?" tanya seorang wanita sembari melongokkan kepala keluar jendela mobil pick up yang membawanya. Sang supir menghentikan mobil, ikut mencari asal suara. "Kayak orang nabrak sesuatu gak sih, Bu?" "Kok nanya balik sih, Pak? Saya juga gak tahu," sahutnya sewot. Baru beberapa detik keduanya keluar dari mobil. Suara seseorang meminta tolong terdengar dari balik semak belukar lebat yang ada di seberang jalan. Keduanya berlari melewati rerumputan setinggi lutut. Si supir menuruni tanah yang agak landai. Kemudian dia berteriak, "Bu Dokter! Ada yang ketabrak pohon nih!" Dokter wanita dengan nametag Sarah itu mendekat. Mendapati seorang pria terbaring lemas di bawah kendaraan trailnya. Sarah membiarkan si supir pick up menggiring sendiri motor itu menuju mobil. Sedangkan dia kini merogoh saku jas, mengeluarkan sarung tangan karet, memakainya sebelum menyentuh pria tersebut. "Pak tolongin dong!" serunya. "Kirain Bu Dokter mau ngangkat sendiri." "Ya kali, Pak. Ayo tolo
Sarah terkesiap saat mendengar suara benda jatuh di dekatnya. Dia mengerjap ketika melihat seseorang berjalan mengendap-endap, menuju lemari sambil membawa beberapa tas. Sarah mengucek matanya dan melotot tajam. "Adam?" "Eh? Dokter udah bangun ya?" ucap Adam sambil membuka lemari di bawah wastafel, meletakkan tas yang Sarah bawa ke dalam sana. "Jam berapa sekarang?" "Jam enam pagi." "Jam enam? Ngapain kamu ke sini hah?" tanya Sarah langsung mundur dari kursi tempat dia tidur. Menutupi dada dengan jas miliknya. Adam mengunci lemari, kemudian menunjuk ke arah rantang yang dia letakkan di atas bangsal. "Itu makanan dari perawat Amel, beliau ada di luar kok. Lagi nyapu halaman." Sarah mendelik pada Adam yang menyengir polos. "Dok, pake pelet apa sih?" tanya Adam. "Apa sih? Aku gak pake pelet apa-apa. Jangan sembarangan bicara!" sahut Sarah, ketus. Dia memeluk rantang itu ke dekapan. "Soalnya Bu Dokter bikin aku tersihir." Sarah menguap. Mengabaikan gombalan tak mutu dari Adam ya
"Ngapain sih kamu ngikutin aku?" gerutu Sarah berusaha menghindari Adam, tapi pria itu malah menyusul dan kini tengah mencoba membujuk agar Sarah mau ikut dengannya. Adam menarik tas di tangan Sarah. Berharap wanita itu berhenti bersikap keras kepala. Namun Sarah kembali merebut tas jinjingnya dari tangan Adam. "Biar aku bantu! Anggap aja balas budi karena udah nolongin aku kemarin," ujar Adam balas merenggut tas itu lagi dari Sarah. "Gak usah! Itu tugas aku nolongin orang!" Dia menarik tasnya lagi. "Dok!" "Adam!" "Ayolah, Dok!" "Gak usah!" Adam menyerah setelah aksi rebut-rebutan tas mereka dihentikan oleh suara seorang wanita dari arah berlawanan. Wanita dengan rambut dikuncir dua itu menatap Adam, sedih. "Mas Adam!" tegurnya membuat Adam mendesah sebal. Mengetahui Adam nampak tertekan melihat wanita itu, Sarah jadi penasaran. Dia menyenggol pinggang Adam seraya mendongak menatap pria jangkung itu. "Pacar kamu ya?" "Gak ada. Aku gak punya pacar. Tapi kalau Bu Dokter mau,
"Gak, Dam! Obat ini bikin kamu ketergantungan. Aku gak bisa biarin kamu konsumsi ini terus!" kata Ardi memeluk kuat paket itu, kemudian membawanya pergi. Meninggalkan Adam yang mendecih sebal. Dia mengacak rambutnya, frustasi. Sudah cukup lama dia tidak meminum obat antidepresan karena dokter yang menanganinya meminta Adam untuk memulai pola hidup baik. Makan teratur, olahraga dan berusaha tidur sesuai anjuran. Semua sudah dia lakukan, terkecuali bagian tidur. Adam dihantui mimpi buruk setiap malam. Membuat dia punya waktu tidur paling lama hanya dua jam, sisanya dia habiskan dengan berolahraga atau merenung. Obat lebih bisa membuatnya tenang saat serangan cemasnya datang. Obat lebih bisa membuatnya merasa damai dari rasa bersalah, meski sesaat. Dan kini, obat itu mau dihanguskan oleh Ardi di halaman belakang. "Ardi!" pekik Adam seraya menuruni anak tangga dan merebut kotak itu dari tangannya. "Adam! Aku minta kali ini sama kamu, jangan membantah perintah dari Bos Besar. Kamu suda
Sarah memasang jas dokternya. Masuk ke ruangan perawatan yang sedang sibuk dan agak kacau. Beberapa lansia tengah menunggu di depan bagian administrasi. Tampak lelah dan tak sabaran. Meskipun begitu, Sarah tak bisa langsung menyuruh mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Ada beberapa pasien yang memerlukan bantuannya sekarang. Seperti di ruang perawatan, ada dua pasien yang terbaring lemas di bangsal, salah satunya terluka. "Kenapa ini?" tanya Sarah saat melihat kaki si pasien mengeluarkan darah cukup banyak. Membasahi bangsal tempat dia berbaring. "Kena pisau. Lukanya cukup dalam, Dok. Perlu dijahit." Mendengar ucapan sang suster, si pasien pria itu menangis ketakutan. Membuat kekacauan makin menjadi. Sementara pasien satunya juga menangis karena takut disuntik. Sarah memijit pelipisnya. Dia menarik napas panjang, kemudian mendekati pria tadi. Berusaha menenangkan. "Kalau luka Bapak gak dijahit. Takutnya nanti infeksi, Pak. Jika lukanya dibiarkan menganga begitu, sembuhnya juga bakala
"Jangan minum obat penenang. Kamu udah ketergantungan, Dam!" tegur Ardi yang tengah duduk manis di kursi lipat. Kedua kakinya menyilang, menunjukkan parut memanjang di bagian pergelangan, luka akibat kecelakaan motor di dekat persawahan beberapa bulan yang lalu."Kalau aku mau tidur nyenyak, ya mesti minum obat itu." Adam membuka botol obat tersebut, sebelum dirampas paksa oleh Sarah yang datang tiba-tiba.Ardi menatap wanita itu datar, namun dalam hati bersyukur karena setelah itu Adam tak berkutik lagi. Tatapan memohonnya tak membuat Sarah gentar, justru makin menegaskan kalau malam ini dia tak akan tidur ditemani obat tersebut."Aku udah bilang tadi. Lupa?""Enggak lupa. Cuma gak ingat aja," ujar Adam disertai cengiran lebarnya.Sarah dan Ardi mendesah bersama, sebal dengan sikap petakilan Adam. Kedua orang itu berdiri di depan bangsal Adam. Melipat tangan di dada. Lebih dulu Ardi menyentil dahi Adam, membuat pria itu meringis. "Aku balik dulu, mau ambil baju sekalian bawain pakaia
Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan. Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras."Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?""Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi.""Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.Tidak berbasa basi, Ad
"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu."Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif. "Dia menguping pembicaraan kita.""Itu gak disengaja, Di.""Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak me