Share

6. Rumor

"Jangan minum obat penenang. Kamu udah ketergantungan, Dam!" tegur Ardi yang tengah duduk manis di kursi lipat. Kedua kakinya menyilang, menunjukkan parut memanjang di bagian pergelangan, luka akibat kecelakaan motor di dekat persawahan beberapa bulan yang lalu.

"Kalau aku mau tidur nyenyak, ya mesti minum obat itu." Adam membuka botol obat tersebut, sebelum dirampas paksa oleh Sarah yang datang tiba-tiba.

Ardi menatap wanita itu datar, namun dalam hati bersyukur karena setelah itu Adam tak berkutik lagi. Tatapan memohonnya tak membuat Sarah gentar, justru makin menegaskan kalau malam ini dia tak akan tidur ditemani obat tersebut.

"Aku udah bilang tadi. Lupa?"

"Enggak lupa. Cuma gak ingat aja," ujar Adam disertai cengiran lebarnya.

Sarah dan Ardi mendesah bersama, sebal dengan sikap petakilan Adam. Kedua orang itu berdiri di depan bangsal Adam. Melipat tangan di dada. Lebih dulu Ardi menyentil dahi Adam, membuat pria itu meringis. "Aku balik dulu, mau ambil baju sekalian bawain pakaian ganti buat kamu, Dam."

"Makasih, pas banget aku mau berduaan aja sama Dokter Sarah."

Bibir Sarah mendecih, geli mendengar omongan Adam.

"Aku mau balik," kata Sarah telak membuat Adam cemberut.

"Kalau gitu aku mau balik ju--"

"Adam!" seru Ardi dan Sarah bersamaan. Keduanya saling lirik dengan tatapan tak bersahabat. Lebih dulu Ardi memutus kontak mata, mengendikkan bahu lalu pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Sarah menyilangkan tangan di dada. Memandang Adam yang duduk manis di pinggir bangsal dengan muka pucatnya. "Malam ini kamu tidur di sini. Jaga kesehatan kamu, Dam. Begadang terus menerus sangat berbahaya. Kamu mau mati muda?"

"Hmm, aku usahain tidur."

"Mesti tidur. Aku tunggu di sini sampai Ardi balik. Sekarang berbaring dan pejamkan mata kamu."

Bak bocah kecil yang penurut, Adam menuruti perintah Sarah. Berbaring telentang dengan selimut sebatas dada. Matanya terpejam, napasnya yang teratur berembus lembut. Sarah memperhatikan dalam diam, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi pada Adam, sampai dia berada di tahap ini.

Masalalu sekelam apa yang Adam hadapi hingga begitu takut hanya untuk sekedar memejamkan mata. Sarah penasaran, namun dia tidak mau ikut campur. Kecuali Adam mau berbagi dengannya.

Jam berdetak lamban dalam keheningan. Sarah menguap. Lirikan matanya tertuju pada Adam yang sudah terlelap. Seulas senyum terbit, tanpa sadar jemarinya yang lentik menyapu rambut tebal Adam.

Mengurai helaiannya yang halus dan menggelitik. Namun gerakan tangan Sarah terhenti ketika Ardi berdehem dari balik pintu perawat, menenteng satu tas berukuran sedang. Sarah cepat-cepat bangun dan membuang muka. Malu.

"Karena kamu sudah datang, aku akan pergi."

Sayang, pergerakan Sarah terhenti. Ardi menggeleng lemah. Dengan berat hati pria itu meminta tolong pada Sarah, yang sejujurnya tidak ingin dia lakukan. "Tolong jaga Adam malam ini. Aku ada urusan di luar dengan kakaknya."

"Malam ini juga?" sergah Sarah seraya menunjuk jam dinding. Jarum pendek mengarah di angka sebelas, dan ini terlalu malam untuk melakukan urusan seperti yang Ardi maksud.

"Hmm, darurat. Tolong, malam ini saja."

Kebencian yang Ardi tunjukkan tadi siang berubah jadi muka mengiba yang mau tak mau terpaksa Sarah turuti. Wanita itu duduk kembali di kursi lipat. "Oke, kamu bisa pergi sekarang. Taruh saja tasnya di dekat lemari."

"Terima kasih, Dok." Ardi benar-benar meninggalkannya setelah meletakkan tas jinjing di dekat lemari nakas.

Sarah berpaling pada Adam. "Alam berpihak sama kamu ya, Dam."

***

Sarah terhenyak. Terkesiap melihat Adam bergerak gusar di bangsal. Keringat dingin leleh dari pelipisnya. Kedua tangan kekarnya mencengkram sprei. Bibir pucat pasinya bergumam lirih.

Mengetahui Adam tengah mengalami mimpi buruk, Sarah segera bangkit. Menyentuh pundaknya dan berusaha menyadarkan Adam.

"Gak apa-apa, Dam! Kamu aman!" kata Sarah, menenangkan.

Adam membeliak dalam kengerian. Tubuhnya mengejang hebat, dia memeluk Sarah. Membenamkan wajahnya di dada sang wanita. Mencari ketenangan di sana.

"Aku gak bersalah, Dok."

"Iya, kamu gak salah, Dam." Sarah menerima pelukan itu dengan perasaan sedih. Jelas terlihat betapa tersiksanya Adam dalam mimpi tersebut. Lirihan memilukan yang keluar dari mulutnya menambah rasa penasaran Sarah.

'Apa yang terjadi sama Adam? Trauma apa yang dialami?' batin Sarah sambil terus menepuk pundak kokoh Adam yang bergetar dalam ketakutan.

"Sudah mulai tenang?" bisik Sarah.

"Dokter wangi."

"Kamu sengaja meluk aku?" tanya Sarah bersiap mendorong tubuh besar Adam menjauh darinya.

"Itu sebuah refleks, Dok."

"Refleks apa modus?" selidik Sarah.

Adam menjauh. Tersenyum getir pada Sarah. "Dua-duanya. Tapi berkat Dokter Sarah, setidaknya aku tidur lumayan lama. Sangat jarang aku bisa tidur sampai jam segini," ungkap Adam sembari mengangsurkan selimut pada Sarah yang mengusap-ngusap pundaknya karena dingin.

"Syukurlah kalau begitu."

Telapak kaki Adam menyentuh keramik. Dingin menyergap. Memeluknya dalam kebekuan yang menyesakkan. Dia bergerak keluar kamar, diikuti Sarah. Kedua orang itu berdiri bersisian di depan puskesmas. Memandang hujan gerimis yang melanda.

"Dingin, Dam. Kamu sebaiknya balik ke kamar."

"Udah pagi, Dok. Aku juga udah merasa bugar. Oiya, Ardi kok gak ada? Ke mana dia?"

"Katanya ada urusan penting sama kakak kamu. Ada masalah?" tanya Sarah kepo.

Pandangan Adam tertuju pada rintik hujan. Menduga-duga urusan apa yang Ardi lakukan dengan kakaknya--Hamzah.

'Apa mungkin, mereka sudah menemukan buktinya? Atau jangan-jangan....'

Lamunan Adam terpotong oleh pekikan kecil Sarah. Wanita itu melompat, memeluk leher Adam. "Ular!" teriak Sarah menunjuk hewan kecil melata yang sedang melewati kaki Adam.

Kekehan Adam terdengar renyah. Dia menatap wajah Sarah dari jarak beberapa centi itu. Tersenyum lebar, seolah baru saja mendapat jakpot besar. "Dokter Sarah modus!" ledeknya.

***

Kembali dari puskesmas. Sarah mendapati kamarnya basah oleh air hujan. Tempias air dari lubang di atap telah membuat separuh kamarnya lembab.

"Hah, gak ada abis-abisnya kerjaan aku."

Sarah menarik sprei basah dan mengeluarkan kasur dari kamar. Memandang atap dengan muka kesal. "Mana bisa aku benerin atap! Telpon pak lurah ajalah, siapa tahu beliau bisa bantu."

Menunggu sambungannya terhubung. Sarah mondar mandir di ruang tamu. Menyeka anak rambut yang menutupi wajahnya. "Pak lurah!" pekik Sarah tak sabaran.

"Iya, Bu Dokter. Ada apa? Saya gak budeg, Bu! Santai aja bicaranya!" tegur lelaki tua itu dari seberang sana.

"Pak, atap kamar saya bocor. Basah kuyup semua nih. Siapa ya kira-kira yang bisa benerin atapnya? Kalau ujan lagi, berabe, Pak!" gerutu Sarah.

"Oalah, kalau gitu saya minta Adam aja ya. Dia itu jagonya."

"Adam lagi? Gak ada yang lain, Pak?" sentak Sarah ogah bertemu Adam. Insiden pelukan tadi pagi sudah membuat harga dirinya jatuh di hadapan pria itu. Adam meledeknya dan jelas Sarah marah.

"Cuma dia yang mau ngerjain hal remeh temeh begini."

Sarah menghela napas. "Yaudah, minta Adamnya datang nanti sore ya pas saya balik dari puskesmas."

"Iya, Bu. Hati-hati ya sama Adam. Meskipun dia kelihatan baik, tapi dia pernah dirumorkan sebagai buronan polisi loh."

"Atas kasus apa?" tanya Sarah.

Pak lurah mengeluarkan suara berbisik, "Pembunuhan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status