Share

5. Mau Modus Berujung Pingsan

Sarah memasang jas dokternya. Masuk ke ruangan perawatan yang sedang sibuk dan agak kacau. Beberapa lansia tengah menunggu di depan bagian administrasi. Tampak lelah dan tak sabaran.

Meskipun begitu, Sarah tak bisa langsung menyuruh mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Ada beberapa pasien yang memerlukan bantuannya sekarang. Seperti di ruang perawatan, ada dua pasien yang terbaring lemas di bangsal, salah satunya terluka.

"Kenapa ini?" tanya Sarah saat melihat kaki si pasien mengeluarkan darah cukup banyak. Membasahi bangsal tempat dia berbaring.

"Kena pisau. Lukanya cukup dalam, Dok. Perlu dijahit." Mendengar ucapan sang suster, si pasien pria itu menangis ketakutan. Membuat kekacauan makin menjadi. Sementara pasien satunya juga menangis karena takut disuntik.

Sarah memijit pelipisnya. Dia menarik napas panjang, kemudian mendekati pria tadi. Berusaha menenangkan. "Kalau luka Bapak gak dijahit. Takutnya nanti infeksi, Pak. Jika lukanya dibiarkan menganga begitu, sembuhnya juga bakalan lama. Jangan takut ya, Pak."

"Tapi, Dok...."

"Nanti dikasih anestesi kok, Pak. Gak bakalan berasa banget. Ya, Pak? Siap ya?" tanya Sarah ramah.

Mendengar bujukan halus Sarah, pria itu akhirnya mengangguk. Dia memejamkan mata ketika merasakan suntikan anestesi dimasukkan ke tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia diam, mengawasi Sarah yang sibuk mengobati lukanya, merapatkan bagian kulit yang terbuka lalu mulai menjahitnya.

Selesai dengan pria itu, Sarah mendekati pasien lain dan berusaha menenangkan mereka dari rasa takut yang mungkin jadi pemicu kekacauan. Tak berselang lama dia kembali ke ruangannya, menerima keluhan dari beberapa pasien. Sebelum akhirnya dia melihat nama Adam tertera di bagian akhir berkas.

"Adam HF? HF? Nama dia keren juga," gumam Sarah didengar oleh orangnya langsung.

"Makasih, Dok. Aku memang keren."

Sarah mengeluarkan kertas resep dari dalam berkasnya. Berdehem ketika berhadapan dengan Adam yang masih kelihatan pucat dan lemas. Di belakang Adam seorang lelaki tengah memegangi bahunya, memandang Sarah dengan muka datar. Tak bersahabat.

"Sudah sejak kapan susah tidur?"

"Setahun lalu," jawab pria di belakang Adam. Dia menaikkan sebelah alis ketika Sarah nampak tak senang mendengar jawabannya. Dengan santai dia menambahkan, "Adam mengalami gangguan tidur sejak--"

"Sejak aku pindah ke desa ini." Adam memotong ucapan Ardi dengan cepat. Tak mau pria itu membocorkan masalah pribadinya dengan Sarah.

"Adam!" tegur Ardi membuat Sarah mendesah sebal karena tahu dua orang ini akan bertengkar di ruangannya. Walaupun ingin menyela, Sarah tak berniat melakukannya.

"Ardi, ini urusan aku. Sekarang keluar saja, yang pusing dan meriang itu aku, bukan kamu!" kata Adam sewot. Ardi mengembuskan napas, melirik Sarah sekilas lalu pergi dari ruangan tersebut.

Adam memutar badan, menghadap Sarah. "Maaf sebelumnya, Dok. Ardi memang agak posesif."

Dada Sarah membusung karena tarikan napas. Sekesal-kesalnya dia pada Adam dan kawannya, Sarah tak bisa mengusir mereka. Sebagai dokter kewajibannya adalah melayani mereka yang yang sakit, termasuk Adam.

Kembali dia menggenggam bolpoin, hendak mencatat keluhan Adam yang lain. "Jadi, selain urusan tidak bisa tidur. Ada lagi?"

"Jujur saja, Dok. Gara-gara lihat Dokter kemarin aku jadi gak bisa tidur."

"Kamu nyalahin aku?"

"Iya, tanggung jawab, Dok. Pokoknya nanti pas pulang aku yang jemput." Adam menggeser kursi lalu meninggalkan ruangan Sarah. Tapi wanita itu menghentikannya, menggoyangkan kertas resep di depan wajah.

"Apa maksud kamu datang ke ruanganku cuma buat ini? Kamu buang-buang waktu, Dam."

Adam menyanggakan bahunya di kusen pintu. Melipat tangan di dada seraya melirik keluar ruangan yang sepi. Sudah tak ada pasien yang datang karena sedang jam istirahat. Alis Adam mengerut, muram.

"Tapi aku datang pas udah gak ada antrian pasien lagi, Dok."

"Tetap aja kamu buang-buang waktu aku!" keluh Sarah sambil merapikan mejanya. Bergegas melepas jas lalu keluar dari ruangan itu. Adam menjulurkan tangan menutupi pintu. Menyeringai pada Sarah.

Akan tetapi tatapan Sarah menyapu wajah Adam, lalu pada darah yang keluar dari hidung Adam. "Kamu mimisan!" pekik Sarah kaget.

***

"Aku baik-baik aja, Kak."

"Apa pingsan dan mimisan bisa disebut 'baik-baik saja', Dam?" sindir sang kakak dari sambungan telepon mereka.

Ardi duduk di samping bangsal tempat Adam berbaring. Menatap adik bosnya itu dengan muka flat. Padahal dia dan Adam berniat menemui Sarah saja, tapi kenyataan malah sebaliknya. Mereka berdua terjebak di dalam ruangan perawatan, dihelat sebuah tirai.

Kondisi Adam memburuk, dan Sarah menyarankan agar Adam meminum obat tidur sesuai dosis. Namun Adam menolak. Ketakutannya akan mimpi buruk itu membuat dia lebih sering terjaga sepanjang malam.

"Aku akan ikut saran dokter, Kak. Tenang aja, aku ke sana besok. Kalau kondisiku memungkinkan." Ardi yang mendengar itu, hanya memutar malas bola matanya. Dia menopang wajah dengan tangan di atas bangsal.

"Hmm, jangan lupa menyamar. Karena anak buah Farhani tersebar di mana-mana. Mereka mencarimu," ujar Hamzah mengingatkan Adam akan bahaya yang masih mengintainya di luar sana.

"Iya, sudah dulu, Kak." Adam memutus sambungan telepon ketika pintu ruang perawatan terbuka. Menampilkan sosok Sarah yang cantik dalam balutan make up tipis. Rambutnya diikat setengah kepala dengan hiasan jepit rambut cantik warna keemasan.

Ardi mendecih. Dia memilih keluar ruangan dan duduk di kursi tunggu. Membiarkan Adam berbicara dengan Sarah.

"Aku gak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Dam. Tapi obat ini gak bisa dikonsumsi berlebihan. Efek sampingnya tidak bagus buat kamu," kata Sarah seraya menunjukkan label obat yang Adam buang kemarin. Pria itu memalingkan muka, menghindari tatapan Sarah.

"Sebenarnya apa yang terjadi hah? Sampai-sampai kamu punya obat ini, kamu punya gangguan cemas?" tanya Sarah telak membuat Adam bangun dari bangsal.

Dia merebut label obat itu. "Sebenarnya ada obat yang manjur biar aku gak mengonsumsi ini terus."

"Kalau begitu, kenapa masih memilih obat ini sebagai solusinya?" tukas Sarah kesal.

"Sayang obat manjurnya susah didapat."

"Memang apa?"

"Dokter Sarah."

Huueekkk. Ardi yang mendengar gombalan Adam langsung berlari keluar. Tidak kuat mendengar gombalan receh itu. Sedangkan Sarah yang menjadi target hanya memandang Adam dengan muka datar. Sama sekali tak tersanjung.

Telunjuk wanita itu menempel di dada Adam, sekali dorong saja dia sudah terbaring kembali di sana. Matanya mengerjap, kaget merasakan tangan lentik Sarah menyentuh keningnya. Hangat menjalar di pipi hingga ke telinga Adam. Dan Sarah sadar itu.

"Panasnya sudah mulai berkurang. Aku akan berikan resep obat, minum tiga kali sehari. Kamu harus mencoba tidur beberapa jam, Dam. Jika kamu terus memaksa untuk terjaga, kesehatanmu bisa semakin menurun."

"Tidak apa-apa, toh ada dokter Sarah yang merawat."

Sarah mendesis geli. "Ini bukan untuk bercandaan, Dam. Mulai malam ini jangan begadang. Tidur. Itu bisa membuat tubuhmu bugar."

"Masalahnya mimpi sialan itu selalu datang, Dok."

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status