Share

4. Sebenarnya Apa Yang Kamu Alami?

"Gak, Dam! Obat ini bikin kamu ketergantungan. Aku gak bisa biarin kamu konsumsi ini terus!" kata Ardi memeluk kuat paket itu, kemudian membawanya pergi. Meninggalkan Adam yang mendecih sebal.

Dia mengacak rambutnya, frustasi. Sudah cukup lama dia tidak meminum obat antidepresan karena dokter yang menanganinya meminta Adam untuk memulai pola hidup baik. Makan teratur, olahraga dan berusaha tidur sesuai anjuran.

Semua sudah dia lakukan, terkecuali bagian tidur. Adam dihantui mimpi buruk setiap malam. Membuat dia punya waktu tidur paling lama hanya dua jam, sisanya dia habiskan dengan berolahraga atau merenung.

Obat lebih bisa membuatnya tenang saat serangan cemasnya datang. Obat lebih bisa membuatnya merasa damai dari rasa bersalah, meski sesaat. Dan kini, obat itu mau dihanguskan oleh Ardi di halaman belakang.

"Ardi!" pekik Adam seraya menuruni anak tangga dan merebut kotak itu dari tangannya.

"Adam! Aku minta kali ini sama kamu, jangan membantah perintah dari Bos Besar. Kamu sudah ketergantungan berat dengan obat-obat ini," ujar Ardi bersiap melempar obat itu ke kobaran api di dalam drum bekas.

"Tolong, Di! Kamu tahu sendiri kalau aku ti--"

"Ada apa ini?" seru Pak Lurah tiba-tiba muncul memotong pertengkaran mereka. Pria itu menyorot senter di tengah kegelapan malam. Melangkah mendekati halaman belakang rumah Adam yang lumayan besar. Dia menaikkan sarung di pundaknya.

"Kenapa kalian berdua ribut sekali hah?" keluhnya sembari mengusap pitaknya yang mungkin kedinginan sekarang.

Melihat ada kesempatan yang bagus, Adam merebut kotak paket itu dari tangan Ardi. Melesat masuk ke dalam rumah, meninggalkan Ardi yang mendesah sebal karena gagal menjalankan tugas dari Kakak Adam sendiri. Dia mengulas senyum pada Pak Lurah.

"Tidak apa-apa, Pak. Biasa berantem sesama kawan."

Ardi mendengar suara bising kendaraan Adam yang melesat jauh. Dia mengumpat, segera berlari lewat jalan samping rumah. Mengabaikan Pak Lurah yang berteriak-teriak memanggil namanya.

Sebelum Ardi sempat mengejar, Adam sudah tak terlihat lagi di belokan jalan. Dia membawa paket tersebut entah ke mana dan sekarang Ardi harus menemukannya. Segera dia masuk ke rumah dan menelepon kakaknya Adam. Memberitahu pria itu kalau adiknya baru saja membawa kabur obat yang ingin dia basmi.

"Hah, dia memang keras kepala. Tidak usah ambil pusing, Di. Biarkan dia, aku akan memberitahu dokternya untuk berhenti mengirimi Adam obat itu. Tenang saja," ujar Hamzah kalem.

Sementara itu, Adam masih terus membawa paketan di dekapannya menuju bantaran sungai yang biasa dijadikan warga sebagai tempat aktivitas mencuci dan memancing. Adam menghentikan motor di sana. Berjalan menuruni bebatuan besar, menuju pinggiran sungai yang dipenuhi batu coral. Dia duduk di sana, memandang hamparan air di tengah kegelapan.

"Pasti kak Hamzah bakalan menghubungi dokter itu dan menyuruhnya untuk tidak menyuplai lagi obat untukku. Sialan!" gerutu Adam sembari membuka bungkusan paket yang dibalut selotip.

Setelah berjuang mati-matian menggigiti plastiknya, botol obat itu kini berada dalam genggamannya. Hanya satu dan artinya dia tak bisa menenggak sesuka hati. Adam mendesah. Dia menarik labelnya, membuang ke bawah bebatuan coral sebelum menyimpan botol obat di saku celana.

"Mimpi sialan!" umpat Adam seraya melempar satu batu ke tengah sungai.

Berharap hal itu bisa membuatnya bosan dan mengantuk. Akan tetapi, rasa kantuk tak kunjung datang. Sekali datang pun malah mimpi buruk yang menemaninya. Adam merebahkan badan di bebatuan. Memandang langit malam, lalu memejamkan mata.

***

"Jadi kerannya mati?" seru Sarah dengan muka melongo.

"Iya, Bu Dokter. Maaf, saya lupa bilang. Kalau petugas airnya datang, saya bakalan kasih tahu mereka." Sarah menatap layar ponselnya dengan muka sedih, dia memegang erat kedua sisi handuk yang tersampir di lehernya.

"Mumpung masih pagi, Bu Dokter bisa ke sungai. Biasanya belum banyak yang mancing jam segini." Pak Lurah berujar lagi dari sambungan telepon mereka.

"Apa? Sungai?" tanya Sarah makin panik.

"Gak apa-apa, Bu. Sungainya bersih kok. Gak jauh dari sini," ujar Pak Lurah menyebutkan arah-arah yang mesti ditempuh oleh Sarah untuk bisa ke sungai.

"Tolong ya, Pak. Segera kasih tahu pihak PDAM-nya buat perbaiki saluran airnya."

"Iya, Bu."

Sarah menghela napas lalu bergegas pergi dari rumahnya ke sungai. Perjalanan yang dia tempuh memang tidak jauh, tapi seumur-umur dia belum pernah mandi di sungai. Bagaimana kalau ada ular? Buaya? Penguntit? pikirnya cemas.

Sewaktu dia sampai di sana. Pikiran buruk itu terhempaskan oleh pemandangan yang ada. Bebatuan nampak jelas di dalam air yang jernih. Tampak bersih dan terawat. Sarah melepaskan kemejanya, menyisakan bralette hitam dan celana pendek sepaha.

Dia bergidik ketika air dingin menyentuh kulitnya yang putih. Perlahan Sarah mencelupkan kakinya ke dalam air, berjalan di batu coral besar dengan hati-hati. Tiba-tiba dia terdiam saat mendengar gemerisik batu dari pinggiran sungai.

"Bidadari lagi mandi nih," seru seseorang membuat Sarah berteriak kaget. Dia menceburkan diri, menyembunyikan tubuhnya dari pandangan orang lain.

"Siapa di sana?" tegur Sarah sambil menutup dadanya.

"Calon suami, Bu Dokter."

Sarah melangkah perlahan di air yang dangkal, terperangah melihat Adam sedang duduk di bebatuan sambil menyandar dengan muka pucat. Dia tersenyum tipis, sesaat melambaikan tangan pada Sarah.

"Adam? Ngapain kamu di situ?"

"Gak ada apa-apa, Dok. Kalau gitu aku balik dulu," kata Adam berusaha berdiri dari sana dengan berpegangan pada batu besar di sampingnya. Namun Adam justru terhuyung dan jatuh bersama dengan obat di sakunya.

Sarah keluar dari air, lekas menghampiri Adam. Menyentuh keningnya yang berkeringat dingin, lalu menepuk pipi Adam agar dia sadar. Pria itu mengerjap.

"Bu Dokter?" ucapnya masih bisa senyum. Cepat Adam menegakkan badannya, menarik botol obat di dekat Sarah dan segera menyembunyikannya. Namun Sarah memergokinya, dia menahan Adam, hendak merebut benda itu.

"Apa itu hah? Jangan bilang kamu habis ngobat di sini!" tuduh Sarah sembarangan.

Adam menggeleng.

"Terus apa? Tunjukkin ke aku!" paksa Sarah masih merebuti benda di tangan Adam sekuat tenaga. Sedangkan Adam mencari cara agar bisa kabur dari sana, sebelum Sarah melihat apa yang berusaha dia sembunyikan.

"Dok, dadamu ituloh... kelihatan!"

"Apa?"

Sontak Sarah menunduk, melihat dadanya sendiri. Tak menemukan hal yang ganjil. Sarah mendongak, terkejut saat mendengar Adam berteriak dari arah jalanan. Bersiap pergi dengan motornya.

"Dokter... maaf. Aku gak sengaja lihat."

"Adam!" pekik Sarah sembari berdiri mengamati kepergian pria itu. "Obat apa itu ya?" gumam Sarah lalu bergerak menuju tempat Adam muncul. Dia berjongkok, menarik selembar kertas yang terselip di bebatuan.

Sarah mengenali nama obat yang tertera di kertas itu. Obat antidepresan yang biasa digunakan oleh orang gangguan mental. Lalu Adam? Apa dia salah satu dari orang-orang itu? Pikir Sarah.

"Sebenarnya, apa yang terjadi sama dia?" gumam Sarah, heran.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status