Share

7. Bocor!

Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan.

Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras.

"Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?"

"Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi."

"Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.

Tidak berbasa basi, Adam keluar rumah. Datang membawa tangga dari rumah tetangga Sarah. Dari jendela, Sarah melihat Adam naik satu persatu anak tangga hingga tubuhnya sudah berada di atap.

Suara derap kakinya yang merayap di atas terdengar samar. Sarah terdiam, mengenang rumor yang dibeberkan pak lurah. Melihat sikap Adam selama ini, Sarah berpresepsi kalau pria itu tidak seperti yang digosipkan. Apa muka tengil Adam cocok jadi kriminal? Apalagi sampai menghabisi orang lain?

Tidak mungkin, sergah Sarah dalam benaknya sendiri.

Tubuh wanita itu terhempas di kursi empuk usang yang busanya sudah keluar dari lingkupan penghalangnya. Punggung kecil itu menyandar di sandaran. Mengacu dari masalah yang Adam hadapi tentang mimpi buruknya, justru menimbulkan spekulasi baru bagi Sarah?

Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki trauma, ternyata seorang pembunuh? Apa itu masuk akal? pikir Adam terus menerus mencerna hal tersebut hingga tak dasar kalau Adam memanggil-manggil namanya.

Sarah tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Adam dari balik genteng. "Iya, Dam. Kenapa?" seru Sara bergegas ke pinggir jendela dan menengok Adam yang sedang bertengger di atas.

"Lupa bawa palu," kekeh Adam membuat Sarah memutar malas bola matanya.

Secepat yang Sarah bisa, dia berlari kecil keluar rumah. Berdiri di depan tangga tempat Adam berjuang untuk turun dari atap. Pria itu tersenyum lebar kala kakinya menginjak tanah kembali.

"Maaf, Dok. Keknya atap di kamar itu udah banyak yang pecah. Wajar aja kalau musim penghujan, kamar dokter bakalan jadi tempat penampungan," canda Adam.

Sarah yang tak punya selera humor itu cuma mendongak, melihat rintik kecil yang mulai menetes ke hidung bangirnya. Tepat saat itu Adam mengangkat satu tangannya dan menarik Sarah seraya memekik pelan, "Hujan!"

"Mau benerin atap malah hujan!" keluh Adam menyeka rambutnya yang basah. Dia menengok Sarah, melirik pada sesuatu yang mencetak jelas lekuk tubuh wanita itu. Sontak Adam menengadah, berusaha mempertahankan matanya untuk tidak menuju tepat ke dada Sarah.

"Gimana pun ini gak bisa ditinggali kalau hujan." Adam menatap wajah Sarah yang basah oleh tempias yang menembus celah-celah genteng. Wanita itu mengembuskan napas, tampak setuju dengan ucapan Adam. "Mau ngungsi ke rumah aku dulu?"

"Rumah kamu? Gak ah, nanti kamu apa-apain aku lagi. Gak mau." Sarah menolak tegas tawaran Adam yang sejujurnya cukup menggiurkan, mengingat rumahnya sedang tak layak ditinggali.

Adam tertawa geli sembari menarik lengan Sarah menjauh dari ruang tamu. Berdiri di pojokan, cukup aman dari titik hujan yang membasahi karpet serta lantai. "Jujur banget sih, Dok. Sekalipun aku itu suka ya sama Dokter Sarah, aku gak bakalan ngapa-ngapain Dokter."

Telunjuk Adam mengarah ke genteng. "Lihat, bocornya parah banget. Dokter mau tidur di terpa tempias air? Mau tidur sambil basah-basahan? Mending kalau basahnya enak, lah ini bi--"

"Oke! Omongan kamu gak usah dilanjut!" tegur Sarah menyela ucapan Adam yang arahnya sudah tidak jelas itu.

Adam terkekeh. "Dokter cantik kalau marah."

"Diem gak!"

"Hahaha, salting ya?" goda Adam, menoel-noel bahu Sarah.

"Masa bodoh!"

"Terima kasih ya, Dok. Berkat Dokter aku merasa segar hari ini. Aku jadi kepikiran buat melakukan sesuatu."

Adam menoleh pada Sarah yang menatapnya. "Apa?" sembur wanita itu, ketus.

"Mau nikah sama aku gak, Dok?"

Sarah melotot. "Sinting kamu, Dam!"

***

Sarah sempat merasa tidak yakin dengan keputusannya. Namun saat memasuki rumah Adam, dia menyisihkan keraguan itu. Rumah Adam rapi dan bersih. Lantainya yang terbuat dari kayu, dilapisi karpet tebal, yang terasa nyaman ketika diinjak.

Cahaya matahari masuk ke ventilasi dengan intensitas yang tepat. Tidak panas dan tidak membuat gelap. Sarah suka.

Dia tersenyum ketika memperhatikan rak kecil berisi buku berderet dengan susunan sesuai warna. Di meja tamu terdapat satu vas bunga dengan taplak meja kecil. Di bagian sudut rumah, terdapat deretan sepatu Adam dan Ardi.

Secara keseluruhan, rumah ini nyaman bagi Sarah. "Rumah kamu bagus," puji Sarah mendapat balasan kerlingan mata dari Adam yang melenggang keluar masuk kamarnya.

"Sarah." Mendengar namanya dipanggil tanpa embel dokter, membuat Sarah terhenyak. Panggilan itu terasa akrab dan menyenangkan ketika Adam mengatakannya. Entah kenapa.

"Ya--waw! Kamar kamu?"

"Ya masa kamar pak lurah..." seloroh Adam membuat Sarah tertawa. Dia masuk ke dalam dan tersenyum mendapati keadaan kamar pria itu tampak normal.

"Malam ini Dokter bisa tidur di sini. Silakan istirahat saja, aku mau bikin makan malam. Ardi mungkin bakalan pulang malam nanti," ungkap Adam lalu meninggalkan Sarah yang kini menuju kasur.

"Wangi," bisik Sarah saat merebahkan tubuhnya di kasur Adam yang berbau lembut lavender. Di bagian dinding, terdapat foto-foto random, lalu di nakas terdapat satu bingkai foto berisi Adam dan kakaknya dalam balutan pakaian casual. Kelihatan akrab dan bahagia, berbeda jauh dengan kondisi Adam sekarang.

Meletakkan pas foto itu lagi, Sarah bangun dari kasur setelah mendengar bunyi dentang denting dari dapur. Ketika kakinya berjalan ke depan pintu dapur, dia mendengar suara Ardi tengah berbicara dengan Adam.

"Bagaimana?" tanya Adam sembari menggulung lengan bajunya.

"Kacau. Orang-orang kita ketahuan menguntit. Aku tidak yakin mereka selamat setelah diadili," kata Ardi membuat Sarah tertegun.

"Sialan. Padahal kita belum mendengar laporan mereka," celetuk Adam menusuk tajam kayu telenannya dengan pisau.

"Itulah masalahnya."

"Jadi apa keputusannya? Mencari mereka atau mengabaikan fakta kalau mereka mungkin sudah jadi mayat sekarang?" ucap Adam membuat kilas balik ucapan pak lurah menggema dalam otak Sarah.

"Menunggu berita kematian mereka, mungkin?" keluh Ardi lalu berbalik menghadap pintu, mendapati Sarah yang berdiri lemas di sana.

Tatapan keduanya bertemu. Ardi mendelik, bertanya dengan nada tajam. "Kenapa perempuan ini di sini, Dam?"

***

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status