Share

8. Gak Suka, Yaudah!

"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."

Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu.

"Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.

Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif.

"Dia menguping pembicaraan kita."

"Itu gak disengaja, Di."

"Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak memberontak, hanya menatap kilatan amarah Adam yang berapi-api. "Kita tidak tahu siapa yang baik dan buruk saat ini."

"Sarah orang baik."

Ardi mendesah. Menepis tangan Adam dan menjauh dari lelaki itu. Dia berhenti di ambang pintu kamar, mengamati Sarah yang berdiri canggung di sana. Tanpa mengatakan apapun, Ardi melewati wanita tersebut.

"Aku akan kembali ke rumahku."

"Jangan. Ini udah malam, bahaya. Desa ini belum ada penerangan."

"Aku gak mau kalian berantem hanya karena keberadaanku, Dam."

Melihat raut rasa bersalah di muka Sarah, membuat Adam tak nyaman. Jelas ini bukan salah Sarah. Tapi hanya karena Sarah yang tak sengaja mendengar pembicaraan penting Ardi dengannya, posisi Sarah jadi dipermasalahkan.

"Ardi gak berantem sama aku."

"Berselisih," timpal Sarah.

Adam mengusap kasar rambutnya yang sedikit bergelombang itu. Mendekat pada Sarah dan tetap bersikukuh menyuruh sang wanita untuk menginap. "Tetap di sini, Dok. Soal Ardi, aku akan urus. Dia cuma kecapaian karena habis dari kota. Wajar jika dia agak sensitif. Sekarang istirahat saja. Aku akan panggil jika makan malam," ucap Adam menepuk pundak Sarah dan meninggalkan wanita itu.

"Tapi, Dam--" seru Sarah diabaikan oleh Adam yang sudah berjalan keluar rumah, menghampiri Ardi yang tengah merokok di beranda.

Sarah masuk ke kamar, memberikan privasi untuk dua orang itu bercakap-cakap soal masalah mereka. Adam lebih dulu membuka percakapan. "Di, Sarah bukan orang jahat. Aku percaya, dia dokter yang berdedikasi tinggi. Tidak mungkin dia ada sangkut pautnya dengan kasus yang kita hadapi."

"Terserah."

"Kamu marah?" seru Adam.

Ardi diam. Dia mengisap kuat-kuat nikotin yang ada dalam gulungan tembakaunya. Menguarkan asap dari mulut dan hidung secara bersamaan. Adam menahan napasnya beberapa saat sebelum berujar, "Aku akan menemui kakak nanti."

"Jangan, kondisi belum kondusif. Orang-orang itu bisa saja menangkapmu, sewaktu-waktu."

"Ada sesuatu yang mesti kutandatangani," sela Adam memandang ke halaman rumah mereka yang gelap gulita. Lampu rumah warga yang jarang itu terlihat seperti kunang-kunang kecil. Adam mendesah. "Aku juga takut. Tapi kak Hamzah sudah bilang, dokumen kali ini harus aku sendiri yang menandatanginya."

"Surat apa?" tanya Ardi penasaran.

"Pemindahan kuasa."

***

Ardi melirik Sarah yang keluar dari kamar Adam. Terlihat kacau dengan rambut singanya. Dia mencari-cari sesuatu yang Ardi duga adalah Adam. Segera setelah meletakkan piring kosong di atas meja, dia berkata pada Sarah, "Adam pergi."

"Ke mana?"

"Yang jelas agenda membetulkan atapmu itu dia batalkan. Ada urusan lain."

Sarah menghela napas. Dia melirik makanan di atas meja. "Malam-malam begini?"

"Begitulah. Mungkin besok siang dia sudah kembali."

"Ouh."

"Duduk. Aku diamanahi untuk menjagamu," kata Ardi terdengar tidak tulus. Namun Sarah menanggapi dengan muka masa bodoh lalu duduk di kursi, menarik rantang nasi dan melahap makanan tersebut dalam diam.

Keheningan yang menyelimuti mereka berdua, membuatnya frustasi. Ketika Ardi menyelesaikan makannya, Sarah menyela, "Maaf soal tadi sore. Aku tidak sengaja mendengar percakapan kalian."

Ardi memutar malas bola matanya. Pria ini memang cenderung lebih menyebalkan dari pada sifat petakilan Adam. Dan Sarah sebisa mungkin sabar menghadapi. "Aku salah. Harusnya aku tidak diam di sana."

"Menurutmu percakapan tadi penting tidak? Kalau tidak, lupakan saja."

"Cukup penting untuk memperkuat rumor yang aku dengar."

Tawa Ardi pecah. "Menurutmu Adam seperti itu? Pembunuh?"

"Terkadang orang bejat berlindung di balik topeng untuk melindungi presepsi orang lain terhadap mereka."

"Waw, entah siapa yang memulai rumor itu, tapi yang jelas orang berpendidikan sepertimu pun termakan berita bohong tersebut." Nada bicara Ardi yang meremehkan telak membuat amarah Sarah meluap.

Wanita itu menggebrak meja makan. "Tidak usah membawa pendidikan orang lain, Di. Kalau kamu memang gak suka aku di sini. Sekarang aku bisa angkat kaki kok," ujar Sarah. Entah keberanian dari mana, dia keluar dari rumah tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Menembus kegelapan malam. Dia mendengar samar suara Ardi berbicara. Yang sekaligus menghentikan langkah wanita itu untuk menyusuri jalan.

"Adam bukan pembunuh, biar kuluruskan. Dia... dia hanya..."

"Hanya apa?" sergah Sarah memandang geram muka Ardi yang kikuk.

"Di--" ucapan Ardi terpotong oleh suara batuk seseorang di tengah kegelapan malam.

Sorotan senter mengarah ke wajah Sarah, yang lantas ditudungi Sarah dengan kedua tangannya.

"Bu Dokter? Loh kok di sini? Malem-malem di rumah Adam? Dia sakitkah?" tanya pak Lurah tiba-tiba muncul di saat tidak tepat, yang sekaligus membuat Ardi lega karena tidak harus mengatakan yang sebenarnya pada wanita itu.

"Rumah saya masih belum dibenerin. Sore tadi hujan, dan satu rumah basah. Adam minta saya nginep." Sarah melirik sebentar pada Ardi lalu menyambung omongannya, "Tapi keknya Ardi gak senang saya di sini. Makanya saya mau pergi."

Bola mata Ardi melebar. "Loh?" serunya kaget dengan pernyataan yang Sarah lontarkan itu.

"Aduh, Nak Ardi. Dibantu dong Bu Dokternya. Kasian, semalam aja gak masalahkan? Ada kamarkan buat beliau ini?" tanya pak Lurah membuat Ardi memijit pelipisnya, mau tak mau Ardi menerima kembali kehadiran Sarah dan menyumpahi wanita itu atas sikap playing victimnya.

***

Adam keluar dari mobil SUV. Pakaiannya yang serba hitam dengan balutan jaket kulit keluaran brand ternama, membuatnya tidak dikenali. Beberapa orang hanya menoleh sekilas lalu fokus lagi pada aktivitas mereka.

Pramutamu hotel menyambut Adam. Mengantarnya ke ruangan pertemuan. Dia menatap Hamzah, kakaknya yang tengah menikmati segelas anggur sambil mengawasi kandelir mewah di atas kepalanya.

"Aku harus naik mobil dengan kecepatan kilat. Nyawaku dipertaruhkan untuk datang ke sini."

Mendengar suara adiknya di depan pintu, Hamzah pun menoleh. Tersenyum lebar saat menarik lengan Adam dan mendekapnya.

"Kamu berlebihan banget, Dam!" keluh Hamzah menepuk pundak Adam keras. Dia menarik kursi di sampingnya. Mempersilakan pria itu duduk di sana.

Hamzah memberi isyarat pada asistennya agar segera membawakan dokumen pentingnya, karena Hamzah tahu Adam tak mau berbasa basi sekarang. Bahkan sekadar bertukar kabar pun lelaki itu, enggan.

"Aku tidak mau dipergoki kolegamu," kata Adam meraih pulpen mewah milik Hamzah dan membubuhkan tanda tangan segera.

"Kepemilikan sementara ada di tangan kakak. Aku bisa mengambil hakku kapanpun." Adam memperingatkan, membuat Hamzah tertawa geli melihat ekspresinya yang serius.

"Aku tahu, Dam. Surat pemindahan kuasa ini aku buat untuk menegaskan pada semua kolega, kalau kekuasaanmu terhadap perusahaan sudah tidak ada lagi. Dan... ini bagian dari taktik kita memancing target," jelas Hamzah.

"Kakak ingin melihat siapa yang paling bahagia atas berita ini'kan?" bisik Adam diangguki oleh Hamzah.

***

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status