"Suara apaan tuh, Pak?" tanya seorang wanita sembari melongokkan kepala keluar jendela mobil pick up yang membawanya. Sang supir menghentikan mobil, ikut mencari asal suara.
"Kayak orang nabrak sesuatu gak sih, Bu?""Kok nanya balik sih, Pak? Saya juga gak tahu," sahutnya sewot.Baru beberapa detik keduanya keluar dari mobil. Suara seseorang meminta tolong terdengar dari balik semak belukar lebat yang ada di seberang jalan. Keduanya berlari melewati rerumputan setinggi lutut.Si supir menuruni tanah yang agak landai. Kemudian dia berteriak, "Bu Dokter! Ada yang ketabrak pohon nih!"Dokter wanita dengan nametag Sarah itu mendekat. Mendapati seorang pria terbaring lemas di bawah kendaraan trailnya. Sarah membiarkan si supir pick up menggiring sendiri motor itu menuju mobil. Sedangkan dia kini merogoh saku jas, mengeluarkan sarung tangan karet, memakainya sebelum menyentuh pria tersebut."Pak tolongin dong!" serunya."Kirain Bu Dokter mau ngangkat sendiri.""Ya kali, Pak. Ayo tolongin, dia perlu diobatin. Lukanya lumayan loh," kata Sarah. Supir itu mengangguk, kembali turun dan membantu Sarah menyeret pria tadi ke bagian box pick up. Sarah menyusul dan duduk di sebelah kendaraan trail yang berada di antara kotak-kotak berisi obat dan keperluan lainnya."Jalan aja, Pak. Saya yang nemenin dia di sini.""Siap Bu Dokter," ujar si supir segera masuk bagian kemudi. Melaju menuju desa yang berada jauh dari area hutan pinus yang mereka lewati. Sepanjang jalan hanya ada deretan pohon yang menjulang tinggi. Tersusun rapi dengan ukuran yang sama.Sarah mengalihkan tatapan pada pria di sampingnya. Mengamati wajahnya yang cukup tampan, rambut amburadulnya, juga pada tato di bagian lengannya, kemudian beralih pada pakaiannya yang berupa kaos usang kumal dan kotor.Jemari Sarah menyeka rumput yang menyangkut di rambut hitam pria tersebut. "Dia kenapa sih, sampai pohon aja ditabrak? Heran," gerutu Sarah lalu mengalihkan tatapan ke area hutan yang mereka lewati.Matahari perlahan meredup. Kegelapan menyelimuti perjalanan mereka. Hanya ada sorot lampu mobil yang perlahan terganti cahaya di setiap rumah warga. Sarah tersenyum lebar waktu melihat bangunan beton bercat putih tampak kokoh di depan sana.Ada beberapa orang yang menunggu mereka datang. Saat melihat Sarah turun melompati pembatas box, mereka menghampiri. Terkejut mendapati seorang pria terbaring bersama motor trailnya."Loh, kok si Adam bisa ikut Mang Udin sih?" tanya salah satu warga, kebingungan."Dia tadi nabrak pohon... terus pingsan, makanya kita bawa. Tolong bawa masuk biar saya obati," perintah Sarah.Mereka mengangguk, segera menggotong Adam menuju ruang perawatan. Membaringkannya di bangsal."Makasih, saya akan obati dia. Bapak sekalian bisa bantu Mang Udin aja buat ngangkat beberapa barang ke dalam," kata Sarah. Dia mengambil alkohol dan membersihkan luka di tubuh Adam, membubuhkan obat merah kemudian membalutnya dengan perban.Selesai, dia berkemas dan menyusun barang-barang keperluan di puskesmas bersama beberapa perawat lain. Ada banyak perlengkapan yang masih kurang dan juga obat-obatan yang mesti Sarah siapkan di sana. Alhasil, dia memilih untuk menyelesaikannya sendiri."Kalian bisa pulang kok. Saya bakalan selesain ini sendiri," ujar Sarah."Tapi Bu Dokter'kan baru datang. Masa udah kerja sampai begadang sih?"Sarah mengulas senyum, menunjuk pada Adam yang masih belum sadar di bangsal. "Saya juga bakalan temenin dia.""Tapi Bu--""Gak apa-apa, saya sudah biasa kok. Kalian pulang aja dulu, besok datang lebih pagi aja buat bantu saya. Oke?"Dua perawat wanita itu akhirnya mengangguk. Meninggalkan Sarah yang kini berdiri di samping bangsal Adam. Menjulurkan tangan dengan hati-hati ke dahi Adam. Alisnya berkerut ketika merasakan kulit Adam."Panas," gumam Sarah bergegas keluar kamar tersebut.***"Akhh!""Ayah?" tanya seorang pria, memecah kegentingan antara dua orang yang saling berhadapan itu. Bercak darah memenuhi baju kemeja keduanya. Salah satu dari mereka menjulurkan tangan."A-ad-adam! Pp-pergi dari sini, Nak!" ucapnya terbata-bata.Adam yang berdiri mematung di depan pintu. Baru sadar, jika darah yang membasahi baju dua orang itu adalah darah sang ayah. Suara erangannya membuat lutut Adam bergetar. Dia melangkah mundur. Siap lari dari sana.Tubuh ayahnya jatuh, telentang dengan satu pisau menancap di dada. Namun pria itu masih sadar. Dengan sisa tenaga yang ada, dia mengangkat kepala, menatap Adam."Pergi Adam!" perintah ayahnya lagi sambil terbatuk-batuk.Darah menggenang, bau anyir menyeruak ke indra penghidu Adam. Dia mau berlari, tapi sosok yang masih membelakanginya itu bersuara, "Pengecut! Dasar lelaki pengecut!"Adam mengepalkan tangan, menatap punggung pria itu. Dalam hitungan detik dia berlari, menarik bahunya seraya bersiap melayangkan tinju. Namun...."Aaaakhhh!"Adam membuka mata saat merasakan sesuatu yang basah mengenai wajahnya. Dia bangun. Duduk dengan cepat, menoleh pada sosok berbaju putih di sebelahnya."Aaaakhhh setan!" teriaknya lagi sampai terjatuh dari bangsal. Sarah berjalan ke dekat Adam, menepuk pundak pria itu."Setan....!" teriak Adam sambil menutup wajah. Mengabaikan rasa sakit yang mendera bokongnya.Sarah memutar bola mata, sebal melihat tingkah Adam. Sekali lagi dia menepuk pundak Adam lebih keras. "Kamu mimpi apa sih sampai teriak-teriak begini? Aku bukan setan tau!"Adam mengintip dari celah jemari. "Terus kamu siapa hah?" tanyanya masih takut."Aku Sarah. Dokter baru di sini," ujarnya sembari melipat tangan di atas lutut. Tersenyum lebar pada Adam yang menganga tak percaya. Terperangah karena sosok cantik di depannya sekarang.Sarah berdiri, meninggalkan Adam yang masih mematung di bawah bangsal. Pria dengan tampilan kucel itu segera bangun dan menghampiri Sarah yang tengah membereskan botol-botol alkohol di dalam lemari."Jadi kamu dokter baru? Wah, mimpi apa aku semalam sampai ketemu bidadari surga kayak kamu!" kata Adam membuat Sarah menoleh, mengamati wajah cengengesannya yang menggelikan."By the way, kenapa kamu teriak-teriak tadi? Mimpi buruk?" tanya Sarah kemudian menutup pintu lemari. Menyandarkan punggung di sana. Mengawasi gerak gerik Adam yang kelihatan canggung."Bukan apa-apa. Udah biasa.""Mimpi buruk setiap malam?""Bisa dibilang begitu, tapi mungkin setelah malam ini... aku bakalan mimpi indah terus." Adam menyengir sekaligus mengalihkan pembicaraan mereka.Sarah menaikkan satu alisnya. "Kenapa?""Karena mungkin aku bakalan mimpiin wajah cantik Dokter Sarah."'Gombalmu basi!' batin Sarah dongkol. Dia mendesah kemudian menarik ujung kaos Adam menuju pintu keluar. Tak peduli pria itu terseok-seok mengikuti langkah kakinya."Sepertinya kamu udah gak perlu aku obatin lagi. Sekarang mending kamu pulang dan tidur," instruksinya sambil menunjuk ke arah motor trail Adam yang mogok."Masa aku diusir sih, Dok? Gak pengen ditemenin gitu?""Mending aku ditemenin setan daripada kamu," sahut Sarah lalu menutup pintu puskesmas. Namun belum sempat pintu itu tertutup, Adam mengganjalnya dengan tangan. Mendorong pelan hingga dia bisa melihat Sarah lagi."Dok, sebelum aku pergi. Boleh nanya gak?""Apa?""Udah punya gandengan belum?" tanya Adam.Sarah langsung menutup pintu dan menguncinya. Berjalan menuju wastafel. Dia menghela napas lega, mengamati jemarinya yang bergetar. "Kenapa wajah Adam sekilas mirip dengan si brengsek itu ya?"TBCSarah terkesiap saat mendengar suara benda jatuh di dekatnya. Dia mengerjap ketika melihat seseorang berjalan mengendap-endap, menuju lemari sambil membawa beberapa tas. Sarah mengucek matanya dan melotot tajam. "Adam?" "Eh? Dokter udah bangun ya?" ucap Adam sambil membuka lemari di bawah wastafel, meletakkan tas yang Sarah bawa ke dalam sana. "Jam berapa sekarang?" "Jam enam pagi." "Jam enam? Ngapain kamu ke sini hah?" tanya Sarah langsung mundur dari kursi tempat dia tidur. Menutupi dada dengan jas miliknya. Adam mengunci lemari, kemudian menunjuk ke arah rantang yang dia letakkan di atas bangsal. "Itu makanan dari perawat Amel, beliau ada di luar kok. Lagi nyapu halaman." Sarah mendelik pada Adam yang menyengir polos. "Dok, pake pelet apa sih?" tanya Adam. "Apa sih? Aku gak pake pelet apa-apa. Jangan sembarangan bicara!" sahut Sarah, ketus. Dia memeluk rantang itu ke dekapan. "Soalnya Bu Dokter bikin aku tersihir." Sarah menguap. Mengabaikan gombalan tak mutu dari Adam ya
"Ngapain sih kamu ngikutin aku?" gerutu Sarah berusaha menghindari Adam, tapi pria itu malah menyusul dan kini tengah mencoba membujuk agar Sarah mau ikut dengannya. Adam menarik tas di tangan Sarah. Berharap wanita itu berhenti bersikap keras kepala. Namun Sarah kembali merebut tas jinjingnya dari tangan Adam. "Biar aku bantu! Anggap aja balas budi karena udah nolongin aku kemarin," ujar Adam balas merenggut tas itu lagi dari Sarah. "Gak usah! Itu tugas aku nolongin orang!" Dia menarik tasnya lagi. "Dok!" "Adam!" "Ayolah, Dok!" "Gak usah!" Adam menyerah setelah aksi rebut-rebutan tas mereka dihentikan oleh suara seorang wanita dari arah berlawanan. Wanita dengan rambut dikuncir dua itu menatap Adam, sedih. "Mas Adam!" tegurnya membuat Adam mendesah sebal. Mengetahui Adam nampak tertekan melihat wanita itu, Sarah jadi penasaran. Dia menyenggol pinggang Adam seraya mendongak menatap pria jangkung itu. "Pacar kamu ya?" "Gak ada. Aku gak punya pacar. Tapi kalau Bu Dokter mau,
"Gak, Dam! Obat ini bikin kamu ketergantungan. Aku gak bisa biarin kamu konsumsi ini terus!" kata Ardi memeluk kuat paket itu, kemudian membawanya pergi. Meninggalkan Adam yang mendecih sebal. Dia mengacak rambutnya, frustasi. Sudah cukup lama dia tidak meminum obat antidepresan karena dokter yang menanganinya meminta Adam untuk memulai pola hidup baik. Makan teratur, olahraga dan berusaha tidur sesuai anjuran. Semua sudah dia lakukan, terkecuali bagian tidur. Adam dihantui mimpi buruk setiap malam. Membuat dia punya waktu tidur paling lama hanya dua jam, sisanya dia habiskan dengan berolahraga atau merenung. Obat lebih bisa membuatnya tenang saat serangan cemasnya datang. Obat lebih bisa membuatnya merasa damai dari rasa bersalah, meski sesaat. Dan kini, obat itu mau dihanguskan oleh Ardi di halaman belakang. "Ardi!" pekik Adam seraya menuruni anak tangga dan merebut kotak itu dari tangannya. "Adam! Aku minta kali ini sama kamu, jangan membantah perintah dari Bos Besar. Kamu suda
Sarah memasang jas dokternya. Masuk ke ruangan perawatan yang sedang sibuk dan agak kacau. Beberapa lansia tengah menunggu di depan bagian administrasi. Tampak lelah dan tak sabaran. Meskipun begitu, Sarah tak bisa langsung menyuruh mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Ada beberapa pasien yang memerlukan bantuannya sekarang. Seperti di ruang perawatan, ada dua pasien yang terbaring lemas di bangsal, salah satunya terluka. "Kenapa ini?" tanya Sarah saat melihat kaki si pasien mengeluarkan darah cukup banyak. Membasahi bangsal tempat dia berbaring. "Kena pisau. Lukanya cukup dalam, Dok. Perlu dijahit." Mendengar ucapan sang suster, si pasien pria itu menangis ketakutan. Membuat kekacauan makin menjadi. Sementara pasien satunya juga menangis karena takut disuntik. Sarah memijit pelipisnya. Dia menarik napas panjang, kemudian mendekati pria tadi. Berusaha menenangkan. "Kalau luka Bapak gak dijahit. Takutnya nanti infeksi, Pak. Jika lukanya dibiarkan menganga begitu, sembuhnya juga bakala
"Jangan minum obat penenang. Kamu udah ketergantungan, Dam!" tegur Ardi yang tengah duduk manis di kursi lipat. Kedua kakinya menyilang, menunjukkan parut memanjang di bagian pergelangan, luka akibat kecelakaan motor di dekat persawahan beberapa bulan yang lalu."Kalau aku mau tidur nyenyak, ya mesti minum obat itu." Adam membuka botol obat tersebut, sebelum dirampas paksa oleh Sarah yang datang tiba-tiba.Ardi menatap wanita itu datar, namun dalam hati bersyukur karena setelah itu Adam tak berkutik lagi. Tatapan memohonnya tak membuat Sarah gentar, justru makin menegaskan kalau malam ini dia tak akan tidur ditemani obat tersebut."Aku udah bilang tadi. Lupa?""Enggak lupa. Cuma gak ingat aja," ujar Adam disertai cengiran lebarnya.Sarah dan Ardi mendesah bersama, sebal dengan sikap petakilan Adam. Kedua orang itu berdiri di depan bangsal Adam. Melipat tangan di dada. Lebih dulu Ardi menyentil dahi Adam, membuat pria itu meringis. "Aku balik dulu, mau ambil baju sekalian bawain pakaia
Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan. Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras."Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?""Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi.""Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.Tidak berbasa basi, Ad
"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu."Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif. "Dia menguping pembicaraan kita.""Itu gak disengaja, Di.""Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak me
Adam kembali pagi-pagi sekali setelah tidur beberapa jam di hotel dan mengabaikan kondisi Ardi bersama Sarah di rumah. Jelas Adam tidak khawatir Sarah dan Ardi macam-macam, karena dia tahu Ardi tidak tertarik pada hubungan rumit bersama wanita. Bahkan sejak Adam pergi, keduanya sudah terlibat dalam permusuhan tak tersirat yang lebih dulu dimulai oleh Ardi.Ketika dia sampai di teras, Adam melihat Sarah sudah keluar dari rumah. Tampak cemberut. Saat mendapati Adam pulang, senyumnya merekah tipis. Sambutan yang cukup membuat hati Adam berbunga-bunga."Dokter udah mau balik? Gak sekalian sarapan di sini?""Aku gak mau diintai terus sama temen kamu itu! Ngeri tahu!"Adam tertawa. Ardi menjalankan perintahnya dengan baik, bahkan lebih dari yang Adam harapkan. Sewaktu dia melirik ke pintu depan, Ardi berdiri di sana sambil bersidekap. "Mau ku antar ke rumah?" tawar Adam mengabaikan pelototan Ardi."Kamu baru balik," kata Sarah seraya mengawasi tampilan Adam yang luar biasa lebih rapi dari b