Share

3. Berteman Dengan Obat

"Ngapain sih kamu ngikutin aku?" gerutu Sarah berusaha menghindari Adam, tapi pria itu malah menyusul dan kini tengah mencoba membujuk agar Sarah mau ikut dengannya.

Adam menarik tas di tangan Sarah. Berharap wanita itu berhenti bersikap keras kepala. Namun Sarah kembali merebut tas jinjingnya dari tangan Adam.

"Biar aku bantu! Anggap aja balas budi karena udah nolongin aku kemarin," ujar Adam balas merenggut tas itu lagi dari Sarah.

"Gak usah! Itu tugas aku nolongin orang!" Dia menarik tasnya lagi.

"Dok!"

"Adam!"

"Ayolah, Dok!"

"Gak usah!"

Adam menyerah setelah aksi rebut-rebutan tas mereka dihentikan oleh suara seorang wanita dari arah berlawanan. Wanita dengan rambut dikuncir dua itu menatap Adam, sedih.

"Mas Adam!" tegurnya membuat Adam mendesah sebal.

Mengetahui Adam nampak tertekan melihat wanita itu, Sarah jadi penasaran. Dia menyenggol pinggang Adam seraya mendongak menatap pria jangkung itu.

"Pacar kamu ya?"

"Gak ada. Aku gak punya pacar. Tapi kalau Bu Dokter mau, aku gak keberatan."

Sarah mendesis. "Aku yang keberatan."

Wanita dengan tampilan sedikit norak itu mendekati kedua orang tersebut. Melirik Sarah dengan muka judes, meneliti tampilannya sebentar, lalu bergelayut manja di lengan kekar Adam. "Mas Adam kenapa gak pernah ngojek lagi ke desa sebelah? Leila kangen tahu diboncengin sama Mas Adam," ujarnya lembut serta menggoda.

'Dih! Genit amat!' batin Sarah lantas menarik tasnya, kemudian melenggang pergi dari hadapan dua sejoli itu. Tak mau menganggu kemesraan mereka. Tapi Adam justru memberentangkan tangan Leila, merenggut ujung jas Sarah. Menghentikan langkah Sarah agar tidak meninggalkannya dengan Leila sekarang.

"Maaf ya, aku harus segera anterin Dokter Sarah ke tempatnya."

"Tapi, Mas...." Leila berusaha menggapai Adam, tapi gagal.

Dengan gesit dia menghindar, bergegas menyalakan motor. Mengedikkan kepala ke arah jok pada Dokter Sarah yang enggan naik. "Cepat, Dok!" kata Adam setengah berbisik.

Sarah yang merasa tak nyaman dengan wanita tadi, sempat ragu untuk ikut Adam. Namun setelah dipaksa oleh pria itu, akhirnya Sarah naik ke jok belakang dan menyerahkan tas jinjingnya pada Adam.

Knalpot Adam yang berisik, meraung, mengeluarkan asap hitam yang tepat sasaran mengenai sosok Leila. Dia terbatuk, mengipasi wajahnya."Mas Adam kok gitu sih!" teriaknya dengan muka merengut.

Sedangkan Adam dan Sarah sudah meluncur pergi jauh di depannya. Leila mendengus, kedua tangannya mengepal kuat saat bertatapan mata dengan Dokter Sarah. "Awas aja kalau dia berani ngerebut Mas Adam!" gerutu Leila.

Tatapan tajam Leila terputus. Sarah buang muka. Dia segera menepuk punggung lebar Adam. "Ngapain sih kamu tinggalin dia! Kalau dia salah paham gimana hah," hardik Sarah pada Adam yang fokus menyetir motor.

"Lebih baik gitu. Aku'kan sukanya sama Dokter Sarah bukan sama Leila."

"Segampang itu ya kamu bilang suka. Pasti playboy, jangan-jangan cewek tadi istri kamu?" tuduh Sarah membuat Adam menghentikan motornya mendadak. Tubuh ramping Sarah menabrak punggung Adam.

"Apaan sih, Dok! Aku masih single, belum nikah. Rencananya sih mau nikahin Dokter... akhhh! Dokter kok nyubit sih!" keluh Adam seraya mengusap pinggangnya yang berdenyut-denyut.

"Aku turun nih!"

"Iya, iya, maaf! Habis Dokter cantik sih! Aku'kan jadi demen."

"Adam sekali lagi kamu ngomong begitu, aku turun beneran."

Sarah menggeser badannya yang mendempet, lalu berpegangan pada pinggiran motor trail. Mengamati hamparan sawah serta pohon kelapa yang berjejer di sepanjang jalan. Tak sadar dia mengulas senyum. Merasa beruntung karena ke depannya akan menikmati pemandangan yang jarang dia lihat di kota.

"Masih jauh, Dam?"

"Bentar lagi, Dok. Noh, di depan sana ada rumah panggung. Itu tempat tinggal Dokter nanti," ujar Adam. Dia membelok motor menuju jalan setapak. Tak lama mereka memasuki pekarangan yang dihiasi bunga sepatu serta pohon mangga yang nampak berbuah lebat.

"Ini rumahnya?" tanya Sarah takjub.

Adam mengangguk. Dia mengambil alih tas Sarah. Menaiki undakan tangga bersama Sarah yang tak henti-henti berdecak kagum. Namun tiba-tiba Adam menggerutu. "Dasar pak tua pikunan. Dia lupa kasih kuncinya sama kita," ujar Adam seraya menunjuk ke pintu yang masih digembok.

Sarah tersenyum. Dia berjalan menuju birai penghalang di teras yang terbuat dari kayu. Menyangga kedua tangannya di sana. "Udahlah, kita tungguin aja Pak Lurah."

"Jadi Dokter mau ditemenin sama aku ya?" goda Adam sambil menggoleng pinggang ramping wanita di sebelahnya.

Sarah menoleh. Mengangkat sebelah alis. "Bisa diam gak?"

"Bisa, Dok. Demi Dokter apasih yang enggak."

Kepala Sarah menggeleng, heran dengan tingkah Adam. Samar dia mendengar pria itu menguap lebar. Sontak dia duduk menjulurkan kaki ke bawah, kemudian menyandarkan kepala di pilar kayu pembatas.

"Bukannya aku udah nyuruh kamu buat istirahat ya? Kayaknya kamu gak tidur semalam," kata Sarah berjongkok di sisi Adam. Menyentuh keningnya sekilas lalu mendesah sebal.

"Aku gak bisa tidur setelah bermimpi buruk. Tapi syukur juga kemarin aku bisa tidur pas pingsan," ungkap Adam sambil menerawang.

"Biasanya insomnia?"

"Hmm, aku langganan obat tidur."

"Kamu ada trauma?" selidik Sarah membuat Adam lantas menengok ke sampingnya. Tepat ke wajah Sarah. Adam buang muka lalu tersenyum lebar.

"Kalau iya, apa Dokter bisa nyembuhinnya?" tanya Adam.

***

Adam turun dari motornya. Berlari masuk ke dalam rumahnya dan mendapati Ardi tengah duduk manis di kursi rotan sambil menjawab telepon seseorang yang dia yakini adalah kakaknya--Hamzah.

"Iya, Bos. Saya akan sampaikan hal ini pada Adam." Ardi mengakhiri pembicaraannya, menoleh pada Adam yang tengah duduk menyandar di kursi sembari memejamkan mata.

"Bos Besar nelepon aku barusan. Ada beberapa dokumen yang mesti kamu tanda tangani, besok."

"Hmm, terus apa lagi?" sahut Adam tanpa melihat sang lawan bicara.

Ardi mendesah. Dia melanjutkan, "Lalu soal kasus itu... masih belum ada perkembangan. Detektif yang mengikuti para target tidak menemukan apapun selain mereka pergi berlibur keluar kota dengan para simpanan. Menjijikkan!" kata Ardi berkecumik.

"Itu sudah jadi tradisi mereka. Pesta dan wanita. Lalu apa lagi?"

Ardi menggeleng. "Tidak ada. Semuanya bersih."

Kali ini giliran Adam yang mendesah. Lelah mengetahui kalau kenyataan yang mereka hadapi terlalu rumit. "Memang sejak awal susah sekali mencari celah. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang bisa menggiring kita menemukan bukti. Kalau para target yang kita incar adalah dalang dalam kejadian itu," ujar Adam berusaha menenangkan hatinya dari rasa bersalah yang terus berkecamuk.

"Lidah mungkin bisa menyembunyikan kebusukan, tapi mata tidak pernah. Jika kita jeli, kita pasti menemukan kebenaran itu."

Adam menyunggingkan senyum. Melirik paket di kursi paling pojok yang disembunyikan Ardi. Dia menjulurkan tangan, menunjuk paketannya. "Aku perlu itu."

"Kamu udah ketegantungan ini, Dam. Bos Besar menyuruhku agar menyita semua obat ini"

"Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang cuma obat itu sekarang, Di. Kembalikan!" perintah Adam sengit.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status