Share

2. Si Petakilan

Sarah terkesiap saat mendengar suara benda jatuh di dekatnya. Dia mengerjap ketika melihat seseorang berjalan mengendap-endap, menuju lemari sambil membawa beberapa tas. Sarah mengucek matanya dan melotot tajam.

"Adam?"

"Eh? Dokter udah bangun ya?" ucap Adam sambil membuka lemari di bawah wastafel, meletakkan tas yang Sarah bawa ke dalam sana.

"Jam berapa sekarang?"

"Jam enam pagi."

"Jam enam? Ngapain kamu ke sini hah?" tanya Sarah langsung mundur dari kursi tempat dia tidur. Menutupi dada dengan jas miliknya.

Adam mengunci lemari, kemudian menunjuk ke arah rantang yang dia letakkan di atas bangsal. "Itu makanan dari perawat Amel, beliau ada di luar kok. Lagi nyapu halaman."

Sarah mendelik pada Adam yang menyengir polos.

"Dok, pake pelet apa sih?" tanya Adam.

"Apa sih? Aku gak pake pelet apa-apa. Jangan sembarangan bicara!" sahut Sarah, ketus. Dia memeluk rantang itu ke dekapan.

"Soalnya Bu Dokter bikin aku tersihir."

Sarah menguap. Mengabaikan gombalan tak mutu dari Adam yang sudah menjadi polusi suara di paginya yang damai. Beruntung, perawat Amel datang. Dia menegur Adam dan menyuruh pria itu keluar dari ruangan tersebut.

"Nanti sore mau dijemput gak?" tanya Adam pada perawat Amel yang tengah mencuci tangan di wastafel.

"Gak usah, ongkosnya mahal kalau sama kamu mah."

"Kali ini gratis deh, Bu."

"Kenapa?"

"Sebagai wujud rasa syukur, karena udah bisa ketemu bidadari semalam." Adam cengengesan, dia mengedipkan sebelah matanya pada Sarah. Disambut muka jijik wanita itu.

'Hah, mimpi apa aku semalam ketemu orang kayak dia?' batin Sarah sembari mendesah sebal.

Melihat wajah dongkol Sarah. Amel lantas mendorong punggung Adam agar pergi dari sana. Adam melambaikan tangan, lalu melempar kissbye padanya. Membuat wanita itu bergidik ngeri.

"Maaf ya, Bu Dokter. Adam emang gitu, dia agak sedikit lain otaknya. Tapi dia pria baik kok, meski tampilannya rada slengean." Amel duduk di sebelah Sarah yang tengah membuka rantang berisi makanan itu. Melahapnya dengan riang.

"Enak, Bu?"

Sarah mengangguk, menyuap lagi makanan yang ada di rantang itu. Amel menggigit bibir, menatap sang dokter. "Tadi pagi Adam jemput saya, katanya mau berterima kasih sama Bu Dokter. Jadi, dia masak itu buat Bu Dokter."

Gerakan mulut Sarah terhenti seketika. Dia menoleh pada Amel yang menunduk takut. "Hah? Jadi ini bukan masakan Bu Amel?" tanya Sarah dengan mulut penuh nasi.

Amel menggeleng. "Saya bahkan gak bisa masak, Bu."

Sarah tercengang. Mengamati makanan di rantang yang nyaris habis. "Jadi ini masakan Adam?"

***

"Woi Adam! Habis darimana?" tanya seorang pria tengah duduk manis di motor bebeknya.

"Habis nganterin Bu Amel ke puskesmaslah. Biasa," katanya sambil menyeka rambut kusut masainya yang sudah beberapa hari ini tidak dikeramas.

"Ada dokter baru ya? Cantik?"

"Cantik banget, berwibawa, pinter, terus idaman banget jadi bini," jelas Adam membuat kawanannya tertawa.

"Gak cocok berarti kamu, Dam."

"Kenapa?" tanya Adam sambil menaikkan satu kaki ke jok.

"Karena kamu cocoknya sama Leila--anak kampung sebelah yang biasanya nungguin kamu ngojek." Adam mendecih sebal mengingat nama wanita itu. Dia menyentak standar motornya, kemudian menyalakan mesin. Pergi dari sana.

"Gak seru, ah! Mau balik dulu!"

Teman-teman Adam tertawa mengejek. Sedangkan pria itu sudah melajukan motor trailnya melewati jalan setapak tanpa aspal yang membuat tubuhnya bergetar karena batu-batu coral besar. Dia menghela napas panjang, melirik ke arah motor bebek yang berjalan di sebelahnya.

"Kenapa? Ngambek dikatain mereka?"

"Sedikit. Ya, wajarlah mereka bilang begitu. Oiya, ada kabar dari kak Hamzah gak, Di?" tanya Adam sembari membelokkan stang menuju halaman rumah yang dipagari bambu. Ada tanaman rambat berbunga merah menyala menghiasi, di setiap sisi ada bunga sepatu yang sedang bermekaran menambah kesan asri.

Adam memarkir motornya segera. Kemudian menaiki tangga menuju rumah gazebo panggung berbahan kayu miliknya. Duduk di kursi yang sengaja dia taruh pada bagian teras. Menarik gelas aluminium di tatakan, lalu menuangkan air dari teko.

"Belum ada kabar dari Bos besar. Mungkin memang tidak ada perkembangan apapun. Mau aku hubungkan ke Bos besar?"

Adam meneguk airnya. "Tidak usah, kalau dia belum ngehubungin aku berarti belum ada yang bisa disampaikan."

"Kamu mau cepat-cepat pergi dari sini?"

"Gak juga, di sini lumayan. Apalagi ada dokter Sarah, seperti ada alasan untuk berlama-lama di sini, Di."

Ardi--teman Adam-- itu tertawa geli. "Ternyata kamu bisa jatuh cinta juga ya, Dam."

"Kamu gak lihat sih. Dia itu betulan cantik, Di. Hmm, kalau kasus ini selesai... mungkin aku bakalan lamar dia."

Ardi menatap Adam dengan muka kaget. "Serius?"

"Kapan aku bercanda, Di?" sergah Adam.

Pria itu tersenyum, kemudian mengendikkan dagunya ke arah jalanan. Ardi mengikuti arah pandangan Adam. Seorang wanita tengah dibonceng Pak Lurah dengan motor supra tua yang nampak masih gagah membawa tubuh tambunnya itu.

Adam mengangkat tangan. "Bu Dokter! Mampir dulu!" teriak Adam.

Sedangkan wanita yang dia teriaki cuma menganga tak percaya. Dia melotot sewaktu melihat Adam berlari menuruni tangga, naik ke motor trailnya yang berisik itu. Melaju di belakang motor Pak Lurah.

"Ngapain kamu hah?" teriak Sarah.

"Jagain Bu Dokter, kalau ada yang jahatin gimana?" balas Adam tak kalah nyaring.

"Ya Tuhan! Pak Lurah kenapa sih bisa punya warga petakilan begini?" tanya Sarah pada Pak Lurah yang cuma tertawa geli saja sedari tadi.

"Adam itu memang begitu. Tapi baru kali ini saya lihat dia ngejar-ngejar cewek. Jadi lucu juga," katanya.

Sarah mengembuskan napas. Namun tiba-tiba motor supra Pak Lurah berhenti, mesinnya mati. Pria itu mencopot kopiah di kepala, mengipasi pitaknya yang mungkin berkeringat. "Penyakitnya kambuh nih, Bu."

"Terus gimana nih, Pak? Masih jauh gak nih rumah sewaannya?" tanya Sarah.

Pak Lurah mengangguk. Bersamaan dengan itu Adam datang bak pahlawan kesiangan. Dia turun dari motor dan mendekati dua orang itu. Melirik motor Pak Lurah yang mati. "Kambuh, Pak?"

"Hmm, biasa motor tua. Kamu sibuk gak, Dam? Kalau gak sibuk, bisa anterin Bu Dokter ke rumahnya gak?"

Adam jelas mau. Dokter Sarah saja yang enggan menerima tawaran itu. Dia menolak, lebih memilih berjalan membawa tas ranselnya daripada harus ikut Adam.

"Yakin Bu mau jalan? Masih jauh loh! Kalau kakinya kenapa-napa nanti aku yang repot!" Adam berceloteh sambil menggiring motornya di samping Sarah.

"Kaki-kaki siapa! Kok kamu yang repot sih?" gerutu wanita itu sambil menarik tas besarnya yang melorot.

"Repot karena harus gendong Bu Dokter."

"Dih! Siapa yang mau digendong sama kamu!" sahut Sarah sengit. Dia melangkah lebih cepat, meninggalkan Adam. Saat dia hendak mengejar Sarah, Ardi malah datang. Menunjukkan ponselnya yang menyala. Tertera nama Hamzah di caller idnya.

Adam sempat ragu hendak menjawab, terlebih dia melihat Sarah sempat menengok ke belakang. Mungkin berharap Adam mengejarnya. Namun pria itu memilih menarik ponsel di tangan Ardi.

"Halo Kak, bisa pending dulu ya. Mau nganterin calon istri nih."

Ardi menepuk jidat, pasrah menerima kembali ponsel itu. Mengawasi Adam yang pergi melelah sang pujaan hati. "Maaf, Bos. Adik Anda lagi bucin-bucinnya sama seseorang."

"Selama tidak membahayakan identitas Adam, biarkan saja. Nanti aku telepon lagi."

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status