Apapun alasannya ibu tidak setuju, Pak!” tolak ibuku pada bapak yang saat ini berdiri tepat di hadapannya, “Jangan Ajeng yang harus kita korbankan! Lebih baik bapak cari perawan lain saja!” imbuhnya dengan tangis yang meratap.
“Bapak sudah tidak punya pilihan lain, Bu. Lagi pula waktu kita tinggal besok dan bapak harus cari perawan ke mana lagi? Sedangkan anak buah bapak, yang bapak suruh saja belum kembali.”
“Pokoknya tidak boleh, Ajeng. Ibu tidak rela!” tolak ibuku lagi dengan tangis yang tidak bisa di bendung.
Rasanya aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar, apa maksud perkataan bapak dan ibu tadi? Korban? Perawan? Apa maksud semua ini?
Rasa penasaranku akhirnya membuatku ingin tetap mendengarkan apa yang terjadi sebenarnya, sehingga aku memilih untuk mendengarkan dari sela pintu yang saat ini tengah sedikit terbuka.
“Baiklah, Bu. Bapak akan berusaha mencari lagi. Sekarang ibu jangan menangis,” ujar bapak sambil duduk di samping ibu dan memegang tangannya.
Untung saja ini sudah tengah malam dan orang-orang juga sudah tidur. Jadi aku tidak perlu khawatir bila ada yang memergokiku mendengarkan percakapan kedua orang tuanku, tetapi sungguh sial. Karena terlalu fokus aku mendengarkan percakapan ibu dan bapak sehingga tanpa sengaja aku menjatuhkan vas bunga yang terletak di dekatku sehingga bapak dan ibu akhirnya berhenti berbicara dan langsung menoleh ke arahku.
Aku yang masih terpaku dengan vas bunga yang terjatuh di hadapanku akhirnya tersadar ketika langkah kaki orang yang sangat aku kenal mulai melangkah menuju ke arahku, dan itu adalah langkah kaki bapak.
“Siapa di sana?” teriak bapak.
Aku yang ketakutan akan ketahuan akhirnya memilih mundur dan segera mencari tempat untuk aku bersembunyi, dan lemari yang tidak jauh dari tempatku berdiri pilihanku saat ini. Lemari antik pemberian mbakku yang sengaja bapak letakkan tidak jauh dari kamarnya.
“Siapa di sana? Cepat jawab!” teriak bapak lagi, dan langkah bapak kini terdengar semakin dekat.
Untung saja lemari ini besar, sehingga aku bisa bersembunyi di balik ini dengan mudah dan pastinya tidak akan kelihatan oleh bapak karena tubuhku yang kecil dibanding lemari tua ini.
Kulangkahkan kaki dengan perlahan dan hati-hati agar aku tidak menjatuhkan benda di sekitarku lagi, karena saat ini memang lampu di rumahku sebagian sudah dipadamkan.
“Ya Tuhan, semoga saja bapak tidak melihatku.” Doaku dalam hati sambil duduk berjongkok dan menutup mata sambil terus berdoa.
Bapak kemudian muncul di depan pintu dengan wajah yang tidak dapat aku artikan, dan dia kemudian menatap keseluruh penjuru ruangan dan akhirnya berhenti pada vas bunga yang tadi tidak sengaja aku jatuhkan, dan ketika bapak akan mengambil pecahan vas bunga tadi tiba-tiba kucing kesayanganku muncul dan itu mengagetkan bapak, dan bapak pun akhirnya hampir terjatuh.
“Bapak kenapa? Siapa tadi yang ada di luar?”
“Itu, Bu. Si wage tahu-tahu muncul dan ngagetin bapak. Untung saja tadi bapak enggak pingsan karena kaget. Sudah, sekarang ibu ambil wage dan antar ke kamar Ajeng sana!” perintah bapak.
“Malas ibu, Pak. Lagi pula ini ‘kan juga sudah malam, jadi Ajeng pasti sudah tidur makanya si wage keluyuran begitu.”
“Ya sudahlah terserah ibu saja, yang pasti bapak enggak mau melihat kucing aneh itu di depan bapak.”
Bapak yang kesal melihat kucing kesayanganku itu akhirnya berusaha menendangnya, tetapi ibu menahannya dan langsung mengambil si wage kucing kesayanganku dan melemparkannya menjauh dari kamar mereka.
“Untung saja ada kamu wage. Kalau tidak, aku pasti ketahuan,” ucapku lirih sambil mengusap kepala kucing hitam kesayanganku ini.
Setelah bapak mengunci pintu kamarnya, aku kemudian keluar dari persembunyianku bersama kucing hitam kesayanganku ini, dan aku memilih untuk kembali ke kamarku daripada mendengarkan lagi pembicaraan ibu dan bapak. Karena bila aku kembali, aku bisa saja akan benar-benar ketahuan dan aku pasti tidak bisa memecahkan teka-teki ini.
***
“Ajeng, kamu kenapa? Dari tadi Mas panggil kok enggak menjawab?” tanya Mas Budi, kakak tertuaku.
Aku yang masih hanyut dengan apa yang terjadi semalam benar-benar tidak bisa mendengarkan apa yang Mas Budi katakan, suara Mas Budi entah mengapa tiba-tiba hilang ketika aku memikirkan masalah itu.
“Ajeng, Ajeng,” panggil Mas Budi lagi, tetapi suara kakak tertuaku itu hanya seperti angin yang lewat saja sehingga aku tidak menghiraukannya.
Hari ini, bukankah hari ini adalah hari yang bapak maksud tadi malam? Aku yang baru sadar akhirnya langsung bangkit mencari ibu dan bapak, tetapi ketika aku mencari ke seluruh ruangan yang ada di rumah besarku ini mereka tidak ada. Terus ke mana mereka berdua?
Pikiran akan hal buruk akhirnya terlintas di dalam benakku. Apakah mereka sedang mencari perawan yang mereka katakan tadi malam ataukah?
“Ah, semoga saja apa yang aku pikirkan salah, dan yang aku dengar tadi malam juga tidak benar,” ucapku lirih sambil menatap lurus ke depan.
Aku yang bingung akhirnya menanyakan kepada semua orang yang ada di rumah ini ke mana perginya ibu dan bapak tetapi mereka semua tidak tahu, dan sekarang tinggal satu orang.
Ya, Mas Budi. Bukankah tadi Mas Budi bilang bahwa dia disuruh oleh bapak agar mengajakku ke pasar utuk membeli baju baru?
Aku kemudian berlari mencari keberadaan kakak tertuaku itu, dan ternyata dia masih berada di tempat yang sama ketika bersamaku tadi.
“Mas, bapak dan ibu di mana? Di mana, Mas?”
“Tunggu dulu Ajeng, ini ada apa? Kenapa kamu mencari bapak dan ibu?”
“Sudah, Mas jawab saja! Bapak dan ibu di mana?”
“Iya, Dek. Tenang dulu, pasti akan mas jawab, tapi ada apa? Kenapa kamu panik seperti ini?”
Pertanyaan dari Mas Budi benar-benar membuatku takut. Karena bila aku menjelaskan apa yang terjadi tadi malam dia pasti tidak akan percaya, tetapi bila tidak aku jelaskan tentu saja Mas Budi tidak akan langsung mau menjawab pertanyaanku seperti saat ini.
Mas Budi kakak tertuaku ini termasuk orang yang tegas, jadi bila aku bertanya semalama ini tentang hal penting maka dia akan meminta penjelasan kepadaku secara jelas.
Akhirnya demi menyembunyikan rencanaku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga ini aku harus berbohong dengan kakak tertuaku ini.
“Ajeng, ada apa? Mas, tanya dari tadi kamu hanya diam saja? Memangnya ada apa kamu mencari bapak dan ibu?”
“Ajeng, hanya kangen saja Mas,” jawabku berbohong.
“Astaga, Dek! Gara-gara kangen kamu sampai segitu paniknya,” tawanya membuatku kesal, “Dengar Dek, bapak dan ibu sekarang sedang pergi ke pasar, tetapi mereka pergi ke pasar desa sebelah dan akan kembali nanti siang. Jadi kalau kamu kangen ya tunggu saja, nanti siang pasti akan bertemu mereka.”
Ke pasar desa sebelah? Apa aku tidak salah dengar, kenapa kalau mereka ke pasar tidak sekalian saja membelikan baju baru untukku, justru malah menyuruh Mas Budi agar mengantarku untuk membelinya?
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka pikirkan saat ini, dan tumben sekali mereka juga mau membelikanku baju baru, padahal sebelum-sebelumnya bila kami minta baju baru mereka akan membelikannya setelah panen, dan sekarang apa ini semua.
Memang benar keluargaku adalah keluarga terkaya di desa ini, tetapi untuk membeli apa-apa bapak termasuk orang yang pelit, jadi kami anak-anaknya bila menginginkan sesuatu harus dengan persetujuan bapak.
“Dek, tadi bapak pesan. Nanti beli bajunya warna putih saja, tidak boleh warna lain.”
“Kenapa harus warna putih Mas, Ajeng kan tidak suka warna itu,” ucapku protes.
“Pokok bilang bapak begitu, ya itu yang harus kamu beli! Dan mas nanti yang akan memilihkannya,” tegas Mas Budi, kemudian berjalan di depanku.
“Tetapi, Mas?”
Bukannya mendengar protesku, Mas Budi malah mengabaikanku dan terus berjalan hingga kami sampai ke penjual pakaian langganan kami, dan tanpa bertanya dan meminta pendapatku Mas Budi langsung memilihkan baju untukku.
“Mas, kenapa harus beli baju ini. Ini ‘kan baju—.’
“Sudah kamu diam saja Ajeng, ini bapak yang memintanya!” bentak Mas Budi kepadaku.“Tetapi ‘kan Mas, ini ‘kan baju pengantin. Siapa yang akan menjadi pengantin, Mas?” tanyaku heran.Mas Budi terlihat gelagapan mendengar pertanyaanku, tetapi bukannya dia menjawabnya dia malah memarahiku dan membentakku.Entah mengapa aku merasa aneh dengan sikap Mas Budi saat ini. Karena tadi pagi ketika bertanya kepadaku dia tidak sekasar ini, tetapi sekarang?Ini ada apa sebenarnya? Korban, perawan dan sekarang baju pengantin?Aku kemudian menatap tajam Mas Budi karena telah memarahi dan membantakku, kemudian langsung pergi meninggalkannya.“Bukankah itu bapak?”Baru saja aku melangkahkan kakiku menjauh dari Mas Budi, aku melihat bapak sedang berbicara dengan seseorang pria tua, dan orang itu tampak aneh menurutku. Karena dia mengenakan pakaian hitam, dan dari penampilannya juga dia bukan seperti orang
"Tidak Pak, Ajeng tidak mau!” teriakku sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan bapak.Ketika aku berjalan mengikuti bapak, aku mendengar suara seperti deburan ombak yang menghantam karang. Bahkan, kakiku juga basah dengan cipratan air yang aku tidak tahu itu datang dari mana.“Ini di mana? Mengapa ada suara ombak?” batinku.“Pak, bapak akan bawa Ajeng ke mana?” teriakku.“Maafkan bapak, Ajeng. Bapak tidak punya pilihan lain.”Bapak terus saja menarik tanganku ke tempat yang aku tidak aku ketahui, aku hanya bisa mendengar deburan ombak serta kakiku yang menginjak karang. Hingga akhirnya bapak berhenti di depan pintu goa.“Pak, untuk apa kita ke sini? Ajeng mau pulang, Pak!” teriakku sambil berusaha melepaskan tangan bapak dari tanganku.Bapak terus saja menatap ke depan tanpa menghiraukan rintihanku, dan entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari sikap bapak saat ini.
"Aku mohon! Tolong lepaskan aku!” teriakku sambil menangis, tetapi ekor Pangeran Dayu tiba-tiba langsung melilit tubuhku dan sekujur tubuhku terasa akan diremukkan.Pangeran Dayu kemudian menarikku dengan ekornya dan membawaku ke hadapannya, bisa aku lihat mata yang tadinya hanya merah sekarang berubah menjadi merah menyala dan tampak mengerikan, dan itu membuatku bertambah takut.Setelah menatapku berapa lama, akhirnya Pangeran Dayu melonggarkan lilitanya di tubuhku dan entah mengapa setelah dia menatapku tadi, pikiranku menjadi kacau dan aku melihatnya menjadi pria tampan nan rupawan seperti pertama kali aku melihatnya, dan aku langsung tersenyum kepadanya.“A –aku di mana?”Aku yang masih merasa pusing kemudian memandang ke sekitar, dan ternyata aku berada di dalam kamar yang sangat indah dan wangi. Bahkan, di atas meja juga ada lilin dan bunga, dan ketika aku melihat ke arah pintu, ternyata pintu itu tertutup dan di ruangan ini
“Bapak, ibu, jangan tinggalkan Ajeng!” teriakku sambil mencari mereka“Nak, Nak, bangun Nak!” panggil seorang wanita terdengar di telingaku.Aku yang masih berusaha mencari kedua orangku akhirnya terbangun dan membuka mataku, dan ternyata ada seorang wanita tua sedang duduk di hadapanku saat ini, dan semua yang aku lihat tadi ternyata hanya mimpi dan sekarang ….“Ka –kalian siapa? Aku di mana?” ucapku sambil terengah-engah.“Kamu di rumah kami, Nak. Tadi pada saat akik mencari kayu di hutan, akik menemukanmu dan membawamu ke gubuk tua kami ini, Nak.”“Akik?” ucapku sambil menatap seorang pria tua yang berada di samping wanita tua yang berbicara denganku.“Iya, akik. Ini Ki Joko dan saya Ni Imah,” ucap Ni Imah sambil menatap suaminya.“Ki Joko?”Mendengar nama Joko membuatku ingat pesan Mas Budi, bahwa aku harus mencari seseorang ber
“Begini Ajeng. Kalau kamu mau mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi, maka kamu harus tenang dulu, Nak. Baru akik akan memberitahumu semua apa yang akik tahu.” Aku pun kemudian mengangguk mendengar penuturan Ki Joko, dan pria yang sudah sangat berumur itu kemudian menceritakan kepadaku kebenaran yang selama ini tidak aku ketahui dan bagaimana aku bisa menjadi pengantin Pangeran Dayu. “Jadi bapak selama ini kaya raya karena pe –pesugihan, Ki?” tanyaku terkejut dengan apa yang baru saja aku dengar, dan aku tidak bisa mempercayai semua ini. “Iya Ajeng, dan itu sudah bapakmu lakukan sejak lama, dan akiklah orang yang memberitahu bapakmu tentang Pangeran Dayu.” “Terus ibu? Apa ibu juga tahu dan mengikut apa yang bapak lakukan, Ki?” “Apakah pada saat pernikahanmu malam itu dengan Pangeran Dayu ibumu tidak hadir, Ajeng?” “Ibu, ibu … hiks hiks hiks. Aku benar-benar tidak bisa meneruskan kata-kataku bila mengingat wanita yang melahirkanku itu, dan aku pun akhirnya menghapus air mataku
Nek Imah bukannya menjawab pertanyaanku, tetapi dia malah memaksaku melepas pakaianku saat ini, tapi aku menolak.“Pokoknya Ajeng tidak akan melepas pakaian Ajeng, Ni!” tolakku.“Tolong Nak Ajeng, kalau kamu ingin terbebas dari Pangeran Dayu maka lakukan apa yang seperti ninik minta.”Mendengar apa yang Ni Imah katakan membuatku berpikir sejenak, dan aku akhirnya mau mengikuti keinginan Ki Joki dan Ni Imah dan itu aku lakukan hanya demi bisa terbebas dari pengeran setengah ular itu.Setelah memeriksa seluruh bagian tubuhku dan organ vitalku, Ni Imah kemudian memintaku untuk mengenakan kembali pakaianku, dan wanita yang sudah renta ini akhirnya memanggil suaminya lagi, dan kami bertiga duduk diam.Aku tidak tahu sebenarnya ada dengan Ki Joko dan Ni Imah. Bahkan, ketika ninik memeriksa organ vitalku, aku sebenarnya menolak dan merasa risih, tapi Ni Imah memaksaku dan itu dengan alasan yang sama, dan aku akhirnya menurut demi kebaikanku.“Sungguh beruntung kamu Ajeng, Pangeran Dayu tern
“Nak Ajeng ada apa, Nak. Apa kamu bermimpi buruk?” panggil Nek Imah.“Ni Imah?” ucapku sambil menatap wanita tua yang sedang duduk di sampingku.Aku yang masih binggung dengan semua yang terjadi kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, tetapi entah mengapa tubuhku terasa tidak bertenaga dan sangat lemah. Bahkan untuk menggerakkan tanganku pun terasa susah.“Nak Ajeng, jangan bangun dulu. Sekarang lebih baik Nak Ajeng beristirahat lebih dulu, ninik akan mengambilkan makanan untuk Nak Ajeng,” ujar Ni Imah.Wanita tua itu kemudian bangkit setelah mengatakan hal itu, tapi aku lalu menarik tangannya dan bertanya kepadanya apa yang terjadi padaku. Tapi Ni Imah tetap memintaku untuk beristirahat dan dia beserta suaminya akan menjelaskan nanti setelah aku pulih, dan aku hanya bisa menurut dengan kondisiku saat ini.Aku yang masih terbaring di tempat tidur hanya bisa mengingat-ingat apa yang terjadi. Tapi tak berselang berapa lama, Ki Joko dan Ni Imah masuk bersama ke dalam gubuk mereka ini.
“I –itu,” jawab Ni Imah terdengar ragu, “Sudah, tidak usah dipikirkan Nak Ajeng, biar ninik singkirkan dulu ramuan ini, nanti bila Nak Ajeng sudah tidak mual, nanti Nak Ajeng harus meminumnya,” lanjut Ni Imah terlihat berusaha mengalihkan pembicaraan.“Tapi, Ni Imah. Mengapa Ajeng harus meminumnya? Ramuan itu bau sekali dan Ajeng tidak mau meminumnya!” tolakku.“Nak Ajeng, dengarkan ninik dulu. Ramuan ini sengaja akik buat agar tubuh Nak Ajeng kembali seperti semula, dan Nak Ajeng bisa berjalan lagi. Jadi tolong di minum walau sedikit saja,” jawab Ni Imah.Aku yang tetap menolak akhirnya memalingkan wajahku, tapi Ni Imah dengan sabar menjelaskan kepadaku apa yang akan terjadi kepadaku kalau aku tidak meminumnya dan itu membuatku takut.Aku tidak tahu apakah ramuan itu benar-benar berkhasiat atau tidak seperti apa yang dikatakan Ni Imah, dan bisa saja itu juga racun yang bisa membahayakan nyawaku. Karena aku tidak tahu terbuat dari apa ramuan itu, tapi bila aku tidak mencobanya bisa s