Share

PERAWAN TUMBAL PESUGIHAN PANGERAN DAYU
PERAWAN TUMBAL PESUGIHAN PANGERAN DAYU
Penulis: List

BAB 1 SIAPA LAGI YANG AKAN KITA KORBANKAN, PAK?

Apapun alasannya ibu tidak setuju, Pak!” tolak ibuku pada bapak yang saat ini berdiri tepat di hadapannya, “Jangan Ajeng yang harus kita korbankan! Lebih baik bapak cari perawan lain saja!” imbuhnya dengan tangis yang meratap.

“Bapak sudah tidak punya pilihan lain, Bu. Lagi pula waktu kita tinggal besok dan bapak harus cari perawan ke mana lagi? Sedangkan anak buah bapak, yang bapak suruh saja belum kembali.”

“Pokoknya tidak boleh, Ajeng. Ibu tidak rela!” tolak ibuku lagi dengan tangis yang tidak bisa di bendung.

Rasanya aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar, apa maksud perkataan bapak dan ibu tadi? Korban? Perawan? Apa maksud semua ini?

Rasa penasaranku akhirnya membuatku ingin tetap mendengarkan apa yang terjadi sebenarnya, sehingga aku memilih untuk mendengarkan dari sela pintu yang saat ini tengah sedikit terbuka. 

“Baiklah, Bu. Bapak akan berusaha mencari lagi. Sekarang ibu jangan menangis,” ujar bapak sambil duduk di samping ibu dan memegang tangannya.

Untung saja ini sudah tengah malam dan orang-orang juga sudah tidur. Jadi aku tidak perlu khawatir bila ada yang memergokiku mendengarkan percakapan kedua orang tuanku, tetapi sungguh sial. Karena terlalu fokus aku mendengarkan percakapan ibu dan bapak sehingga tanpa sengaja aku menjatuhkan vas bunga yang terletak di dekatku sehingga bapak dan ibu akhirnya berhenti berbicara dan langsung menoleh ke arahku.

Aku yang masih terpaku dengan vas bunga yang terjatuh di hadapanku akhirnya tersadar ketika langkah kaki orang yang sangat aku kenal mulai melangkah menuju ke arahku, dan itu adalah langkah kaki bapak.

“Siapa di sana?” teriak bapak.

Aku yang ketakutan akan ketahuan akhirnya memilih mundur dan segera mencari tempat untuk aku bersembunyi, dan lemari yang tidak jauh dari tempatku berdiri pilihanku saat ini. Lemari antik pemberian mbakku yang sengaja bapak letakkan tidak jauh dari kamarnya.

“Siapa di sana? Cepat jawab!” teriak bapak lagi, dan langkah bapak kini terdengar semakin dekat.

Untung saja lemari ini besar, sehingga aku bisa bersembunyi di balik ini dengan mudah dan pastinya tidak akan kelihatan oleh bapak karena tubuhku yang kecil dibanding lemari tua ini.

Kulangkahkan kaki dengan perlahan dan hati-hati agar aku tidak menjatuhkan benda di sekitarku lagi, karena saat ini memang lampu di rumahku sebagian sudah dipadamkan.

“Ya Tuhan, semoga saja bapak tidak melihatku.” Doaku dalam hati sambil duduk berjongkok dan menutup mata sambil terus berdoa.

Bapak kemudian muncul di depan pintu dengan wajah yang tidak dapat aku artikan, dan dia kemudian menatap keseluruh penjuru ruangan dan akhirnya berhenti pada vas bunga yang tadi tidak sengaja aku jatuhkan, dan ketika bapak akan mengambil pecahan vas bunga tadi tiba-tiba kucing kesayanganku muncul dan itu mengagetkan bapak, dan bapak pun akhirnya hampir terjatuh.

“Bapak kenapa? Siapa tadi yang ada di luar?”

“Itu, Bu. Si wage tahu-tahu muncul dan ngagetin bapak. Untung saja tadi bapak enggak pingsan karena kaget. Sudah, sekarang ibu ambil wage dan antar ke kamar Ajeng sana!” perintah bapak.

“Malas ibu, Pak. Lagi pula ini ‘kan juga sudah malam, jadi Ajeng pasti sudah tidur makanya si wage keluyuran begitu.”

“Ya sudahlah terserah ibu saja, yang pasti bapak enggak mau melihat kucing aneh itu di depan bapak.”

Bapak yang kesal melihat kucing kesayanganku itu akhirnya berusaha menendangnya, tetapi ibu menahannya dan langsung mengambil si wage kucing kesayanganku dan melemparkannya menjauh dari kamar mereka.

“Untung saja ada kamu wage. Kalau tidak, aku pasti ketahuan,” ucapku lirih sambil mengusap kepala kucing hitam kesayanganku ini.

Setelah bapak mengunci pintu kamarnya, aku kemudian keluar dari persembunyianku bersama kucing hitam kesayanganku ini, dan aku memilih untuk kembali ke kamarku daripada mendengarkan lagi pembicaraan ibu dan bapak. Karena bila aku kembali, aku bisa saja akan benar-benar ketahuan dan aku pasti tidak bisa memecahkan teka-teki ini.

***

“Ajeng, kamu kenapa? Dari tadi Mas panggil kok enggak menjawab?” tanya Mas Budi, kakak tertuaku.

Aku yang masih hanyut dengan apa yang terjadi semalam benar-benar tidak bisa mendengarkan apa yang Mas Budi katakan, suara Mas Budi entah mengapa tiba-tiba hilang ketika aku memikirkan masalah itu.

“Ajeng, Ajeng,” panggil Mas Budi lagi, tetapi suara kakak tertuaku itu hanya seperti angin yang lewat saja sehingga aku tidak menghiraukannya.

Hari ini, bukankah hari ini adalah hari yang bapak maksud tadi malam? Aku yang baru sadar akhirnya langsung bangkit mencari ibu dan bapak, tetapi ketika aku mencari ke seluruh ruangan yang ada di rumah besarku ini mereka tidak ada. Terus ke mana mereka berdua?

Pikiran akan hal buruk akhirnya terlintas di dalam benakku. Apakah mereka sedang mencari perawan yang mereka katakan tadi malam ataukah? 

“Ah, semoga saja apa yang aku pikirkan salah, dan yang aku dengar tadi malam juga tidak benar,” ucapku lirih sambil menatap lurus ke depan.

Aku yang bingung akhirnya menanyakan kepada semua orang yang ada di rumah ini ke mana perginya ibu dan bapak tetapi mereka semua tidak tahu, dan sekarang tinggal satu orang.

Ya, Mas Budi. Bukankah tadi Mas Budi bilang bahwa dia disuruh oleh bapak agar mengajakku ke pasar utuk membeli baju baru?

Aku kemudian berlari mencari keberadaan kakak tertuaku itu, dan ternyata dia masih berada di tempat yang sama ketika bersamaku tadi.

“Mas, bapak dan ibu di mana? Di mana, Mas?” 

“Tunggu dulu Ajeng, ini ada apa? Kenapa kamu mencari bapak dan ibu?” 

“Sudah, Mas jawab saja! Bapak dan ibu di mana?”

“Iya, Dek. Tenang dulu, pasti akan mas jawab, tapi ada apa? Kenapa kamu panik seperti ini?”

Pertanyaan dari Mas Budi benar-benar membuatku takut. Karena bila aku menjelaskan apa yang terjadi tadi malam dia pasti tidak akan percaya, tetapi bila tidak aku jelaskan tentu saja Mas Budi tidak akan langsung mau menjawab pertanyaanku seperti saat ini.

Mas Budi kakak tertuaku ini termasuk orang yang tegas, jadi bila aku bertanya semalama ini tentang hal penting maka dia akan meminta penjelasan kepadaku secara jelas.

Akhirnya demi menyembunyikan rencanaku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga ini aku harus berbohong dengan kakak tertuaku ini.

“Ajeng, ada apa? Mas, tanya dari tadi kamu hanya diam saja? Memangnya ada apa kamu mencari bapak dan ibu?”

“Ajeng, hanya kangen saja Mas,” jawabku berbohong.

“Astaga, Dek! Gara-gara kangen kamu sampai segitu paniknya,” tawanya membuatku kesal, “Dengar Dek, bapak dan ibu sekarang sedang pergi ke pasar, tetapi mereka pergi ke pasar desa sebelah dan akan kembali nanti siang. Jadi kalau kamu kangen ya tunggu saja, nanti siang pasti akan bertemu mereka.”

Ke pasar desa sebelah? Apa aku tidak salah dengar, kenapa kalau mereka ke pasar tidak sekalian saja membelikan baju baru untukku, justru malah menyuruh Mas Budi agar mengantarku untuk membelinya?

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka pikirkan saat ini, dan tumben sekali mereka juga mau membelikanku baju baru, padahal sebelum-sebelumnya bila kami minta baju baru mereka akan membelikannya setelah panen, dan sekarang apa ini semua.

Memang benar keluargaku adalah keluarga terkaya di desa ini, tetapi untuk membeli apa-apa bapak termasuk orang yang pelit, jadi kami anak-anaknya bila menginginkan sesuatu harus dengan persetujuan bapak.

“Dek, tadi bapak pesan. Nanti beli bajunya warna putih saja, tidak boleh warna lain.”

“Kenapa harus warna putih Mas, Ajeng kan tidak suka warna itu,” ucapku protes.

“Pokok bilang bapak begitu, ya itu yang harus kamu beli! Dan mas nanti yang akan memilihkannya,” tegas Mas Budi, kemudian berjalan di depanku.

“Tetapi, Mas?”

Bukannya mendengar protesku, Mas Budi malah mengabaikanku dan terus berjalan hingga kami sampai ke penjual pakaian langganan kami, dan tanpa bertanya dan meminta pendapatku Mas Budi langsung memilihkan baju untukku.

“Mas, kenapa harus beli baju ini. Ini ‘kan baju—.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status