Nek Imah bukannya menjawab pertanyaanku, tetapi dia malah memaksaku melepas pakaianku saat ini, tapi aku menolak.
“Pokoknya Ajeng tidak akan melepas pakaian Ajeng, Ni!” tolakku.
“Tolong Nak Ajeng, kalau kamu ingin terbebas dari Pangeran Dayu maka lakukan apa yang seperti ninik minta.”
Mendengar apa yang Ni Imah katakan membuatku berpikir sejenak, dan aku akhirnya mau mengikuti keinginan Ki Joki dan Ni Imah dan itu aku lakukan hanya demi bisa terbebas dari pengeran setengah ular itu.
Setelah memeriksa seluruh bagian tubuhku dan organ vitalku, Ni Imah kemudian memintaku untuk mengenakan kembali pakaianku, dan wanita yang sudah renta ini akhirnya memanggil suaminya lagi, dan kami bertiga duduk diam.
Aku tidak tahu sebenarnya ada dengan Ki Joko dan Ni Imah. Bahkan, ketika ninik memeriksa organ vitalku, aku sebenarnya menolak dan merasa risih, tapi Ni Imah memaksaku dan itu dengan alasan yang sama, dan aku akhirnya menurut demi kebaikanku.
“Sungguh beruntung kamu Ajeng, Pangeran Dayu ternyata belum mengigitmu. Kalau tidak, pasti akik tidak akan bisa membantumu,” ucap Ki Joko tiba-tiba dan itu mengejutkanku, “Demi kebaikanmu, Nak Ajeng. Saat ini dan seterusnya kamu harus tinggal di sini sampai akik mengizinkanmu untuk keluar dari tempat ini,” lanjut Ki Joko.
“Mengigit, dan harus tinggal di sini? Apa maksud, Akik?” tanyaku binggung.
Aku benar-benar tidak bisa mencerna apa yang Ki Joko katakan, entah itu karena aku tidak mengerti atau memang aku yang bodoh mengenai hal seperti ini.
Ki Joko yang sepertinya tahu dengan kebingunganku akhirnya menjelaskan semuanya dengan hati-hati dan perlahan, dan aku sangat terkejutnya mendengar semua penuturannya. Bahkan, dari semua yang akik katakan ada satu hal yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa dan air mataku akhirnya turun membasahi pipiku tanpa aku minta, tapi kemudian aku hapus.
“Apakah yang akik katakan itu benar?” tanyaku tidak percaya.
“Iya Nak Ajeng, orang yang membuatmu berada di sini saat ini adalah ibumu sendiri, dan Budi kakakmu adalah orang yang diperintah oleh ibumu untuk menyelamatkanmu.”
Rasanya benar-benar tidak bisa aku percaya, ibu dan Mas Budi yang awalnya aku kira tidak menyayangiku dan tega ikut mengorbankanku ternyata merekalah orang-orang yang menyelamatkan hidupku.Air mataku yang sudah aku tahan sejak tadi, akhirnya turun kembali ketika mengingat apa yang ibu dan kakak tertuaku lakukan untukku.
“Ki, terus ibu dan Mas Budi bagaimana?” tanyaku khawatir dan juga takut, “Apa mereka,” lanjutku. Aku sengaja menjeda kalimatku karena aku takut apa yang aku pikirkan terjadi.
Ki Joko hanya menggeleng menjawab pertanyaanku dan seketika tubuhku terasa tidak memiliki tenaga dan pandanganku langsung gelap.
***
“Bapak , ibu, kalian di sini?”
“Iya, Ajeng. Ibu di sini, dan ibu ingin memberikan ini kepadamu, Nak. Setelah ini kamu harus memulai hidup baru dan tinggalkan desa kita ya, Nak.” Ucap ibu sambil menyerahkan beberapa bunga ke tangan Ajeng.
“Tapi Bu? Ajeng ingin bersama ibu dan bapak.”
“Itu tidak mungkin, Ajeng. Karena sekarang dunia kita sudah berbeda, dan sekarang orang tuamu bukan kami lagi, Nak. Tapi Ki Joko dan Ni Imah, dan kamu harus menurut kepada mereka berdua,” jawab ibu sambil mengusap kepalaku.
Setelah mengatakan hal itu, ibu kemudian mengecup kepalaku dan berjalan ke arah bapak yang berdiri tak jauh dari tempat kami berdua. Lalu mereka berdua kemudian pergi dengan tersenyum sambil melambaikan tangan kepadaku.
Aku yang tidak ingin ditinggl sendiri oleh mereka berdua, akhirnya berlari mengejar kedua orang tuaku hingga terjatuh, tapi mereka tetap melangkah meninggalkanku tanpa menoleh sedikitpun kepadaku, padahal aku sudah berteriak untuk meminta mereka berhenti. Tapi mereka tetap saja meninggalkanku.
“Nak Ajeng,” panggil Ki Joko.
“Ki Joko, Ni Imah, kalian di sini?” ucapku terkejut.
Entah dari mana kedua orang tua renta itu datang. Karena tiba-tiba saja mereka muncul dan berdiri di hadapanku saat ini.
“Ki, Ajeng harus mengejar bapak dan ibu,” ucapku sambil berusaha berdiri.
“Nak Ajeng, ikhlaskan dan biarkan mereka pergi. Karena mereka bukan orang tua Nak Ajeng lagi, kamilah orang tua Nak Ajeng sekarang,” jelas Ki Joko.
“Ajeng tidak mau, Ki. Bagaimanapun juga orang tua Ajeng adalah Pak Dirga dan Ibu Aminah! Bukan Ki Joko dan Ni Imah!” tegasku.
“Bapak, Ibu, tunggu! Jangan pergi, jangan tinggalkan Ajeng!” teriakku.
“Nak Ajeng ada apa, Nak. Apa kamu bermimpi buruk?” panggil Nek Imah.“Ni Imah?” ucapku sambil menatap wanita tua yang sedang duduk di sampingku.Aku yang masih binggung dengan semua yang terjadi kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, tetapi entah mengapa tubuhku terasa tidak bertenaga dan sangat lemah. Bahkan untuk menggerakkan tanganku pun terasa susah.“Nak Ajeng, jangan bangun dulu. Sekarang lebih baik Nak Ajeng beristirahat lebih dulu, ninik akan mengambilkan makanan untuk Nak Ajeng,” ujar Ni Imah.Wanita tua itu kemudian bangkit setelah mengatakan hal itu, tapi aku lalu menarik tangannya dan bertanya kepadanya apa yang terjadi padaku. Tapi Ni Imah tetap memintaku untuk beristirahat dan dia beserta suaminya akan menjelaskan nanti setelah aku pulih, dan aku hanya bisa menurut dengan kondisiku saat ini.Aku yang masih terbaring di tempat tidur hanya bisa mengingat-ingat apa yang terjadi. Tapi tak berselang berapa lama, Ki Joko dan Ni Imah masuk bersama ke dalam gubuk mereka ini.
“I –itu,” jawab Ni Imah terdengar ragu, “Sudah, tidak usah dipikirkan Nak Ajeng, biar ninik singkirkan dulu ramuan ini, nanti bila Nak Ajeng sudah tidak mual, nanti Nak Ajeng harus meminumnya,” lanjut Ni Imah terlihat berusaha mengalihkan pembicaraan.“Tapi, Ni Imah. Mengapa Ajeng harus meminumnya? Ramuan itu bau sekali dan Ajeng tidak mau meminumnya!” tolakku.“Nak Ajeng, dengarkan ninik dulu. Ramuan ini sengaja akik buat agar tubuh Nak Ajeng kembali seperti semula, dan Nak Ajeng bisa berjalan lagi. Jadi tolong di minum walau sedikit saja,” jawab Ni Imah.Aku yang tetap menolak akhirnya memalingkan wajahku, tapi Ni Imah dengan sabar menjelaskan kepadaku apa yang akan terjadi kepadaku kalau aku tidak meminumnya dan itu membuatku takut.Aku tidak tahu apakah ramuan itu benar-benar berkhasiat atau tidak seperti apa yang dikatakan Ni Imah, dan bisa saja itu juga racun yang bisa membahayakan nyawaku. Karena aku tidak tahu terbuat dari apa ramuan itu, tapi bila aku tidak mencobanya bisa s
Ki Joko dan Ni Imah kemudian saling memandang satu sama lain, dan Ni Imah lalu mengangguk kepada suaminya.“Itu ramuan penyembuh yang sengaja akik buat untukmu, Nak Ajeng.” Jelas Ki Joko.“Ramuan penyembuh?” ucapku terkejut.Ki Joko kemudian menjelaskan kepadaku mengapa dia memberiku ramuan itu, dan itu untuk memulihkan kondisiku seperti semula, dan yang paling membuatku tercengang dari perkataan Ki Joko adalah, pria tua renta itu tahu tentang mimpiku sebelum aku terbangun hingga aku bisa jadi seperti ini.“Jadi semua ini karena ulah Pangeran Dayu, Ki?”“Iya, Nak Ajeng. Karena kamu adalah pengantinnya dan dia sedang mencarimu saat ini,” jawab Ki Joko.Mendengar Ki Joko mangatakan hal itu, rasa takut mulai menghinggapiku. Bagaimana bila pengeran setengah ular itu bisa menemukanku. Apakah dia akan membawaku lagi? Ataukah?“Ki, apa Pangeran Dayu akan menangkapku dan membawaku lagi bila menemukanku di tempat ini? Apa aku akan menjadi pengantinnya lagi bila aku tertangkap?” tanyaku penasar
"Nak Ajeng," panggil Ni Imah mengejutkanku. Aku yang masih terpaku dengan apa yang ada di depanku, akhirnya menoleh ke arah wanita yang sudah memanggilku dan mata Ni Imah langsung tertuju pada benda yang aku lihat tadi, lalu memandangku. "Ba –bagaimana bisa Nak Ajeng sampai ke tempat ini? Siapa yang membantumu, Nak?" "Ajeng jalan sendiri, Ni.""Jalan sendiri?" ucap Ni Imah dengan mata melebar. Aku hanya mengangguk mendengar apa yang Ni Imah ucapkan, dan tak lama wanita tua itu langsung menghampiriku dan mengajakku pergi dari tempat itu. "Tunggu dulu, Ni. Boleh Ajeng tanya sesuatu?" tolakku. Ni Imah yang berdiri di sampingku hanya diam menatapku, dan aku lalu bertanya kepadanya tentang apa yang baru saja aku lihat. "Itu hanya akar-akaran saja yang direbus akik, Nak Ajeng.""Tapi, Ni. Ajeng tadi seperti melihat ular yang mati di sebelah kuali yang berisi air itu, dan air dalam kuali itu baunya seperti ramuan yang akik berikan kepada Ajeng," sanggahku sambil menatap wanita tua yan
Ki Joko dan Ni Imah hanya diam dan saling menatap ketika aku bertanya tentang ramuan yang ada di tanganku saat ini. Tapi Ki Joko lalu mendekatiku dan duduk di sampingku. "Mengapa Nak Ajeng menanyakan hal itu? Apa ada yang salah dengan ramuan yang akik buat, Nak Ajeng?" tanya Ki Joko. "Hmmm ... itu. Tadi Ajeng melihat bangkai ular di dekat kuali di dapur yang terdapat aroma seperti ramuan ini, Ki." Jelasku dengan perasaan tak karuan. "Bangkai ular?" tanya Ki Joko dengan wajah tak bisa aku artikan. Bahkan pria tua itu juga terlihat sambil melirik istrinya. "I –iya, Ki. Tadi Ajeng melihatnya di sana, tapi setelah Ni Imah datang. Bangkai ular itu anehnya tidak ada lagi," jelasku sambil sesekali menatap Ni Imah. Mendengar apa yang aku katakan, Ki Joko tidak langsung menjawabku lagi. Tapi dia melihat istrinya sambil menghela napas, dan Ni Imah kemudian aku mengangguk, dan itu membuatku semakin binggung dan juga penasaran dengan apa yang mereka sembunyikan. "Apa Nak Ajeng benar-benar i
"Sudah, Nak Ajeng. Lebih baik Nak Ajeng beristirahat dulu saja seperti apa yang akik katakan," sela Ni Imah. "Tidak, Ni. Ajeng tidak akan beristirahat sampai akik dan ninik memberitahu Ajeng. Kalau tidak lebih baik Ajeng mati saja!" ancamku. "Nak Ajeng!" bentak Ki Joko dan Ni Imah bersamaan. "Kalau memang Nak Ajeng ingin mati, mengapa dulu Nak Ajeng melarikan diri dari Pangeran Dayu? Dengan begitu kami tidak perlu susah-susah menyembunyikan dan menyembuhkan Nak Ajeng!" ucap Ki Joko tanpa memandangku, lalu keluar. Aku yang terkejut dengan apa yang baru saja Ki Joko ucapkan hanya bisa membeku. Karena aku tidak menyangka reaksi Ki Joko akan seperti itu, dan itu membuatku merasa bersalah dan menyesal mengatakan hal seperti tadi. "Nak Ajeng maafkan akik ya, Nak. Akik tadi bukan bermaksud berkata kasar kepada Nak Ajeng, tapi akik dan ninik hanya ingin Nak Ajeng cepat sembuh dan kembali pulih," ucap Ni Imah membubarkan lamunanku. "I –iya, Ni. Ajeng juga minta maaf sudah mengecewakan ni
"I –ibu? Ibu ada di sini?" ucapku sambil menatap wanita yang sudah membangunkanku."Iya, Ajeng. Ini ibu dan ibu datang ke sini untuk menemuimu, Nak." Jawab ibu yang kini sudah duduk di tepi tempat tidurku. Aku yang masih tidak percaya bertemu dengan ibu sejak pertemuan terakhir kami di goa Pangeran Dayu hanya bisa membeku menatap wanita yang sudah melahirkanku itu, dan aku lalu bangun dan langsung memeluknya. "Ibu, Ajeng kangen." Ucapku sambil mengeratkan pelukanku pada wanita yang sangat aku sayangi ini, dan tak terasa bulir bening di mataku ini akhirnya ikut jatuh ketika aku meluapkan semua rasa rinduku selama ini. Ibu yang sedang aku peluk pun memelukku dengan hangat seperti biasanya, dan aku tidak berhenti-hentinya bersyukur bisa bertemu ibu kembali. Setelah melepaskan semua rasa rinduku, aku kemudian memandang ibu untuk beberapa saat dan ibu saat ini terlihat seperti biasanya dan terlihat bahagia. "Bu, boleh Ajeng bertanya sesuatu?" tanyaku sambil memegang tangan ibu. "Apa
"Bapak, apa bapak tidak mengingat mereka? Itu 'kan Ki Joko dan Ni Imah," selaku mencoba menjelaskan kepada bapak. Wajah bapak yang tadinya pucat ketika melihat Ki Joko dan Ni Imah masuk ke dalam gubuk ini, kini sudah berubah. Bahkan, aku tidak bisa mengartikan arti wajah bapak saat ini. "Ki Joko, Ni Imah, mereka siapa? Bapak tidak mengenal mereka, Ajeng." Ucap bapak sambil menatap akik dan ninik tanpa berkedip. "Iya, Ajeng mereka itu siapa?" tambah ibu. Bapak dan ibu kemudian saling menatap satu sama lain, dan itu membuatku semakin binggung dengan apa yang terjadi. Ada apa ini? Siapa yang harus aku percaya saat ini? "Nak Ajeng, kalau kedua orang tuamu tidak mengingat kami tidak apa-apa. Itu bukan salah mereka, dan kami yang salah karena tanpa seizin mereka sudah membawamu ke gubuk reot kami ini," ucap Ki Joko memecah kebinggunganku. "Hei lelaki tua? Kamu siapa? Apa kamu yang sudah membuat putriku celaka seperti ini?" bentak bapak dengan mata yang sudah memerah. "Bapak bu—," se