Ki Joko dan Ni Imah kemudian saling memandang satu sama lain, dan Ni Imah lalu mengangguk kepada suaminya.“Itu ramuan penyembuh yang sengaja akik buat untukmu, Nak Ajeng.” Jelas Ki Joko.“Ramuan penyembuh?” ucapku terkejut.Ki Joko kemudian menjelaskan kepadaku mengapa dia memberiku ramuan itu, dan itu untuk memulihkan kondisiku seperti semula, dan yang paling membuatku tercengang dari perkataan Ki Joko adalah, pria tua renta itu tahu tentang mimpiku sebelum aku terbangun hingga aku bisa jadi seperti ini.“Jadi semua ini karena ulah Pangeran Dayu, Ki?”“Iya, Nak Ajeng. Karena kamu adalah pengantinnya dan dia sedang mencarimu saat ini,” jawab Ki Joko.Mendengar Ki Joko mangatakan hal itu, rasa takut mulai menghinggapiku. Bagaimana bila pengeran setengah ular itu bisa menemukanku. Apakah dia akan membawaku lagi? Ataukah?“Ki, apa Pangeran Dayu akan menangkapku dan membawaku lagi bila menemukanku di tempat ini? Apa aku akan menjadi pengantinnya lagi bila aku tertangkap?” tanyaku penasar
"Nak Ajeng," panggil Ni Imah mengejutkanku. Aku yang masih terpaku dengan apa yang ada di depanku, akhirnya menoleh ke arah wanita yang sudah memanggilku dan mata Ni Imah langsung tertuju pada benda yang aku lihat tadi, lalu memandangku. "Ba –bagaimana bisa Nak Ajeng sampai ke tempat ini? Siapa yang membantumu, Nak?" "Ajeng jalan sendiri, Ni.""Jalan sendiri?" ucap Ni Imah dengan mata melebar. Aku hanya mengangguk mendengar apa yang Ni Imah ucapkan, dan tak lama wanita tua itu langsung menghampiriku dan mengajakku pergi dari tempat itu. "Tunggu dulu, Ni. Boleh Ajeng tanya sesuatu?" tolakku. Ni Imah yang berdiri di sampingku hanya diam menatapku, dan aku lalu bertanya kepadanya tentang apa yang baru saja aku lihat. "Itu hanya akar-akaran saja yang direbus akik, Nak Ajeng.""Tapi, Ni. Ajeng tadi seperti melihat ular yang mati di sebelah kuali yang berisi air itu, dan air dalam kuali itu baunya seperti ramuan yang akik berikan kepada Ajeng," sanggahku sambil menatap wanita tua yan
Ki Joko dan Ni Imah hanya diam dan saling menatap ketika aku bertanya tentang ramuan yang ada di tanganku saat ini. Tapi Ki Joko lalu mendekatiku dan duduk di sampingku. "Mengapa Nak Ajeng menanyakan hal itu? Apa ada yang salah dengan ramuan yang akik buat, Nak Ajeng?" tanya Ki Joko. "Hmmm ... itu. Tadi Ajeng melihat bangkai ular di dekat kuali di dapur yang terdapat aroma seperti ramuan ini, Ki." Jelasku dengan perasaan tak karuan. "Bangkai ular?" tanya Ki Joko dengan wajah tak bisa aku artikan. Bahkan pria tua itu juga terlihat sambil melirik istrinya. "I –iya, Ki. Tadi Ajeng melihatnya di sana, tapi setelah Ni Imah datang. Bangkai ular itu anehnya tidak ada lagi," jelasku sambil sesekali menatap Ni Imah. Mendengar apa yang aku katakan, Ki Joko tidak langsung menjawabku lagi. Tapi dia melihat istrinya sambil menghela napas, dan Ni Imah kemudian aku mengangguk, dan itu membuatku semakin binggung dan juga penasaran dengan apa yang mereka sembunyikan. "Apa Nak Ajeng benar-benar i
"Sudah, Nak Ajeng. Lebih baik Nak Ajeng beristirahat dulu saja seperti apa yang akik katakan," sela Ni Imah. "Tidak, Ni. Ajeng tidak akan beristirahat sampai akik dan ninik memberitahu Ajeng. Kalau tidak lebih baik Ajeng mati saja!" ancamku. "Nak Ajeng!" bentak Ki Joko dan Ni Imah bersamaan. "Kalau memang Nak Ajeng ingin mati, mengapa dulu Nak Ajeng melarikan diri dari Pangeran Dayu? Dengan begitu kami tidak perlu susah-susah menyembunyikan dan menyembuhkan Nak Ajeng!" ucap Ki Joko tanpa memandangku, lalu keluar. Aku yang terkejut dengan apa yang baru saja Ki Joko ucapkan hanya bisa membeku. Karena aku tidak menyangka reaksi Ki Joko akan seperti itu, dan itu membuatku merasa bersalah dan menyesal mengatakan hal seperti tadi. "Nak Ajeng maafkan akik ya, Nak. Akik tadi bukan bermaksud berkata kasar kepada Nak Ajeng, tapi akik dan ninik hanya ingin Nak Ajeng cepat sembuh dan kembali pulih," ucap Ni Imah membubarkan lamunanku. "I –iya, Ni. Ajeng juga minta maaf sudah mengecewakan ni
"I –ibu? Ibu ada di sini?" ucapku sambil menatap wanita yang sudah membangunkanku."Iya, Ajeng. Ini ibu dan ibu datang ke sini untuk menemuimu, Nak." Jawab ibu yang kini sudah duduk di tepi tempat tidurku. Aku yang masih tidak percaya bertemu dengan ibu sejak pertemuan terakhir kami di goa Pangeran Dayu hanya bisa membeku menatap wanita yang sudah melahirkanku itu, dan aku lalu bangun dan langsung memeluknya. "Ibu, Ajeng kangen." Ucapku sambil mengeratkan pelukanku pada wanita yang sangat aku sayangi ini, dan tak terasa bulir bening di mataku ini akhirnya ikut jatuh ketika aku meluapkan semua rasa rinduku selama ini. Ibu yang sedang aku peluk pun memelukku dengan hangat seperti biasanya, dan aku tidak berhenti-hentinya bersyukur bisa bertemu ibu kembali. Setelah melepaskan semua rasa rinduku, aku kemudian memandang ibu untuk beberapa saat dan ibu saat ini terlihat seperti biasanya dan terlihat bahagia. "Bu, boleh Ajeng bertanya sesuatu?" tanyaku sambil memegang tangan ibu. "Apa
"Bapak, apa bapak tidak mengingat mereka? Itu 'kan Ki Joko dan Ni Imah," selaku mencoba menjelaskan kepada bapak. Wajah bapak yang tadinya pucat ketika melihat Ki Joko dan Ni Imah masuk ke dalam gubuk ini, kini sudah berubah. Bahkan, aku tidak bisa mengartikan arti wajah bapak saat ini. "Ki Joko, Ni Imah, mereka siapa? Bapak tidak mengenal mereka, Ajeng." Ucap bapak sambil menatap akik dan ninik tanpa berkedip. "Iya, Ajeng mereka itu siapa?" tambah ibu. Bapak dan ibu kemudian saling menatap satu sama lain, dan itu membuatku semakin binggung dengan apa yang terjadi. Ada apa ini? Siapa yang harus aku percaya saat ini? "Nak Ajeng, kalau kedua orang tuamu tidak mengingat kami tidak apa-apa. Itu bukan salah mereka, dan kami yang salah karena tanpa seizin mereka sudah membawamu ke gubuk reot kami ini," ucap Ki Joko memecah kebinggunganku. "Hei lelaki tua? Kamu siapa? Apa kamu yang sudah membuat putriku celaka seperti ini?" bentak bapak dengan mata yang sudah memerah. "Bapak bu—," se
"Nak Ajeng," tegur Ni Imah. Aku yang tadinya menatap kedua orang tuaku yang baru saja meninggalkan gubuk ini lalu menoleh ke arah orang yang sudah menegurku. "I –iya, Ni.""Lebih baik Nak Ajeng mengikuti apa yang bapak Nak Ajeng tadi katakan. Tidak perlu menghiraukan kami, Nak. Akik dan ninik tidak apa-apa," tutur Ni Imah. "Tapi, Ni. Aj—.""Iya, Nak Ajeng. Apa yang ninik katakan benar. Mereka itu kedua orang tuamu, dan kamu harus patuh kepada mereka berdua," sela Ki Joko yang sudah ada di samping Ni Imah. "Tapi, Ki. Ajeng hanya ingin tinggal semalam saja dengan kalian.""Iya, akik tahu. Tapi kalau Nak Ajeng tetap bersikeras untuk bermalam di sini, orang tua Nak Ajeng tidak suka, dan Nak Ajeng bisa saja tidak bisa bertemu mereka lagi," jelas Ki Joko, dan itu membuatku semakin berat untuk memilih. "Ajeng! Sekarang cepat kamu pilih. Kamu ingin tinggal bersama dua orang tua renta itu atau bersama kami kedua orang tuamu!" teriak bapak tiba-tiba dari luar gubuk. Aku hanya bisa membeku
"Nak Ajeng, ada apa? Apa Nak Ajeng bermimpi buruk?" tanya Ni Imah.Aku yang masih binggung dan terengah-engah dengan tubuh yang basah oleh keringat kemudian menoleh ke arah Ni Imah, dan wanita tua itu kemudian duduk di sampingku dan menggengam tanganku."Ni, apa yang terjadi padaku? Di mana ibu dan bapak, apa mereka benar-benar pergi?" tanyaku sambil mencari keberadaan ibu dan bapak."Ibu dan bapak? Siapa yang Nak Ajeng maksud?""Ibu dan bapak Ajeng, Ni. Bukankah tadi mereka datang di sini?""Orang tua Nak Ajeng datang ke tempat ini? Kapan, Nak Ajeng?" tanya Ni Imah dengan raut wajah yang tampak heran."Tadi, Ni. Bapak dan ibu datang pada saat Ajeng tidur setelah minum ramuan yang akik berikan," jelasku."Itu tidak mungkin, Nak Ajeng. Karena sejak kemarin Nak Ajeng tidur, dan tidak ada siapa-siapa yang datang ke tempat ini. Hanya akik dan ninik saja yang ada di sini.""Benarkah, Ni? Terus yang tadi Ajeng lihat tadi itu siapa, Ni? Apa itu tadi?"Kata-kataku langsung terhenti ketika dal