“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
Apapun alasannya ibu tidak setuju, Pak!” tolak ibuku pada bapak yang saat ini berdiri tepat di hadapannya, “Jangan Ajeng yang harus kita korbankan! Lebih baik bapak cari perawan lain saja!” imbuhnya dengan tangis yang meratap.“Bapak sudah tidak punya pilihan lain, Bu. Lagi pula waktu kita tinggal besok dan bapak harus cari perawan ke mana lagi? Sedangkan anak buah bapak, yang bapak suruh saja belum kembali.”“Pokoknya tidak boleh, Ajeng. Ibu tidak rela!” tolak ibuku lagi dengan tangis yang tidak bisa di bendung.Rasanya aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar, apa maksud perkataan bapak dan ibu tadi? Korban? Perawan? Apa maksud semua ini?Rasa penasaranku akhirnya membuatku ingin tetap mendengarkan apa yang terjadi sebenarnya, sehingga aku memilih untuk mendengarkan dari sela pintu yang saat ini tengah sedikit terbuka.“Baiklah, Bu. Bapak akan berusaha mencari lagi. Sekarang ibu
“Sudah kamu diam saja Ajeng, ini bapak yang memintanya!” bentak Mas Budi kepadaku.“Tetapi ‘kan Mas, ini ‘kan baju pengantin. Siapa yang akan menjadi pengantin, Mas?” tanyaku heran.Mas Budi terlihat gelagapan mendengar pertanyaanku, tetapi bukannya dia menjawabnya dia malah memarahiku dan membentakku.Entah mengapa aku merasa aneh dengan sikap Mas Budi saat ini. Karena tadi pagi ketika bertanya kepadaku dia tidak sekasar ini, tetapi sekarang?Ini ada apa sebenarnya? Korban, perawan dan sekarang baju pengantin?Aku kemudian menatap tajam Mas Budi karena telah memarahi dan membantakku, kemudian langsung pergi meninggalkannya.“Bukankah itu bapak?”Baru saja aku melangkahkan kakiku menjauh dari Mas Budi, aku melihat bapak sedang berbicara dengan seseorang pria tua, dan orang itu tampak aneh menurutku. Karena dia mengenakan pakaian hitam, dan dari penampilannya juga dia bukan seperti orang
"Tidak Pak, Ajeng tidak mau!” teriakku sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan bapak.Ketika aku berjalan mengikuti bapak, aku mendengar suara seperti deburan ombak yang menghantam karang. Bahkan, kakiku juga basah dengan cipratan air yang aku tidak tahu itu datang dari mana.“Ini di mana? Mengapa ada suara ombak?” batinku.“Pak, bapak akan bawa Ajeng ke mana?” teriakku.“Maafkan bapak, Ajeng. Bapak tidak punya pilihan lain.”Bapak terus saja menarik tanganku ke tempat yang aku tidak aku ketahui, aku hanya bisa mendengar deburan ombak serta kakiku yang menginjak karang. Hingga akhirnya bapak berhenti di depan pintu goa.“Pak, untuk apa kita ke sini? Ajeng mau pulang, Pak!” teriakku sambil berusaha melepaskan tangan bapak dari tanganku.Bapak terus saja menatap ke depan tanpa menghiraukan rintihanku, dan entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari sikap bapak saat ini.
"Aku mohon! Tolong lepaskan aku!” teriakku sambil menangis, tetapi ekor Pangeran Dayu tiba-tiba langsung melilit tubuhku dan sekujur tubuhku terasa akan diremukkan.Pangeran Dayu kemudian menarikku dengan ekornya dan membawaku ke hadapannya, bisa aku lihat mata yang tadinya hanya merah sekarang berubah menjadi merah menyala dan tampak mengerikan, dan itu membuatku bertambah takut.Setelah menatapku berapa lama, akhirnya Pangeran Dayu melonggarkan lilitanya di tubuhku dan entah mengapa setelah dia menatapku tadi, pikiranku menjadi kacau dan aku melihatnya menjadi pria tampan nan rupawan seperti pertama kali aku melihatnya, dan aku langsung tersenyum kepadanya.“A –aku di mana?”Aku yang masih merasa pusing kemudian memandang ke sekitar, dan ternyata aku berada di dalam kamar yang sangat indah dan wangi. Bahkan, di atas meja juga ada lilin dan bunga, dan ketika aku melihat ke arah pintu, ternyata pintu itu tertutup dan di ruangan ini
“Bapak, ibu, jangan tinggalkan Ajeng!” teriakku sambil mencari mereka“Nak, Nak, bangun Nak!” panggil seorang wanita terdengar di telingaku.Aku yang masih berusaha mencari kedua orangku akhirnya terbangun dan membuka mataku, dan ternyata ada seorang wanita tua sedang duduk di hadapanku saat ini, dan semua yang aku lihat tadi ternyata hanya mimpi dan sekarang ….“Ka –kalian siapa? Aku di mana?” ucapku sambil terengah-engah.“Kamu di rumah kami, Nak. Tadi pada saat akik mencari kayu di hutan, akik menemukanmu dan membawamu ke gubuk tua kami ini, Nak.”“Akik?” ucapku sambil menatap seorang pria tua yang berada di samping wanita tua yang berbicara denganku.“Iya, akik. Ini Ki Joko dan saya Ni Imah,” ucap Ni Imah sambil menatap suaminya.“Ki Joko?”Mendengar nama Joko membuatku ingat pesan Mas Budi, bahwa aku harus mencari seseorang ber