Share

BAB 2 TIDAK PUNYA PILIHAN LAIN

“Sudah kamu diam saja Ajeng, ini bapak yang memintanya!” bentak Mas Budi kepadaku.

“Tetapi ‘kan Mas, ini ‘kan baju pengantin. Siapa yang akan menjadi pengantin, Mas?” tanyaku heran.

Mas Budi terlihat gelagapan mendengar pertanyaanku, tetapi bukannya dia menjawabnya dia malah memarahiku dan membentakku.

Entah mengapa aku merasa aneh dengan sikap Mas Budi saat ini. Karena tadi pagi ketika bertanya kepadaku dia tidak sekasar ini, tetapi sekarang?

Ini ada apa sebenarnya? Korban, perawan dan sekarang baju pengantin?

Aku kemudian menatap tajam Mas Budi karena telah memarahi dan membantakku, kemudian langsung pergi meninggalkannya.

“Bukankah itu bapak?”

Baru saja aku melangkahkan kakiku menjauh dari Mas Budi, aku melihat bapak sedang berbicara dengan seseorang pria tua, dan orang itu tampak aneh menurutku. Karena dia mengenakan pakaian hitam, dan dari penampilannya juga dia bukan seperti orang dari desa ini.

Aku yang penasaran kemudian melangkah menuju bapak, tetapi tiba-tiba ibu muncul dengan orang wanita muda, sehingga aku tidak punya pilihan lain akhirnya aku bersembunyi dan mengikuti mereka.

“Ibu dengan siapa itu?” ucapku lirih sambil tetap mengawasi dari kejauhan.

Wanita yang dibawa ibu itu, terlihat lebih tua beberapa tahun dariku dan pakaiannya juga sangat bagus, tetapi tunggu bukankah wanita itu seperti mengenakan pakaian pengantin.

Apakah dia?

Aku yang penasaran akhirnya mengikuti mereka dan membiarkan Mas Budi pulang sendiri, dan ternyata mereka menuju ke sebuah rumah yang letaknya di tengah hutan.

“Bagaimana sih Ki, dia ini ternyata sudah tidak perawan lagi. Kenapa Ki Aji memberikannya kepada kami? Kalau seperti ini kan kami yang rugi” tanya ibu terlihat kesal.

“Maksud ibu, dia?” ucap bapak.

“Iya, Pak.”

“Kata siapa Bu, dia tidak perawan? Orang saya sendiri tahu kok dia tidak pernah di sentuh oleh pria manapun?” ucap Ki Aji membela diri.

“Kalau Ki Aji tidak percaya, akik silahkan tanya sendiri!” tegas ibu.

Orang yang bernama Ki Aji itu kemudian menatap wanita muda yang ada di hadapannya itu dengan tatapan tajam, kemudian dia bertanya kepadanya dan ternyata benar apa yang dikatakan ibu. Wanita memang sudah tidak perawan dan dia kehilangan perawannya ketika dia masih kecil. Ki Aji yang mendengar penuturan wanita muda itu akhirnya hanya menepuk jidat dan dia meminta maaf kepada bapak dan ibu, dan dia berjanji akan mencarikan gadis perawan yang lainnya.

“Baiklah Ki, tetapi sebelum malam gadis itu sudah harus ada kalau tidak, akik tahu sendiri akibatnya,” ancam bapak.

Orang yang bernama Ki Aji itu akhirnya menganguk, dan kemudian menatap lekat lagi wanita yang ada di hadapannya, sedangkan bapak dan ibu pergi meninggalkan wanita muda itu bersama pria tua Bangka yang tadi membawanya.

“Jadi bagaimana, Pak? Kalau sampai nanti malam kita belum menemukannya, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya ibu khawatir.

“Bapak juga tidak tahu, Bu. Tetapi kalau terpaksa, kita tidak punya pilihan lain lagi selain Ajeng. Jadi mau tidak mau Ajeng yang harus mau menjadi pe—.”

Krak!

“Siapa di sana?” teriak bapak, kemudian menuju ke arahku.

Aku yang takut akan ketahuan oleh bapak, akhirnya diam di tempatku dan menutup mulutku. Karena kalau sampai bapak tahu di sini tentu saja dia akan langsung menyeretku dan aku tidak tahu nasibku bagaimana, tetapi ternyata Tuhan tidak memihakku karena Mas Budi berdiri di belakangku saat ini.

“Ayo, ikut!”

“Budi, kamu di sini? Ajeng?” ucap bapak terkejut. 

Aku hanya menunduk ketika bapak dan ibu melihatku, dan kedua orang tuaku yang aneh itu kemudian menatapku tajam seolah-olah mereka tahu apa yang telah aku lakukan.

“Bu, bawa Ajeng sekarang! Bapak mau berbicara dengan Budi dahulu,” perintah bapak sambil tetap menatapku dan Mas Budi.

“Ayo Ajeng ikut ibu,” ucap ibu sambil menarikku untuk ikut bersamanya.

Entah mengapa ketika ibu menarikku tadi bisa aku lihat kesedihan di wajahnya, dan tangan tuanya pun ikut gemetar.

“Ibu, kita akan ke mana?” tanyaku panik sambil berusaha melepaskan tanganku dari tangan ibu, tetapi ternyata aku tidak berhasil dan ibu memegang tanganku lebih kuat lagi.

Sepanjang perjalanan menuju tempat yang tidak aku ketahui, ibu hanya diam tanpa berkata apapun, dan dia terus saja menarikku mengikutinya. Sedangkan bapak dan Mas Budi, bisa aku lihat dari jauh mereka masih bicara, bahkan bapak juga sempat memukul Mas Budi.

Sudah hampir setengah jam aku dan ibu berjalan, tetapi entah mengapa tidak ada ujungnya hingga kami akhirnya tiba di sebuah gubuk tua yang tidak terawat, dan ibu kemudian menyuruhku masuk ke dalam tetapi aku menolaknya sehingga ibu akhirnya memaksaku masuk dan mengunciku dari luar.

“Bu, buka pintunya! Keluarkan Ajeng dari sini, Bu. Ajeng mohon,” teriakku.

Berkali-kali aku berteriak tetapi pintu yang ada di hadapanku ini tetap tidak terbuka, dan aku pun kemudian berusaha mencari sesuatu di dalam gubuk ini, tetapi di dalam gubuk ini hanya terdapat tikar saja, dan tidak ada apapun  yang bisa aku gunakan untuk membuka pintu sehingga aku akhirnya memutuskan istirahat untuk memulihkan tenagaku setelah berjalan tadi sambil mencari cara agar bisa lolos dari tempat ini.

“Jadi kita harus bagaimana, Pak. Ini sudah malam tetapi anak buah bapak dan Ki Aji belum datang juga? Pokoknya jangan Ajeng, Pak. Ibu tidak setuju … hiks hiks hiks,” ucap ibu.

Suara ibu yang terdengar hingga sampai ke dalam gubuk akhirnya membangunkanku yang tadinya tertidur, dan aku kemudian segera menempelkan telingaku untuk mendengarkan lebih jelas lagi, tetapi setelah suara ibu tadi aku tidak mendengar apa-apa lagi dan itu membuatku bertanya-tanya dengan semua ini.

Sebenarnya apa yang mau kedua orang tuaku lakukan kepadaku? Terus Mas Budi, apakah dia juga tidak terlibat dengan semua ini?

Kriett!

“Siapa di sana?” tanyaku sambil menyeimbangkan indra penglihatanku yang silau dengan cahaya yang masuk ke melalu pintu.

“Ini cepat pakai!” 

“Mas Budi. Apakah itu, Mas?” panggilku.

Suara pria tadi akhirnya hilang di telan suara jangkrik yang tiba-tiba muncul dan bayangannya pun hilang ketika sebuah lampu kecil dia letakkan di depan pintu.

Entah mengapa itu terdengar seperti suara Mas Budi, tetapi bila dia memang kakak tertuaku mengapa dia tidak menjawabku.

“Mas Budi, Mas?” panggilku lagi, tetapi pria itu tetap tidak menjawabku ataupun ada suara lain yang menjawabku.

Aku akhirnya mengambil baju yang tergeletak di lantai dan lampu kecil di depan pintu, dan ketika aku melangkah ke dalam tiba-tiba pintu itu tertutup, tetapi sebelum tertutup seluruhnya tiba-tiba sebuah gumpalan kertas di lempar dari luar.

Aku yang terkejut kemudian mengambil kertas itu dan membukanya ternyata sebuah pesan tertulis di sana, dan setelah membacanya aku langsung menyimpannya ke dalam pakaian dalam atasku.

“Ayo Ajeng, ikut bapak!” teriak bapak sambil menarikku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status