“Sudah kamu diam saja Ajeng, ini bapak yang memintanya!” bentak Mas Budi kepadaku.
“Tetapi ‘kan Mas, ini ‘kan baju pengantin. Siapa yang akan menjadi pengantin, Mas?” tanyaku heran.
Mas Budi terlihat gelagapan mendengar pertanyaanku, tetapi bukannya dia menjawabnya dia malah memarahiku dan membentakku.
Entah mengapa aku merasa aneh dengan sikap Mas Budi saat ini. Karena tadi pagi ketika bertanya kepadaku dia tidak sekasar ini, tetapi sekarang?
Ini ada apa sebenarnya? Korban, perawan dan sekarang baju pengantin?
Aku kemudian menatap tajam Mas Budi karena telah memarahi dan membantakku, kemudian langsung pergi meninggalkannya.
“Bukankah itu bapak?”
Baru saja aku melangkahkan kakiku menjauh dari Mas Budi, aku melihat bapak sedang berbicara dengan seseorang pria tua, dan orang itu tampak aneh menurutku. Karena dia mengenakan pakaian hitam, dan dari penampilannya juga dia bukan seperti orang dari desa ini.
Aku yang penasaran kemudian melangkah menuju bapak, tetapi tiba-tiba ibu muncul dengan orang wanita muda, sehingga aku tidak punya pilihan lain akhirnya aku bersembunyi dan mengikuti mereka.
“Ibu dengan siapa itu?” ucapku lirih sambil tetap mengawasi dari kejauhan.
Wanita yang dibawa ibu itu, terlihat lebih tua beberapa tahun dariku dan pakaiannya juga sangat bagus, tetapi tunggu bukankah wanita itu seperti mengenakan pakaian pengantin.
Apakah dia?
Aku yang penasaran akhirnya mengikuti mereka dan membiarkan Mas Budi pulang sendiri, dan ternyata mereka menuju ke sebuah rumah yang letaknya di tengah hutan.
“Bagaimana sih Ki, dia ini ternyata sudah tidak perawan lagi. Kenapa Ki Aji memberikannya kepada kami? Kalau seperti ini kan kami yang rugi” tanya ibu terlihat kesal.
“Maksud ibu, dia?” ucap bapak.
“Iya, Pak.”
“Kata siapa Bu, dia tidak perawan? Orang saya sendiri tahu kok dia tidak pernah di sentuh oleh pria manapun?” ucap Ki Aji membela diri.
“Kalau Ki Aji tidak percaya, akik silahkan tanya sendiri!” tegas ibu.
Orang yang bernama Ki Aji itu kemudian menatap wanita muda yang ada di hadapannya itu dengan tatapan tajam, kemudian dia bertanya kepadanya dan ternyata benar apa yang dikatakan ibu. Wanita memang sudah tidak perawan dan dia kehilangan perawannya ketika dia masih kecil. Ki Aji yang mendengar penuturan wanita muda itu akhirnya hanya menepuk jidat dan dia meminta maaf kepada bapak dan ibu, dan dia berjanji akan mencarikan gadis perawan yang lainnya.
“Baiklah Ki, tetapi sebelum malam gadis itu sudah harus ada kalau tidak, akik tahu sendiri akibatnya,” ancam bapak.
Orang yang bernama Ki Aji itu akhirnya menganguk, dan kemudian menatap lekat lagi wanita yang ada di hadapannya, sedangkan bapak dan ibu pergi meninggalkan wanita muda itu bersama pria tua Bangka yang tadi membawanya.
“Jadi bagaimana, Pak? Kalau sampai nanti malam kita belum menemukannya, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya ibu khawatir.
“Bapak juga tidak tahu, Bu. Tetapi kalau terpaksa, kita tidak punya pilihan lain lagi selain Ajeng. Jadi mau tidak mau Ajeng yang harus mau menjadi pe—.”
Krak!
“Siapa di sana?” teriak bapak, kemudian menuju ke arahku.
Aku yang takut akan ketahuan oleh bapak, akhirnya diam di tempatku dan menutup mulutku. Karena kalau sampai bapak tahu di sini tentu saja dia akan langsung menyeretku dan aku tidak tahu nasibku bagaimana, tetapi ternyata Tuhan tidak memihakku karena Mas Budi berdiri di belakangku saat ini.
“Ayo, ikut!”
“Budi, kamu di sini? Ajeng?” ucap bapak terkejut.
Aku hanya menunduk ketika bapak dan ibu melihatku, dan kedua orang tuaku yang aneh itu kemudian menatapku tajam seolah-olah mereka tahu apa yang telah aku lakukan.
“Bu, bawa Ajeng sekarang! Bapak mau berbicara dengan Budi dahulu,” perintah bapak sambil tetap menatapku dan Mas Budi.
“Ayo Ajeng ikut ibu,” ucap ibu sambil menarikku untuk ikut bersamanya.
Entah mengapa ketika ibu menarikku tadi bisa aku lihat kesedihan di wajahnya, dan tangan tuanya pun ikut gemetar.
“Ibu, kita akan ke mana?” tanyaku panik sambil berusaha melepaskan tanganku dari tangan ibu, tetapi ternyata aku tidak berhasil dan ibu memegang tanganku lebih kuat lagi.
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang tidak aku ketahui, ibu hanya diam tanpa berkata apapun, dan dia terus saja menarikku mengikutinya. Sedangkan bapak dan Mas Budi, bisa aku lihat dari jauh mereka masih bicara, bahkan bapak juga sempat memukul Mas Budi.
Sudah hampir setengah jam aku dan ibu berjalan, tetapi entah mengapa tidak ada ujungnya hingga kami akhirnya tiba di sebuah gubuk tua yang tidak terawat, dan ibu kemudian menyuruhku masuk ke dalam tetapi aku menolaknya sehingga ibu akhirnya memaksaku masuk dan mengunciku dari luar.
“Bu, buka pintunya! Keluarkan Ajeng dari sini, Bu. Ajeng mohon,” teriakku.
Berkali-kali aku berteriak tetapi pintu yang ada di hadapanku ini tetap tidak terbuka, dan aku pun kemudian berusaha mencari sesuatu di dalam gubuk ini, tetapi di dalam gubuk ini hanya terdapat tikar saja, dan tidak ada apapun yang bisa aku gunakan untuk membuka pintu sehingga aku akhirnya memutuskan istirahat untuk memulihkan tenagaku setelah berjalan tadi sambil mencari cara agar bisa lolos dari tempat ini.
“Jadi kita harus bagaimana, Pak. Ini sudah malam tetapi anak buah bapak dan Ki Aji belum datang juga? Pokoknya jangan Ajeng, Pak. Ibu tidak setuju … hiks hiks hiks,” ucap ibu.
Suara ibu yang terdengar hingga sampai ke dalam gubuk akhirnya membangunkanku yang tadinya tertidur, dan aku kemudian segera menempelkan telingaku untuk mendengarkan lebih jelas lagi, tetapi setelah suara ibu tadi aku tidak mendengar apa-apa lagi dan itu membuatku bertanya-tanya dengan semua ini.
Sebenarnya apa yang mau kedua orang tuaku lakukan kepadaku? Terus Mas Budi, apakah dia juga tidak terlibat dengan semua ini?
Kriett!
“Siapa di sana?” tanyaku sambil menyeimbangkan indra penglihatanku yang silau dengan cahaya yang masuk ke melalu pintu.
“Ini cepat pakai!”
“Mas Budi. Apakah itu, Mas?” panggilku.
Suara pria tadi akhirnya hilang di telan suara jangkrik yang tiba-tiba muncul dan bayangannya pun hilang ketika sebuah lampu kecil dia letakkan di depan pintu.
Entah mengapa itu terdengar seperti suara Mas Budi, tetapi bila dia memang kakak tertuaku mengapa dia tidak menjawabku.
“Mas Budi, Mas?” panggilku lagi, tetapi pria itu tetap tidak menjawabku ataupun ada suara lain yang menjawabku.
Aku akhirnya mengambil baju yang tergeletak di lantai dan lampu kecil di depan pintu, dan ketika aku melangkah ke dalam tiba-tiba pintu itu tertutup, tetapi sebelum tertutup seluruhnya tiba-tiba sebuah gumpalan kertas di lempar dari luar.
Aku yang terkejut kemudian mengambil kertas itu dan membukanya ternyata sebuah pesan tertulis di sana, dan setelah membacanya aku langsung menyimpannya ke dalam pakaian dalam atasku.
“Ayo Ajeng, ikut bapak!” teriak bapak sambil menarikku.
"Tidak Pak, Ajeng tidak mau!” teriakku sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan bapak.Ketika aku berjalan mengikuti bapak, aku mendengar suara seperti deburan ombak yang menghantam karang. Bahkan, kakiku juga basah dengan cipratan air yang aku tidak tahu itu datang dari mana.“Ini di mana? Mengapa ada suara ombak?” batinku.“Pak, bapak akan bawa Ajeng ke mana?” teriakku.“Maafkan bapak, Ajeng. Bapak tidak punya pilihan lain.”Bapak terus saja menarik tanganku ke tempat yang aku tidak aku ketahui, aku hanya bisa mendengar deburan ombak serta kakiku yang menginjak karang. Hingga akhirnya bapak berhenti di depan pintu goa.“Pak, untuk apa kita ke sini? Ajeng mau pulang, Pak!” teriakku sambil berusaha melepaskan tangan bapak dari tanganku.Bapak terus saja menatap ke depan tanpa menghiraukan rintihanku, dan entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari sikap bapak saat ini.
"Aku mohon! Tolong lepaskan aku!” teriakku sambil menangis, tetapi ekor Pangeran Dayu tiba-tiba langsung melilit tubuhku dan sekujur tubuhku terasa akan diremukkan.Pangeran Dayu kemudian menarikku dengan ekornya dan membawaku ke hadapannya, bisa aku lihat mata yang tadinya hanya merah sekarang berubah menjadi merah menyala dan tampak mengerikan, dan itu membuatku bertambah takut.Setelah menatapku berapa lama, akhirnya Pangeran Dayu melonggarkan lilitanya di tubuhku dan entah mengapa setelah dia menatapku tadi, pikiranku menjadi kacau dan aku melihatnya menjadi pria tampan nan rupawan seperti pertama kali aku melihatnya, dan aku langsung tersenyum kepadanya.“A –aku di mana?”Aku yang masih merasa pusing kemudian memandang ke sekitar, dan ternyata aku berada di dalam kamar yang sangat indah dan wangi. Bahkan, di atas meja juga ada lilin dan bunga, dan ketika aku melihat ke arah pintu, ternyata pintu itu tertutup dan di ruangan ini
“Bapak, ibu, jangan tinggalkan Ajeng!” teriakku sambil mencari mereka“Nak, Nak, bangun Nak!” panggil seorang wanita terdengar di telingaku.Aku yang masih berusaha mencari kedua orangku akhirnya terbangun dan membuka mataku, dan ternyata ada seorang wanita tua sedang duduk di hadapanku saat ini, dan semua yang aku lihat tadi ternyata hanya mimpi dan sekarang ….“Ka –kalian siapa? Aku di mana?” ucapku sambil terengah-engah.“Kamu di rumah kami, Nak. Tadi pada saat akik mencari kayu di hutan, akik menemukanmu dan membawamu ke gubuk tua kami ini, Nak.”“Akik?” ucapku sambil menatap seorang pria tua yang berada di samping wanita tua yang berbicara denganku.“Iya, akik. Ini Ki Joko dan saya Ni Imah,” ucap Ni Imah sambil menatap suaminya.“Ki Joko?”Mendengar nama Joko membuatku ingat pesan Mas Budi, bahwa aku harus mencari seseorang ber
“Begini Ajeng. Kalau kamu mau mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi, maka kamu harus tenang dulu, Nak. Baru akik akan memberitahumu semua apa yang akik tahu.” Aku pun kemudian mengangguk mendengar penuturan Ki Joko, dan pria yang sudah sangat berumur itu kemudian menceritakan kepadaku kebenaran yang selama ini tidak aku ketahui dan bagaimana aku bisa menjadi pengantin Pangeran Dayu. “Jadi bapak selama ini kaya raya karena pe –pesugihan, Ki?” tanyaku terkejut dengan apa yang baru saja aku dengar, dan aku tidak bisa mempercayai semua ini. “Iya Ajeng, dan itu sudah bapakmu lakukan sejak lama, dan akiklah orang yang memberitahu bapakmu tentang Pangeran Dayu.” “Terus ibu? Apa ibu juga tahu dan mengikut apa yang bapak lakukan, Ki?” “Apakah pada saat pernikahanmu malam itu dengan Pangeran Dayu ibumu tidak hadir, Ajeng?” “Ibu, ibu … hiks hiks hiks. Aku benar-benar tidak bisa meneruskan kata-kataku bila mengingat wanita yang melahirkanku itu, dan aku pun akhirnya menghapus air mataku
Nek Imah bukannya menjawab pertanyaanku, tetapi dia malah memaksaku melepas pakaianku saat ini, tapi aku menolak.“Pokoknya Ajeng tidak akan melepas pakaian Ajeng, Ni!” tolakku.“Tolong Nak Ajeng, kalau kamu ingin terbebas dari Pangeran Dayu maka lakukan apa yang seperti ninik minta.”Mendengar apa yang Ni Imah katakan membuatku berpikir sejenak, dan aku akhirnya mau mengikuti keinginan Ki Joki dan Ni Imah dan itu aku lakukan hanya demi bisa terbebas dari pengeran setengah ular itu.Setelah memeriksa seluruh bagian tubuhku dan organ vitalku, Ni Imah kemudian memintaku untuk mengenakan kembali pakaianku, dan wanita yang sudah renta ini akhirnya memanggil suaminya lagi, dan kami bertiga duduk diam.Aku tidak tahu sebenarnya ada dengan Ki Joko dan Ni Imah. Bahkan, ketika ninik memeriksa organ vitalku, aku sebenarnya menolak dan merasa risih, tapi Ni Imah memaksaku dan itu dengan alasan yang sama, dan aku akhirnya menurut demi kebaikanku.“Sungguh beruntung kamu Ajeng, Pangeran Dayu tern
“Nak Ajeng ada apa, Nak. Apa kamu bermimpi buruk?” panggil Nek Imah.“Ni Imah?” ucapku sambil menatap wanita tua yang sedang duduk di sampingku.Aku yang masih binggung dengan semua yang terjadi kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, tetapi entah mengapa tubuhku terasa tidak bertenaga dan sangat lemah. Bahkan untuk menggerakkan tanganku pun terasa susah.“Nak Ajeng, jangan bangun dulu. Sekarang lebih baik Nak Ajeng beristirahat lebih dulu, ninik akan mengambilkan makanan untuk Nak Ajeng,” ujar Ni Imah.Wanita tua itu kemudian bangkit setelah mengatakan hal itu, tapi aku lalu menarik tangannya dan bertanya kepadanya apa yang terjadi padaku. Tapi Ni Imah tetap memintaku untuk beristirahat dan dia beserta suaminya akan menjelaskan nanti setelah aku pulih, dan aku hanya bisa menurut dengan kondisiku saat ini.Aku yang masih terbaring di tempat tidur hanya bisa mengingat-ingat apa yang terjadi. Tapi tak berselang berapa lama, Ki Joko dan Ni Imah masuk bersama ke dalam gubuk mereka ini.
“I –itu,” jawab Ni Imah terdengar ragu, “Sudah, tidak usah dipikirkan Nak Ajeng, biar ninik singkirkan dulu ramuan ini, nanti bila Nak Ajeng sudah tidak mual, nanti Nak Ajeng harus meminumnya,” lanjut Ni Imah terlihat berusaha mengalihkan pembicaraan.“Tapi, Ni Imah. Mengapa Ajeng harus meminumnya? Ramuan itu bau sekali dan Ajeng tidak mau meminumnya!” tolakku.“Nak Ajeng, dengarkan ninik dulu. Ramuan ini sengaja akik buat agar tubuh Nak Ajeng kembali seperti semula, dan Nak Ajeng bisa berjalan lagi. Jadi tolong di minum walau sedikit saja,” jawab Ni Imah.Aku yang tetap menolak akhirnya memalingkan wajahku, tapi Ni Imah dengan sabar menjelaskan kepadaku apa yang akan terjadi kepadaku kalau aku tidak meminumnya dan itu membuatku takut.Aku tidak tahu apakah ramuan itu benar-benar berkhasiat atau tidak seperti apa yang dikatakan Ni Imah, dan bisa saja itu juga racun yang bisa membahayakan nyawaku. Karena aku tidak tahu terbuat dari apa ramuan itu, tapi bila aku tidak mencobanya bisa s
Ki Joko dan Ni Imah kemudian saling memandang satu sama lain, dan Ni Imah lalu mengangguk kepada suaminya.“Itu ramuan penyembuh yang sengaja akik buat untukmu, Nak Ajeng.” Jelas Ki Joko.“Ramuan penyembuh?” ucapku terkejut.Ki Joko kemudian menjelaskan kepadaku mengapa dia memberiku ramuan itu, dan itu untuk memulihkan kondisiku seperti semula, dan yang paling membuatku tercengang dari perkataan Ki Joko adalah, pria tua renta itu tahu tentang mimpiku sebelum aku terbangun hingga aku bisa jadi seperti ini.“Jadi semua ini karena ulah Pangeran Dayu, Ki?”“Iya, Nak Ajeng. Karena kamu adalah pengantinnya dan dia sedang mencarimu saat ini,” jawab Ki Joko.Mendengar Ki Joko mangatakan hal itu, rasa takut mulai menghinggapiku. Bagaimana bila pengeran setengah ular itu bisa menemukanku. Apakah dia akan membawaku lagi? Ataukah?“Ki, apa Pangeran Dayu akan menangkapku dan membawaku lagi bila menemukanku di tempat ini? Apa aku akan menjadi pengantinnya lagi bila aku tertangkap?” tanyaku penasar