Share

BAB 3 AJENG, MAAFKAN BAPAK.

"Tidak Pak, Ajeng tidak mau!” teriakku sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan bapak.

Ketika aku berjalan mengikuti bapak, aku mendengar suara seperti deburan ombak yang menghantam karang. Bahkan, kakiku juga basah dengan cipratan air yang aku tidak tahu itu datang dari mana.

“Ini di mana? Mengapa ada suara ombak?” batinku.

“Pak, bapak akan bawa Ajeng ke mana?” teriakku.

“Maafkan bapak, Ajeng. Bapak tidak punya pilihan lain.”

Bapak terus saja menarik tanganku ke tempat yang aku tidak aku ketahui, aku hanya bisa mendengar deburan ombak serta kakiku yang menginjak karang. Hingga akhirnya bapak berhenti di depan pintu goa.

“Pak, untuk apa kita ke sini?  Ajeng mau pulang, Pak!” teriakku sambil berusaha melepaskan tangan bapak dari tanganku.

Bapak terus saja menatap ke depan tanpa menghiraukan rintihanku, dan entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari sikap bapak saat ini.

Bapak terus saja berdiri tanpa berkedip dan aku juga melihat walah samar-samar mulut bapak seperti mengucapkan sesuatu tetapi aku tidak bisa mendengar apa itu.

“Ajeng, maafkan bapak. Bapak dan ibumu tidak memiliki pilihan lain lagi, dan hanya kamu yang bisa menolong kami Nak,” ucap bapak tiba-tiba.

“Maksud bapak apa? Menolong apa maksud bapak?”

Bapak bukannya menjawab pertanyaanku, tetapi malah menarikku untuk masuk ke dalam goa itu bersamanya.

Ada rasa ngeri ketika aku dan bapak mulai memasuki goa itu, entah mengapa bulu kudukku langsung berdiri dan aku juga mencium bau wangi yang tidak bisa aku gambarkan. Aroma wangi ini bukan hanya seperti wangi bunga yang aku kenal tetapi sesuatu yang lain, antara wangi bunga bercampur dengan dupa dan bau kemenyan.

“Ini di mana? Mengapa di dalam goa terdengar ramai sekali?” batinku sambil mencari suara yang aku dengar.

Bapak terus saja menarikku hingga kami menuju ke sebuah taman yang di tumbuhi banyak bunga yang beraneka warna dan wangi yang semerbak. Selain itu, di sini juga terdapat hiasan janur yang dibentuk cantik selayaknya orang yang sedang mengadakan hajatan pernikahan.

Benar-benar aneh mengapa di dalam goa yang tadinya gelap sekarang menjadi terang ketika kami berada di taman dan di dalam goa itu juga ada banyak pelayan yang menunduk dan diam ketika kami datang.

Ini sebenarnya ada apa? Siapa yang akan menikah? Pertanyaan itu benar-bernar berputar dalam pikiranku, hingga akhirnya kami tiba di sebuah istana yang sangat megah.

“Bagaimana bisa di dalam goa ada istana semegah ini? Ini istana siapa?” batinku.

Aku terus saja memandang sekitar ketika bapak menarikku, dan akhirnya kami sampai di sebuah ruangan di dalam istana ini, dan di sana ternyata ada seseorang yang sedang duduk di atas sebuah kursi yang sangat megah.

“Salam hormat kepada tuanku, Pangeran Dayu. Hamba sebagai pengikut setia tuanku ingin memberikan persembahan kepada tuanku Pangeran Dayu,” ucap bapak bergetar sambil menuduk.

“Pangeran Dayu?” ucapku lirih sabil manatap pria tampan dan tinggi yang sedang duduk di kuri singgasananya.

“Bapak apa maksud semua ini? Apa yang bapak maksud persembahan?” lanjutku sambil mengoncang tubuh bapak, tetapi bapak tetap terdiam.

Aku yang panik kemudian berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan bapak, tapi cengkraman tangan bapak bukannya melonggar malah mencengkramku lebih erat dari sebelumnya, hingga pergelangan tanganku terasa akan putus. 

“Pak, tolong lepaskan Ajeng!” ucapku sambil berusaha melepas tanganku, hingga air mataku akhirnya turun membasahi pipiku, hingga suara tangis seseorang yang aku kenal akhirnya menghentikanku dan ketika aku menoleh, itu ternyata adalah suara tangis wanita yang telah melahirkanku.

“Ibu, ibu!” panggilku, “ Tolong Ajeng, Bu. Tolong lepaskan, Ajeng!” teriakku sambil menangis dan menatap ibu. Tetapi bukannya ibu menolongku, ibu malah membuang muka sambil menangis ketika aku memohon kepadanya, dan itu membuat hatiku teriris melihat perlakuan wanita yang melahirkanku itu.

Melihat sikap ibu yang seperti itu, aku akhirnya berhenti menangis dan menatap bapak. Bapak juga tetap menunduk membisu dan bisa aku lihat air matanya pun menetes, tapi langsung dihapus dan tetap memegang tanganku.

Aku yang binggung dan ketakutan akhirnya terduduk di lantai hingga suara seorang pria mengejutkanku.

“Pelayan, siapkan dia!” perintah Pangeran Dayu tiba-tiba.

Aku yang terkejut mendengar suara itu langsung mengangkat kepalaku dan menatapnya, tetapi tiba-tiba dua orang wanita cantik memegangiku dan menarikku paksa untuk ikut dengan mereka, sedangkan bapak?

Bapak akhirnya melepaskan genggaman tangannya, dan membiarkanku pergi bersama dengan para pelayan itu dan itu membuatku sangat terkejut hingga aku tidak bisa berkata apa-apa.

“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku ingin bersama bapak dan ibuku, lepaskan!” teriakku sambil berontak, tetapi ternyata tenaga para pelayan wanita itu lebih kuat dariku sehingga aku akhirnya kehabisan tenaga dan pasrah mengikuti mereka, dan ketika kami akan masuk ke dalam sebuah ruangan tiba-tiba aku melihat seseorang pria.

Ya, dia pria yang sama yang tidak mau menampakkan wajahnya. Melihat pria itu aku kemudian teringat kertas yang dia berikan, dan aku kemudian mengingat-ingat kembali isi tulisan dalam kertas itu.

Dalam kertas itu tertulis bahwa aku harus mengikuti semua acara yang akan dilakukan, dan pada saat aku akan dibawa ke dalam kamar pengantin maka akan ada orang yang akan membantuku, dan aku harus mengikutinya.

Setelah ingat dengan isi tulisan dalam kertas yang aku dapat, aku kemudian mengikuti apa yang dilakukan para pelayan sambil mencari orang yang di maksud dalam tulisan itu.

“Auuu, apa yang kau lakukan?” teriakku, ketika seorang pelayan mencoba membuka bajuku.

“Maaf tuan putri, tapi kami harus membuka baju tuan putri dan menggantinya dengan pakaian ini,” jawab seorang pelayan wanita tua yang tiba-tiba masuk dengan membawa nampan berisi pakaian yang terlihat aneh.

“Aku tidak mau memakai pakaian itu!” teriakku.

“Maaf tuan putri, tapi anda harus memakainya.”

“Aku tidak mau! Aku bilang tidak mau ya tidak mau!” bentakku.

Mendengar penolakkanku, para pelayan wanita yang berdiri di sampingku akhirnya berusaha melepas paksa pakaian yang aku kenakan, dan itu artinya mereka akan tahu tentang kertas itu.

“Aku akan memakainya sendiri!” bentakku.

Para pelayan yang ada di dalam ruangan ini kemudian saling memandang, dan pelayan wanita tua yang ada di sampingku akhirnya mengangguk, dan memberikan nampan yang dia bawa kepadaku.

“Mari tuan putri,” ajak pelayan wanita tua.

Aku kemudian mengikuti wanita tua itu dan beberapa pelayan wanita lainnya menuju ruang utama, di mana aku dan bapak pertama kali bertemu dengan Pangeran Dayu. Ketika aku baru saja melangkah memasuki ruangan itu, alangkah terkejutnya aku. Karena kedua orang tuaku yang awal kami datang menunduk dan seperti pelayan, kini tengah duduk di kursi megah yang tidak jauh dari Pangeran Dayu. Bahkan apa yang mereka kenakan saat ini juga sama dengan apa yang aku kenakan saat ini.

“Bapak, Ibu!” panggilku lirih.

Mereka berdua bukanya menjawab panggilanku, tetapi malah terseyum tanpa mengucapkan sepatah kata-kata pun, dan itu membuatku binggung dan merasa aneh. Bahkan, raut wajah mereka yang tadinya terlihat sedih kini berubah menjadi bahagia.

“Cepat mulai acara pernikahan ini!” teriak Pangeran Dayu.

Semua yang ada di dalam ruangan ini pun bersorak, dan pelayan yang ada di sampingku saat ini kemudian membawaku menuju ke Pangeran Dayu.

Takut, marah, dan tidak tahu lagi perasaan apa yang ada di dalam hatiku saat ini. Begitu aku melangkah mendekati Pangeran Dayu, langkahku langsung terhenti ketika aku menatap wajahnya, ternyata kedua matanya berwarna merah dan menyala, sedangkan kakinya.

“Lepaskan aku! Biarkan aku pergi!” teriakku, ketika aku tahu dia ternyata ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status