Share

Harapan

Suara gemericik air terdengar mengalir dari kamar mandi, tepat pukul 03.00 Hana terbangun untuk melaksanakan salat tahajjud, meminta petunjuk dari sang ilahi, Hana membentangkan sajadahnya kearah kiblat.

Dengan mengucap bismillah, gadis itu memohon pada Allah agar segera didatangkan kebahagiaan serta harapan yang sudah terkubur kian hari.

"Allahuakbar." Suara takbir Hana terdengar pelan.

Doa segera dipanjatkan antara takbir dan aamiin menjadi saksinya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakattuh." Hana memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan.

Gadis itu kini mengusap mukanya dengan kedua tangan.

 

"Ya ... Rabb izinkanlah hamba menemukan orang yang tepat untuk mengisi kekosongan ini, dan ikhlaskan hati hamba untuk melepaskan orang yang memang tidak di takdir kan bersama!" Tangannya terus menengadah ada secerca harapan yang dilangitkan, ada rasa sakit yang harus sembuh dan pulih kembali agar luka menjadi tawa bahagia untuk esok hari.

"Alhamdulillah, ya Allah aku merasa damai, saat mendekatkan diri padamu." Hana sangat bersyukur atas nikmat yang diberikan padanya serta kelapangan hati.

Segera Hana membuka mukena putih polos tanpa corak itu, yang membaluti seluruh tubuhnya, dilipat dengan rapi kain penutup tubuhnya itu.

*****

"Bu, apa sebaiknya kita jodohkan saja anak kita itu?" saran Hadi pada istrinya matanya masih saja terlihat sangat sendu.

Sumi tersentak kaget saat Hadi berkata tentang perjodohan sang putri sulung.

"Tapi dengan siapa Pak?" tanya Sumi membalikkan tubuhnya menghadap kearah Hadi, yang beberapa hari terakhir ini terus melamun perihal yang sama.

Apa Hana adalah beban bagi orang tuanya?

Hadi melirik istrinya itu yang masih mematung dan menatapnya tajam. Pria tua itu kini menyesap kopi hitam yang sudah di suguhkan istrinya sejak tadi.

"Dengan anak ummi Salamah, dia punya bujangan ganteng lagi udah punya gelar Gus, bukankah sejak dulu kita sudah punya rencana agar menjodohkan mereka, bahkan saat Hana berada di dalam kandunganmu!" jelas Hadi mengukir semua kata dan kenangan dulu serta janji yang pernah diucapkan.

Sumi terdiam sejenak memikirkan apa ini benar atau hanya lelucon semata? Rupanya, wanita itu sedikit lupa karena perihal usianya yang beranjak tua dengan rambut yang beruban. Sumi tersenyum sumringah saat ingatan itu kembali dan begitu bahagia Sumi, sepertinya ini akan menjadi jalan indah bagi Hana. 

"Sumi kalo anaknya perempuan 'ntar jodohkan ya sama anak ku!" ucap Ummi Salamah sambil menimbang balita lucu dengan bulu mata lentik dan hidung mancung, kulitnya putih bersih tidak ada noda disana.

"Iya, semoga aja yang ada dalam kandunganku isinya bayi perempuan," timpal Sumi sambil mengelus-ngelus perut buncit yang sudah menginjak sembilan bulan. 

"Kita harus jadi besanan, apapun alasannya!" tegas Ummi Salamah tidak main-main dengan ucapannya.

Sumi mengangguk sambil mencubit gemas pipi balita yang baru menginjak umur 3 tahun itu. "Calon menantu ku masih kecil gantengnya udah kelihatan, nanti udah gedenya pasti jadi orang hebat dan tidak kalah gantengnya." Sumi terus memujinya tanpa henti kala itu.

"Sudah tidak sabar aku menantikan hadirnya bayimu, masih penasaran aku dia laki-laki atau perempuan, apa kamu sudah USG kedokterannya untuk melihat jenis kelamin anakmu itu Sumi?" Ummi Salamah terus bertanya pada Sumi, berharap cabang bayi itu tetap perempuan.

"Udah, waktu umurnya 7 bulan dalam kandungan kata dokter pas di USG, bayinya perempuan, tapi aku hanya menutupi kemungkinan, takutnya pas keluar laki-laki," timpalnya tersenyum kearah Ummi Salamah.

"Alhamdulillah kalo begitu berarti kita jadi besanan." Ummi Salamah kini tersenyum sumringah, dugaan bahwa si cabang bayi perempuan memang benar.

Tapi kabar Ummi Salamah dan keluarganya tidak terdengar lagi, semenjak mereka pergi jauh pindah ke luar kota. 

Hadi buru-buru menepuk pundak sang istri. Sontak Sumi spontan terkejut.

"Ibu udah ingatkan?" katanya seraya tersenyum dengan dahi yang berkerut.

"Iya Ibu sudah ingat pak, tapi ...." Kalimatnya digantung begitu saja, tidak dilanjutkan. 

"Tapi, apa Bu?" 

"Ibu ... tidak tahu rumah Ummi Salamah, apa Bapak tahu?" 

"Tidak Bu, tapi bapak nyimpen nomor telepon nya !" Laki-laki tua itu kini beranjak meninggalkan sang istri, segera membuka lemari kecil yang berada di ruang tengah, tangannya mengambil benda persegi berwarna putih sedikit kecoklatan sepertinya sudah lama, di dalam lemari tersimpan rapi dan apik.

"Coba telpon Bu, siapa tau masih nyambung." Harapnya  sambil menyodorkan secuil kertas usang itu.

Sumi menyambar kertasnya lalu menyipitkan mata, di tekannya nomor telepon itu pada benda persegi berukuran lima inci itu.

Tut ... tut ... tut ... begitulah suara sambungan telpon, Sumi tersenyum saat mendengar suara dari benda pipih itu.

"Pak nomornya masih aktif." Sumi mendekatkan benda itu di kuping kiri suaminya.

"Iya Bu, Bapak juga dengar suaranya!" 

Tidak menunggu lama suara terdengar dibalik layar itu.

"Assalamualaikum ini siapa ya? Ada perlu apa?" 

"Waalaikumsalam ini aku Sumi, kamu masih ingat aku kan?" balik tanya Sumi dengan mimik berkaca-kaca.

"Ah iya, aku masih ingat, masa lupa sama saudara sendiri, kenapa baru memberi kabar sekarang setelah aku lama pergi?" cerocos Ummi Salamah.

Sumi menghela napasnya dengan kasar, melirik laki-laki yang berada disampingnya, agar memberikan pertanyaan yang pas untuk di jawab.

"Tanyakan kabar Hazmi aja Bu." Saran Hadi mengangkat dua alisnya keatas.

"Ah iya, gimana kabar anakmu Hazmi? Aku denger dia sudah menjadi GUS, sungguh anakmu sangat sholeh."

"Baik Alhamdulillah, gimana kabar anakmu Hana si cantik calon menantu ku?" 

Deg!

'Ternyata kamu masih ingat perjanjian kita tempo itu!' gumam Sumi dalam hati.

"Alhamdulillah Hana baik-baik saja."

"Akh iya, aku mau buru-buru anak kita di kenalkan, mereka terpisah sejak dulu." Spontan Ummi Salamah berucap tanpa basa-basi kembali.

Obrolan demi obrolan menyita waktu mereka masing-masing, ada rasa bahagia karena Sumi tidak sia-sia menelpon Ummi Salamah.

Harapan yang terkubur kini telah tumbuh kembali di dasar hati mereka.

"Pak, Ibu gak percaya atas semuanya," jelasnya ada air mata bahagianya jatuh di pipi yang berkerut dengan garis-garis keriput.

"Allah telah mengabulkan doa kita, segera beritahu kabar ini pada Hana," tegas Hadi menekan dengan bijak.

*****

"Ibu ... kenapa berlari-lari di dalam rumah?" Hana melongo melihat Sumi dengan tergesa-gesa menghampiri anak tunggalnya.

"Hana sini duduk," titah Sumi menepuk kursi yang terbuat dari rotan itu.

Hana segera menghampiri Ibunya, biarkan saja lipatan bajunya nanti ia selesaikan kembali.

Sumi masih mulai mengatur nafasnya.

"Hana kamu siap dilamar sama Hazmi?" 

Hana mengangkat kepalanya, terbengong-bengong menatap Sumi dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Maksud Ibu? Hana tidak mengerti apa yang Ibu ucapakan," ucapnya dengan rasa penasaran.

"Hana, Ibu tau kamu belum sepenuhnya melupakan Arman, tapi Ibu tau kamu pasti membutuhkan pendampingan hidup! Ibu akan menjodohkanmu dengan sepupu kamu sendiri, dia baik bahkan sudah mempunyai gelar Gus di pesantren ternama Ibu yakin, jika kamu bersanding dengannya kamu akan mendapatkan hidup yang layak, dia tahu agama siapa yang tidak mau dengan laki-laki seperti itu!" Sumi berterus terang panjang lebar agar hati sang putri luluh dengan tutur katanya.

"Hazmi? Sepupu?" Hana masih terlihat kebingungan saat Sumi menjelaskan.

"Hazmi adalah sepupumu, rumahnya di luar kota jauh dari sini, makanya kamu tidak mengenal siapa dia. Nanti kamu akan mengenal dia lebih dekat setelah kalian resmi menjadi sepasang suami istri!" Sumi tidak bosan-bosan mengulang kembali ucapannya.

Hana menundukkan kepala dihadapan Ibunya, entah sakit atau bahagia saat kabar itu diterima Hana.

"Sebenarnya Ibu sudah lama akan menjodohkanmu dengan sepupumu sendiri," Sumi menatap kedua bola mata putrinya.

"Hana bingung. Dan apa hukumnya menikah dengan sepupu sendiri dalam islam!" Tampak raut wajahnya muram seketika.

"Hana, dalam agama Islam bahwa menikah dengan sepupu sendiri hukumnya sah, karena bukan mahramnya, lagian kamu sama Hazmi beda nasab yang sangat jauh!" 

"Tapi Hana tetap bingung Bu, Hana belum mengenal jauh." Kembali gadis itu menunduk.

"Hana kamu tidak kasihan sama diri kamu sendiri dan orang tua, Ibu dan Bapak tiap hari memikirkan jalan keluar ini, apa kamu akan menolak usaha Ibu sama Bapak?" tanyanya sambil memegang erat bahu anaknya.

Hana terperangah saat mendengar ucapan Ibunya. Ada dua pilihan antara menerima dan menolak.

'Jika aku menerima apa sangat terlalu cepat melupakan mas Arman, tapi bila mana aku menolak ini adalah usaha Ibu serta bapak yang ingin membahagiakanku.' Hana terus bergelut dengan pertanyaan dalam benaknya.

"Hana tenangkan dirimu, Ibu tidak membutuhkan jawabanmu yang sekarang, Ibu butuh jawabanmu untuk esok di depan semua orang, semoga tidak mengecewakan Ibu!" Sumi menatap Hana dengan senyuman.

Hana diam membisu, dia tidak tahu harus menjawab apalagi, kedua pilihannya membuatnya dilema.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status