Share

Lamaran

Hari kini berganti malam, Hana masih mondar-mandir di kamarnya sambil memikirkan hal yang tadi ibunya lontarkan. Sebuah kesepakatan yang sudah sejak dulu dikatakan.

"Apa aku harus menerima perjodohan yang pernah ibu sepakati sejak dini?" gumam Hana menggigit ujung kuku jarinya.

Jendela yang tertutup tirai putih, Hana buka dengan lebar terlihat bintang berkelap-kelip genit menatapnya.

Hana menggeserkan kursi lebih dekat ke jendela. Angin malam menerpa wajahnya yang cantik tanpa sedikitpun poles dengan bedak make up begitu natural, Hana kini menopang dagunya dengan kedua tangan. Suara napasnya sangat berat. Matanya sengaja di pejamkan berharap ada keajaiban malam, tapi itu sangat mustahil baginya.

"Jika aku memohon padamu, apa akan segera terkabulkan? Apa perjodohan ini juga adalah sebagian doaku malam itu? Dan kenapa dengan mudahnya aku dapat  melupakan mas Arman apa ini yang dinamakan keikhlasan hati?" Hana memiringkan kepalanya melihat bayangan yang samar pada kaca jendelanya yang berwarna sedikit gelap.

Malam semakin larut, bulan sabit yang tadi menampakkan ronanya kini sudah sedikit tertutup awan yang bergelembung bergeseran dengan sendirinya. Beberapakali Hana menguap seakan awan malam menghipnotisnya agar segera pergi tidurdan bermimpi indah. Hana kembali menutup jendela kamarnya, matanya kini sudah berat untuk terbuka rasa ngantuk kian menyerangnya.

*****

Suara rumah kini tampak riuh bergemuruh bak jalan raya macet dengan pengendara roda dua dan empat.

"Ayo cepat mandi Pak, bentar lagi Ummi Salamah akan segera datang, melamar anak kita!" Sumi dengan rasa bahagianya itu terus memerintah suaminya agar tampil rapi di depan calon mertua anaknya, peluhnya terlihat disudut kening serta ujung hidung Sumi yang sedari tadi seakan sibuk sendiri.

Hadi segera berlenggang masuk kedalam kamar mandi dengan handuk yang tergantung di bahu kanannya, tanpa menyahut istrinya yang terus berkata-kata.

Hana mengedarkan pandangan pada seisi rumah, ada hal yang ganjal saat melihatnya, kursi yang semula berjejer menyamping kini sudah berubah melingkar. Lemari kayu tua kini sudah tidak ada padahal itu adalah barang antik yang sulit ditemukan dipasaran sekarang. 

"Eh, Hana ... udah mandikan? Bajunya ganti jangan pake yang itu. Ada yang lebih pantas dari itu!" ucapnya sambil menunjuk kearah Hana.

"Emang kenapa Bu kalo pake yang ini, Hana nyaman sama baju gamis ini." Hana tersenyum kearah Sumi takut sang Ibu tersinggung atas pertanyaannya itu.

"Astaghfirullah haladzim, sekarang kamu akan ada yang lamar." Sumi melirik jam dinding berwarna merah jambu di ruang tengah.

"Lihat sudah jam 09.00 sebentar lagi mereka  akan datang!" dalihnya.

Hana tersenyum getir sudut matanya kini nampak berair kembali. Hana segera membelakangi Ibunya, lalu berlenggang kearah tempat tidurnya.

"Apa terlalu cepat ini terjadi? Mereka akan segera datang, jawaban apa yang akan aku lontarkan untuk saat ini!" Hana terus berbicara pada cermin seukuran setengah badannya itu. Hana terus berperang dengan perasaannya itu. 

Bagaimanapun Hana harus menuruti perintah ke-dua orang tuanya, ada sesuatu yang harus gadis itu banggakan padanya, ada hal yang harus dituruti untuk sedikit membalas budi. 

Hana menarik napasnya dengan berat, menguatkan dirinya sendiri. Lemari plastik perlahan di buka untuk mengambil gamis berwarna coklat susu yang berpadu dengan kerudung hitam.

"Hana, cepat keluar!" teriak Sumi kegirangan.

Hana yang tadinya mematung memperlihatkan dirinya pada cermin akhirnya bangkit, knop pintu kembali Hana putar dengan kuat, Sumi buru-buru merangkul bahu anak gadisnya menuju ruang tamu. Ternyata sudah ada yang menunggu kedatangan Hana disana.

"Wah cantik sekali Hana," puji Ummi Salamah saat melihat Hana berjalan kearahnya mencium punggung tangannya dengan sopan.

Ummi Salamah tidak datang sendiri, tetapi bertiga dengan para Arjunanya, diantaranya Abah Umar dan Hazmi. 

"Hana sini duduk dekat Ibu," titah Sumi sambil menepuk sofa.

Hana hanya menundukkan pandangan dan menuruti perintah Ibunya. 

Hazmi, sang pemuda berperawakan gagah dan tinggi mempunyai kulit putih, rambutnya yang standar menambah kesan sangat pandai merawat diri, pemuda  yang sudah mempunyai gelar Gus itu menatap Hana dengan dingin.

Hari ini dan detik ini, sudah membuktikan Hana kini dilamar oleh seorang Gus bernama Hazmi pratama, Hana tidak pernah mengenal Hazmi sebelumnya begitupun sebaliknya, tapi atas dasar perjodohan, yang orang tua sepakati sejak dulu.

"Ayu sekali Hana," ujar Abah Umar.

"Matur nuwun, Abah!" Hana tersenyum tipis kearah mereka.

Beberapa kali Abah Umar berdekhem saat ingin memulai pembicaraannya.

"Mohon maaf Bapak Hadi saudaraku dan Bu Sumi, kedatangan kami kesini ada niat ingin menyampaikan sesuatu yang sudah lama kita janjikan sejak dulu, kami yang mempunyai putra laki-laki ingin mengkhitbah putri tunggal kalian bernama Hana, semoga kedatangan kami kesini dapat diterima dan membawa kabar bahagia setelah pulang dari sini," jelas Abah Umar yang terlihat serius, pandangannya kini menatap satu-persatu orang yang berada tepat dihadapannya.

Hadi menatap mata putrinya yang sendu, apapun jawabannya itu adalah akhir.

Mereka saling beradu pandang tidak ada jawaban saat itu.

"Hazmi mari maju kesini," titah Abah Umar agar Hazmi lebih dekat menghadap Hana yang bersemberangan, sofa meja menjadi penyekat diantara mereka.

"Mulailah, katakan tujuanmu kesini," bisik Abah Umar pada putranya.

"Bismillahirrahmanirrahim, Bapak Hadi Ibu Sumi, mohon maaf atas kelancangan saya kesini, atas ridho Allah saya bermaksud mengkhitbah putri Bapak Hadi agar mau menjadi pendamping hidup saya!" ucap Hazmi tangannya tidak terlihat gemetar ataupun gugup.

"Biar Hana yang jawab." 

"Bismillahirrahmanirrahim, dengan izin Allah, Hana menerima lamaran ini!" 

Sontak semuanya tersenyum dan mengucapkan syukur 'tak terkecuali Hazmi terlihat raut wajahnya masam tidak bisa di tebak. Ada yang disembunyikan dalam lubuk hatinya.

'Berdosakah aku ya Allah, telah menerima kembali lamaran!' gumam Hana dalam hati.

"Bu Sumi kok ini udah ada tenda pengantin? Apa yang kamu ceritakan itu?" tanya Abah Umar pada Sumi pelan. 

Sumi mengangguk pelan. "Iya betul," jawabnya singkat.

"Akh, sudah lupakan saja Abah, kita makan aja cemilan, buatan Bu Sumi pasti rasanya enak!" Ummi Salamah langsung membuka tutup toples kue putri salju. Agar percakapan keduanya membelok, berharap tidak terjadi kekacauan dan menambah luka pada hati Hana.

Keduanya memang sudah mengetahui musibah yang menimpa Hana, tapi itu hanya sebuah musibah, karena dibalik semuanya ada janji yang harus ditepati begitulah ucap kedua belah pihak.

"Kita sudah atur pernikahan keduanya kan, sesuai perjanjian waktu ditelpon?" tanya Abah Umar mengerutkan keningnya ke atas.

"Sudah Bah, satu hari lagi mereka akan sah menjadi suami istri, jika terlalu ditunda itu akan mengakibatkan zina diantara keduanya!" Ummi Salamah tersenyum lebar menghiasi bibirnya yang berwarna merah ranum.

Hazmi yang mengambil segelas air yang disuguhkan, tiba-tiba gelas yang ia genggam terjatuh kelantai, pecahan-pecahan kacanya mengkilat terlihat sempurna.

Deg!

"Astaghfirullah!" Hazmi berujar lalu membereskan percahan kaca itu.

Hana berjongkok hendak membantu mengumpulkan benda tajam itu. Hazmi yang melihatnya menatap dingin kearah Hana dan tersenyum devil.

"Biar Hana yang bereskan." Satu persatu gadis itu mengumpulkan pecahan kaca itu hingga bersih.

"Apa ada yang luka?" Sumi melihat tangan putrinya, terlihat ada garis luka disana.

"Engak Ibu." 

Hana, segera berlenggang kearah dapur untuk membuang pecahan kaca itu.

"Hazmi kenapa sama kamu, sampai menjatuhkan gelas seperti  itu?" Ummi Salamah tampak bingung dengan perilaku putranya.

"Mungkin Hazmi sedang grogi," timpal Hadi mencoba menggoda Hazmi yang tetap saja mematung dengan tersenyum damai.

Mereka tersenyum kearah Hazmi.

'Mungkin apa yang dikatakan Pak Hadi benar!' bathinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status