Share

Luka yang diterima

"Bahagia atau luka, Aku akan menerima semua takdir yang sudah di tetapkan pada diri ini." 

~ Hana.

*****

Mobil mewah kini terpakir dihalaman rumah Hana, suara klakson dibunyikan beberapa kali. Menandakan bahwa tamu yang ditunggu-tunggu sejak kemarin datang untuk memberi kabar sebagai kebijakan atas meninggal dunianya sang putra tercinta.

Pintu mobil kini terbuka nampak seorang wanita yang sudah setengah abad, yang kerap kali disebut dengan panggilan Bu Safa.  mengenakan kebaya berwarna hitam dengan manik-manik yang indah dan rambut disanggul rapi, menambah kesan sebagai orang berada dengan harta, wanita itu berlari dengan sedikit tergopoh-gopoh menghambur pelukannya pada Hana sambil terisak menangis di pundak gadis itu.

"Hana ... kita harus kuat ya!" ucapnya pelan pada daun telinga Hana.

Hana hanya tersenyum walau ada rasa nyeri di hati, bagaimana bisa Hana dengan mudah ikhlas atas kepergian Arman, padahal sudah bisa dihitung jari pernikahannya akan segera berlangsung, tapi takdir dan kuasa ilahi tidak bisa ditentangnya.

"Bu, kita masuk ke dalam rumah dulu yuk!" ajak Hana sambil melepas lembut pelukan sang mantan mertuanya. 

Hanya anggukan sebagai timpal bicara pada Hana. Kembali wanita itu mengusap lembut punggung Hana dengan telapak tangannya, untuk menguatkan.

"Hana, menantuku ... setelah kemarin Ibu merelakan secara ikhlas Arman diambil Tuhan, kini Ibu harus ikhlas merelakan, kamu menjadi menantu orang lain!" ucapnya dengan berat.

Deg!

Mata Hana langsung memanas air matanya kini luruh menganak sungai berdesakan keluar dari kelopak indahnya. Apa yang dikatakan mantan mertuanya memang benar. Hana juga harus ikhlas atas semuanya, apapun yang terjadi kini bahagia atau luka, tapi  Hana harus kuat serta sabar dengan ujian ini.

"Ngeh ... Ibu inshaa Allah!" Hana mengusap sudut matanya yang berembun dengan ibu jari.

"Ibu yakin kamu kuat Hana, segera cari pendamping barumu, ibu ikhlas ... kamu anak sholehah pasti kamu mendapatkan laki-laki terbaik, terimalah kebijakan ini Hana," terangnya sambil mengelus-elus pucuk kepala Hana yang berbalut hijab segiempat berwarna hijau tosca.

Hana tersenyum hambar. Mengingat apa yang telah terjadi sangat pahit melebihi empedu.

"Tapi Hana belum mampu melupakan mas Arman!" Isaknya terus terang. 

"Arman, tidak akan kembali ke dunia, itu hal yang sangat mustahil, kamu yang tabah masih ada waktu agar acara pernikahanmu bisa dijalankan Minggu ini," ujarnya sambil membenahi posisi duduk di sofa ruang tamu.

"Sebelum berita kematian Arman menyebar, Ibu hanya kasihan sama tamu undangan yang sudah siap-siap akan datang kesini memberikan ucapan selamat, tidak hanya kasihan pada tamu undangan saja, tapi ibu juga kesihan terhadapmu dan sangat peduli, satu hal yang ibu takutkan, kamu akan dipermalukan sama orang-orang jika acara pernikahanmu akan dibatalkan!" sambung Bu Safa sambil melihat kearah gadis yang berada di sampingnya.

*****

"Duh Sumi bentar lagi punya mantu tampan," ujar Fitri sambil senyum-senyum sendiri memilah sayur-mayur. 

'Astagfirulllah haladzim, aku lupa bahwa Arman sudah pergi jauh dan tidak akan kembali, meninggalkan putriku,' gumam Sumi dalam hati.

Gurauan tetangganya membuat sakit hati, seorang Ibu pasti akan ikut sedih saat musibah menimpa anaknya.

"Eh, Bu Sumi, ditanya malah diem!" lanjut Fitri si tetangga rempong itu berujar dengan kecut.

"Iya, Bu Fitri maaf, saya duluan ya!" Sumi langsung membayar sayur kangkung, daging mentah, serta bumbu dapur lainnya.

Pesanannya kini dibungkus kantong keresek hitam.

"Bentar lagi mau hajatan ya jadi, apa-apa suka  buru-buru," celoteh Fitri pada Ibu-ibu yang sibuk memilah-milah sayuran.

"Iya pasti Sumi extra sibuk tuh!" timpal Ibu-ibu pembeli sayur lainnya.

Sumi mempercepat langkah kakinya agar tidak mendengar gosip-gosip tetangga, seharusnya gosip tetangganya adalah berita bahagia, tapi itu adalah berita luka buat sang putri bernama Hana.

"Hana ... Ibu pulang!" teriak Sumi yang masih terburu-buru ingin segera cepat masuk kedalam rumah.

"Bapak, lihat Hana?" tanya Sumi saat melihat suaminya sedang melamun di teras depan rumah, dengan menopang  dagu dengan satu tangan, pandangannya kosong kearah jalan setapak, pikirannya sama hanya tentang Hana.

"Bapak ditanya melamun terus, mari masuk kerumah!" ajak Sumi.

Laki-laki itu tersenyum terlihat keriput dari wajahnya usianya kian hari kian senja, tapi pikirannya malah tertekan saat melihat kondisi putrinya yang mengkhawatirkan, sebagai seorang ayah Hadi harus mampu menjadi pemimpin ditengah-tengah takdir putrinya.

"Iya, duluan aja, Bapak ingin mencari angin luar dulu!" ucapnya pelan.

Sumi mengangguk cepat dan berlenggang, dengan kantong plastik hitam yang berisi sayuran ditangan.

*****

"Hana, harus kuat, aku pasti bisa!" Hana terus menekan-nekan dadanya agar hatinya kuat.

Tapi kembali rasa sakit itu tumbuh dalam diam. Air matanya kini turun kembali membasahi pipi mulusnya. 

Sumi terdiam di ambang pintu kamar Hana, saat melihat putrinya sangat terpukul dengan keadaan. Niat untuk berbicarapun kini Sumi urungkan kembali.

"Malang sekali nasib putriku ya Allah, berikan yang terbaik untuknya dan atas kehendakmu." 

"Ibu?" Hana lantas mengahampiri Sumi wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Mata Hana terlihat sedikit membengkak akibat terus-menerus menangis tiap harinya, wajahnya sudah sedikit pucat tidak ada gairah yang terukir disana.

Sumi menghela napas lembut, membawa kembali putrinya kedalam kamar bernuansa cat biru muda. Keduanya duduk dibibir ranjang besi yang kuat.

"Hana, apa benar tadi bu Safa kesini?" tanyanya memulai percakapan.

"Iya Bu, tadi bu Safa kesini, menyampaikan kebijakan, agar aku mampu mengikhlaskan mas Arman, dan segera menikah di hari yang sudah ditentukan kemarin, maksudnya hari dimana aku dan Mas Arman akan menikah," jelas Hana menundukkan kepala.

"Ibu juga satu pendapat dengan Bu Safa!" ujar Sumi antusias dengan pendapat mantan Besannya itu.

Membuat Hana membolakan matanya. Tenggorokannya terasa tercekat saat satu persatu kalimat dari mulut Sumi menanam sakit lagi.

"Kenapa? Ibu hanya ingin kamu cepat melupakan almarhum, jujur Ibu sangat sedih melihat kamu terus-menerus menangis tiap malam bahkan sampai larut kepagi lagi!" Sumi berkata agar putri semata wayangnya mengerti atas semuanya.

"Tapi, siapa yang akan menikah dengan Hana?" 

"Tunggu ... saja, nanti Allah akan memberikan jawaban yang tepat, kamu jangan ragu atas kehendaknya." Sumi saling bertatap muka dengan Hana. Ada rasa haru sedih serta ingin cepat membahagiakan putrinya agar segera melupakan Arman.

Hana narik napasnya beberapa kali hingga terdengar hembusan lembutnya.

"Tapi Hana tidak yakin Bu, apa ada orang yang bersedia menikahi Hana dengan rasa cinta dalam keadaan mendesak ini, kalo pun ada apa aku akan mencintai orang tersebut?" keluhnya dengan mata yang mulai berembun kembali.

"Apa kamu tidak yakin dengan ketentuan Allah?  Apa kamu ragu? Kamu coba salat tahajjud meminta arah pada sang pencipta," ucap Sumi lalu kembali terdiam dengan seribu bahasa.

Sejenak Hana ikut terdiam, menyelami pikiran masing-masing.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status