Share

02. Berakhir?

Tasya buru-buru keluar dari ruangan Radhika, dia menangis karena marah dan sakit hati. Dia sempat berpapasan dengan Yoga yang menatap heran dan hendak bertanya padanya. Ada beberapa karyawan yang melihatnya dengan ekspresi ingin tahu. Namun Tasya mengabaikannya, dia hanya ingin segera keluar dari sini.

Dia sangat marah karena Radhika menghinanya seperti itu. Tasya benar-benar tidak membutuhkan apa-apa dari Radhika, dia justru ingin membantunya, tapi Radhika malah berkata seperti itu. Sangat tidak tahu diri.

Keluarganya memang sederhana dan tidak sekaya Radhika, tapi Radhika tidak pantas berkata seperti itu. Terlebih lagi ayahnya sudah menolongnya dulu. Walaupun Om Prawira sudah membalasnya dengan membantu perekonomian keluarganya. Tetap saja Radhika tidak berhak menghinanya seperti itu.

Detik ini dia sudah memutuskan, dia tidak akan berurusan lagi dengan orang yang bernama Radhika. Persetan dengan janjinya pada ayahnya dan Om Budi. Radhika benar-benar sudah keterlaluan.

Tasya menghapus air mata dengan punggung tangannya. Cukup orang-orang di perusahaan milik Radhika saja yang melihatnya menangis. Ini adalah jam pulang kantor, jalanan akan ramai. Dia masih punya harga diri.

Kemudian Tasya menghubungi Raka, mengirimnya sebuah pesan untuk menjemputnya. Dia butuh teman untuk membantunya meluapkan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Tasya menunggu di sebuah halte kosong tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, dia cukup lelah karena terlalu emosi. Sehingga sekarang kakinya terasa lemas.

Tasya menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan-lahan. Mencoba meredam emosinya. Tasya benar-benar akan mengakhirinya dan Radhika jelas akan sangat senang jika itu terjadi. Namun, sekarang dia harus berpikir bagaimana cara menjelaskan situasi ini pada Om Budi dan ayahnya.

Dia hanya berharap tidak terlalu mengecewakan mereka, dan dia juga berharap Om Budi dan ayahnya akan menghormati keputusannya. Tapi dia tidak akan mengatakannya sekarang. Dia butuh sedikit waktu lagi untuk berpikir dan menimang-nimang cara yang tepat untuk mengatakannya.

Kurang lebih lima belas menit kemudian, Raka datang dengan menggunakan motor. Penampilannya sangat santai hari ini, hanya mengenakan hoodie berwarna putih, celana jeans hitam dan sneakers putih.

"Neng, pesen ojol kan?” canda Raka.

Tasya tertawa lalu berdiri dan menghampiri Raka. “Garing, Ka.” Tasya memukul bahu Raka.

“Alah dusta. Itu, lo ketawa.” Raka memberikan helm pada Tasya.

Tasya tidak menanggapi lagi perkataan Raka, dia hanya mengambil helm yang diberikan Raka lalu memakainya. Setelah itu dia duduk di belakang Raka. Sudah lama mereka tidak naik motor bersama. Kalau diingat-ingat mungkin ada sekitar setahun yang lalu.

"Kirain motor ini di bawa Ari," kata Tasya. Sudah lama juga dia tidak pernah melihat Raka memakai motornya ini, dia lebih sering melihatnya membawa mobil. Dan dia pikir motor ini sudah dibawa Ari ke tempat kostnya.

"Si Ari, udah gue suruh bawa mobil." Raka menyalakan mesin motornya dan menjalankannya dengan kecepatan sedang.

Tasya hanya mengangguk. Omong-omong dia selalu tidak mengerti dengan pemikiran kakak beradik ini. Raka dan Ari berada di kota yang sama, tetapi mereka tinggal di tempat yang berbeda. Jarak tempat yang disewa mereka juga tidak terlalu jauh. Dulu dia pernah bertanya pada Raka, dia bilang Ari ingin hidup mandiri. Namun Tasya tidak bisa menerimanya, itu kan boros namanya.  

"Sekarang kita ke mana?" tanya Raka. Sesekali dia melirik ke arah spion untuk melihat Tasya.

"Terserah, Ka. Pokoknya gue pengin ngilangin stress nih." Tasya benar-benar butuh hiburan sekarang. Dia ingin menghapus Radhika dari ingatannya. Menghapusnya hingga tidak tersisa secuil pun di otaknya.

"Mau makan enggak?”

“Enggak selera. Gue lebih pengin makan si Wira Sableng.”

Raka tertawa. “Wira Sableng? Siapa lagi tuh?”

“Siapa lagi kalau bukan si kampret Radhika Putra Prawira Sableng.” Tasya menekan kata ‘Wira Sableng’.

“Jangan suka ngubah-ngubah nama orang, enggak baik. Bayangin kalau bokapnya dia denger, bisa didepak ke gurun Sahara, lo.” Walau Raka menasihati Tasya, tetapi dia tidak bisa menghentikan tawanya.

 “Sekadar informasi, bokap sama nyokapnya udah meninggal.” Tasya memperbaiki posisi duduknya, tiba-tiba dia jadi merasa tidak enak hati. Karena dia juga pernah kehilangan orang yang penting dalam hidupnya. “Lo tau kan, Om Prawira?”

“Jangan bilang Ra … siapa tadi namanya?”

“Radhika,” jawab Tasya malas. Setelah menyebut nama itu, perasaan Tasya menjadi kesal lagi.

“Ah, iya … itulah gue lupa ... jadi, si Radhika itu anaknya Om Prawira?”

Tasya hanya bergumam sebagai jawaban. “Udah jangan dibahas, telinga gue bisa berdarah kalau denger nama dia terus.”

“Lebay banget sih.”

“Serius.”

“Jadi kita mau ke mana?”

“Terserah, yang penting lo yang traktir.”

"Iya, Ca. Apapun yang bikin lo seneng, gue lakuin deh."

Sebetulnya tadi Tasya hanya bercanda. Namun, Raka malah menganggapnya serius. Tasya senang. Jadi dia tiba-tiba memeluk Raka dari belakang dengan erat. Hal itu membuat Raka kaget sehingga nyaris kehilangan keseimbangan. Beruntung Raka dengan cepat bisa mengontrol laju motornya lagi.

"Astagfirullah! Anindira Tasya Kirania. Gue belum mau mati!" Raka berteriak.

Terdengar suara klakson dari arah belakang. Raka menjalankan motornya sedikit ke kiri, membiarkan orang di belakangnya menyusul. Raka mengangguk bermaksud meminta maaf pada pengemudi yang kini menatapnya garang.

“Parah lo!” Dia tidak habis pikir, dengan apa yang ada jalan pikiran Tasya. Bisa-bisanya dia memeluknya tiba-tiba seperti itu. Dia senang sih, tapi kalau sampai mereka masuk rumah sakit beda lagi ceritanya. 

Sedangkan Tasya hanya tertawa. Raka benar-benar sangat bisa diandalkan, dan dia sangat bersyukur memiliki teman sepertinya.

-***-

Radhika duduk dengan kesal di ranjang kamar hotel yang Yoga pesankan. Orang yang ditunggunya sudah terlambat dua belas menit. Dan dia tidak suka dengan orang yang datang terlambat. Karena itu membuang waktunya.

Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan seorang wanita berambut panjang dan bermake up cukup tebal. Wanita itu mengenakan kemeja putih yang pas sekali, sehingga membuat lekuk tubuhnya terlihat. Dia juga mengenakan rok hitam yang sangat pendek.

Wanita itu tersenyum kearah Radhika. "Maaf sayang, tadi macet," ucapnya. Kemudian dia menutup pintu.

"Langsung aja." Radhika berdiri.

"Ih, kamu enggak sabaran ya." Wanita itu terkekeh, lalu dia berjalan mendekati Radhika dan tersenyum menggoda. "Buka dulu maskernya." Wanita itu meraih masker yang dipakai Radhika.

Namun, belum sempat wanita itu meraih masker yang Radhika kenakan, Radhika lebih dulu menyingkirkan tangan wanita tadi setelah tangan wanita itu menyentuh telinganya. Perasaan itu muncul lagi. Dan dia harus segera mengusir wanita ini.

"Pergi!" usir Radhika.

"Apa?" Wanita tadi terkejut dengan tindakan Radhika yang tiba-tiba. Wanita itu mencoba meraih tangan Radhika, namun Radhika menghidar dengan cepat.

"Pekerjaan kamu udah selesai. Kamu juga sudah dapat uangnya, kan? Jadi sekarang enyahlah!" Ingatan yang tidak ingin ia ingat bermunculan, tangannya bergetar.

"Tapi─"

"Enyahlah, jalang!" Radhika membentak wanita di hadapannya.

Wanita itu merasa takut dan tubuhnya sedikit bergetar, lalu dia segera pergi dan membanting pintu cukup keras, sehingga membuat suara dentuman.

Setelah Radhika memastikan wanita tadi benar-benar pergi, dia segera berlari ke kamar mandi. Dia menyalakan shower dan membiarkan air dingin itu membasahi tubuhnya. Kejadian tujuh tahun lalu terus berputar-putar di kepalanya. Dia merasa jijik pada dirinya sendiri.

“Sialan … Sialan!” umpatnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status