Share

09. Cerita Malam

"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya.

"Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.

Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai.

"Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah maha karya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya.

"Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi.

"Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."

Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang membuatnya memasak dengan cinta.

"Em ... mantap banget rasanya, Yah." Tasya mengambil potongan daging lain lalu memakannya. "Aca harap bisa makan masakan Ayah, selama-lamanya." Tasya tersenyum kemudian memakan lagi makanannya.

"Enggak boleh! Enggak bisa gitu. Kamu kan harus nikah! Masa iya kamu makan masakan buatan Ayah terus. Kamu harus mulai belajar masak, biar suami kamu betah dan enggak jajan sembarangan." Ayah Tasya melotot, dia tak habis pikir bagaimana mungkin putrinya bisa berbicara seperti itu.

Tasya hanya nyengir. Dia menggaruk kepalanya walau tidak gatal, jika ayahnya membahas masalah pernikahan, maka itu akan menjadi percakapan yang panjang sekali, sepanjang sungai Nil. Hal ini selalu Tasya hindari. Namun, mulut cerdasnya malah memancing arah pembicaraan menuju ke sana.

"Umur kamu udah dua puluh tujuh. Kamu udah harus mikirin masa depan. Ayah udah tua, masa kamu tega." Ayah Tasya sudah berumur lima puluh empat tahun, dan putri satu-satunya ini belum ada tanda-tanda ingin memberinya cucu, bahkan dia belum pernah berpacaran. Dan itu membuatnya sangat khawatir.

"Tapi, Ayah kan tau. Aku ini enggak lagi deket sama cowok...." Selain Raka dia tidak memiliki teman laki-laki lagi.

"Itu si Raka, boleh juga." Perkataan ayahnya membuat Tasya tersedak. Ia segera minum dan menatap ayahnya dengan tatapan tidak percaya.

"Ya ampun, Ayah. Aku sama Raka temenan doang." Bagaimana mungkin mereka menikah. Memang mereka mengenal sudah cukup lama, namun perasaan mereka bukan ke arah sana. Dia yakin Raka juga memikirkan hal yang sama.

"Banyak orang yang menikah karena awalnya mereka temenan. Itu bagus kan, soalnya udah mengenal dan saling mengerti satu-sama lain." Ayahnya tahu Raka sangat sering membantu Tasya saat dia sedang mengalami kesulitan. Raka juga anak yang baik dan sopan.

"Saling mengerti bukan berati cocok, Ayah. Ayah, enggak tau aja kita sering ribut gara-gara masalah kecil." Tasya adalah orang yang keras kepala, dan terkadang Raka tidak tahan menghadapinya dan hal itu akan menjadi akar pertengkaran mereka.

"Iya, iya." Ayah Tasya menghela napas. Memiliki putri yang keras kepala bukanlah hal yang mudah. Tapi bagaimanapun dia sangat menyayangi putrinya. Karena dia adalah hartanya yang paling berharga.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi antara mereka. Mereka fokus untuk menyelesaikan makan malamnya.

"Terus, Dhika gimana?" Ayah Tasya selesai makan. Dia menatap Tasya serius.

Tasya terdiam beberapa detik. Kenapa juga ayahnya membahas orang itu. “Kan beberapa hari lalu baru ketemu. Kayak yang ayah liat, lumayan lah, bisa dibilang lancar.”

Tasya tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ini semua gara-gara Radhika berkunjung ke kedai, lalu mengatakan omong kosong. Ayahnya sudah terlanjur mengira hubungan mereka baik-baik saja, karena Radhika memberinya pekerjaan.

"Bukan gitu, gimana kalau kamu nikah sama Dhika?"

Tasya mengerjapkan matanya, lalu menatap ayahnya dengan kening berkerut. "Gimana, Yah?" tanya Tasya. Sepertinya ada masalah dengan telinganya.

"Gimana kalau kamu nikah sama Dhika?" ulang sang ayah.

Tasya melotot, ternyata tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Menikah dengan si Wira Sableng? Kepala ayahnya pasti baru saja terbentur sesuatu, sehingga menjadi error seperti itu.

Bagaimana mungkin ayahnya bisa memberinya ide yang lebih gila dari sebelumnya? Ayahnya benar-benar terlampau kreatif untuk membuatnya terkena serangan jantung. Menikah dengannya sama saja dengan menggali kuburannya sendiri. Tasya tidak ingin membayangkannya.

"Ayah pasti lagi bercanda." Tasya masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa? Dhika kan sudah mapan, walau umurnya masih muda."

"Mapan sih mapan, Yah. Tapi mukanya juga lempeng, kaya papan."

Ayah Tasya tertawa. "Tapi dia ganteng kan? Ayah tau kok, kamu suka sama cowok ganteng."

"Ganteng sih ganteng ... tapi kalau kelakuannya lebih nyebelin dari Patrick temennya si Spongebob itu mah mending mundur perlahan, Yah."

“Bukannya hubungan kalian udah membaik? Waktu Dhika mampir ke kedai, kalian keliatannya akrab.”

Tasya menjilat bibirnya, lalu minum. “Iya udah lumayan. Tapi kalau sampai nikah mah, enggak mau, ah!” Sekarang saja Radhika sudah membuatnya pusing setengah mati. Dia tidak ingin menjadi pasien rumah sakit jiwa.

"Okelah. Ayah enggak maksa." Ayah Tasya tidak berniat memaksa Tasya untuk memilih salah satu diantara mereka berdua. Dia hanya memberinya saran. Keputusan tetap ada di putrinya dan dia akan menghormatinya.

"Kasih Aca waktu, Yah. Nyari jodoh itu kudu serius, Yah," ucap Tasya. Pernikahan bukanlah hal yang sederhana, dia perlu waktu yang cukup untuk mencari pendamping yang akan menemaninya seumur hidup.

"Iya, Ayah tau. Ayah udah lebih berpengalaman dari kamu." Sang ayah tersenyum dan sebelah tangannya mengelus puncak kepala putrinya. "Ayah bakal kasih waktu sebanyak yang kamu mau."

"Makasih, Ayah. Tenang aja, Aca janji enggak akan lama. " Tasya tersenyum dia benar-benar bersyukur memiliki ayah seperti ayahnya. Dia terus berdoa agar ayahnya selalu sehat dan bahagia, juga diberikan umur yang cukup untuk menghabiskan harinya di dunia ini.

“Oh iya, kapan kamu mulai kerja di tempatnya Dhika?”

Tasya berhenti mengunyah. Dia bingung harus menjawab apa. “Mungkin senin,” jawab Tasya sekadarnya.

Radhika benar-benar membuatnya frustrasi. Jika begini mau tidak mau dia harus bekerja di perusahaannya. Dia juga belum mendapat panggilan kerja. Jadi dia sudah tidak memiliki pilihan.

“Ayah senang kalau akhirnya Dhika enggak nolak lagi.”

Tasya hanya tersenyum kaku. Hubungan mereka sekarang terlalu rumit untuk digambarkan. Dia juga belum tahu tujuan Radhika bersikap seperti sekarang. Tasya bingung dan tidak memiliki bayangan apa-apa untuk ke depannya.

"Ayah kasih bocoran soal Radhika, nih. Mau denger, enggak?"

"Bocoran apa, Yah?" Tasya jadi penasaran. Karena dia memang belum banyak mendengar cerita tentang Radhika. Hanya garis besarnya saja. Semoga dengan mendengar cerita dari ayahnya, dia mendapat pencerahan.

"Dulu, Prawira sering pindah-pindah rumah. Jadi Dhika sulit punya teman. Waktu kecil dia juga selalu sendiri, karena ibunya meninggal waktu dia tiga tahun. Sedangkan Prawira sibuk sama pekerjaannya, jadi dia jarang ketemu sama Dhika.”

"Jadi tante Kirana ibu tirinya?"

"Iya, Prawira nikah lagi saat Dhika umurnya, kira-kira lima tahun. Tapi Dhika enggak suka sama ibu tirinya, padahal Kirana baik."

Tasya terdiam. Dia lebih memilih untuk tidak berkomentar karena dia tidak tau harus berkata apa.

"Dari situ, Dhika jadi beda. Dia berubah kaya Power Ranger." Sang ayah tertawa saat mendapat pelototan dari putrinya.

“Lagi serius juga.”

Ayah Tasya menghentikan tawanya. “Beneran, dia jadi berubah.”

Tasya mulai mengerti, kehilangan sosok ibu memang sulit. Dia juga merasakannya, walau tidak di usia yang sangat muda seperti Radhika.

"Kata Budi, perubahannya itu karena dia masih belum baikan sama orang tuanya. Mungkin dia menyesal. Waktu orang tuanya meninggal, dia kan masih di Inggris.”

Sang ayah menggenggam tangan Tasya.

"Ayah cerita bukan gara-gara pengen bikin Dhika keliatan lemah. Dia itu kuat, karena bisa bertahan sampai sekarang. Tapi yang bikin khawatir, dia nyimpen masalahnya sendiri. Bahkan dia juga enggak mau cerita sama Budi dan keluarganya."

"Terus, emangnya dia mau cerita sama aku, Yah? Om Budi kan, orang terdekatnya, sedangkan aku cuman orang luar." Tasya pikir ini akan mustahil. Jika pamannya saja tidak bisa, apalagi dia yang benar-benar tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Radhika.

"Jangan bilang gitu, kamu kan pernah jagain dia waktu kecil. Kalian waktu kecil akrab. Terus kan kamu ini sering berinteraksi sama anak kecil, jadi kamu pasti punya kesabaran dan pengertian tingkat tinggi. Ayah yakin, kamu pasti bisa membantu Dhika."

Tasya meringis dalam hati. Mungkin dia bisa sabar jika menghadapi anak kecil. Tapi Radhika, jelas bukan anak kecil lagi, jadi dia belum bisa sabar menghadapinya walau telah mengetahui cerita masa lalunya. Lalu untuk masa lalu mereka, sepertinya sangat tidak terlalu berguna. Buktinya, sikap Radhika padanya seperti itu.

"Iya, Yah. Aca coba usaha yang terbaik." Tapi kalimat itulah yang keluar dari mulut Tasya. Bagaimanapun juga dia sudah sejauh ini. Sangat terlambat untuk mundur.

"Aca emang baik hati, tidak sombong tapi makannya banyak." Ayah Tasya mengelus-elus puncak kepala putrinya sambil tertawa. Ada perasaan lega di hatinya, saat mengetahui putrinya masih bersedia melakukan keinginannya.

"Iya dong, ini menurun dari ayahnya." Tasya tertawa.

Sekarang dia akan menerima tawaran Radhika. Dia berharap semoga keputusannya benar dan dia tidak mengecewakan ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status