Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.
“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”
Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.
“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”
Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekarang Tasya hanya bisa pasrah. Nasi sudah menjadi bubur. Jadi, ya sudahlah.
“Kalau Tasya enggak keberatan, Om juga enggak masalah. Tapi Tasya kan masih kerja di playgroup, ada baiknya selesaikan dulu masalah di sana.” Ayah Tasya tersenyum, sedangkan Tasya ingin sekali membakar orang di sampingnya.
“Tenang aja Om. Saya yang akan urus masalah itu.” Radhika tersenyum. Lalu dia melirik jam di tangannya. “Terima kasih untuk makan malamnya. Saya pamit, Om.”
“Eh, udah mau pulang. Om siapkan bekal untuk di rumah.”
“Enggak perlu Om, terima kasih banyak.” Radhika mengambil dompet di saku celananya. “Om, ini terima kasih.” Radhika memberikan tiga lembar uang seratus ribu.
“Eh, enggak perlu. Kaya jangan sungkan-sungkan.”
"Enggak apa-apa, Om. Hitung-hitung untuk masalah undangan makan malam waktu itu. Saya minta maaf, lain kali saya akan datang."
"Tapi ini kebanyakan."
"Enggak kok, Om. Anggap aja itu hadiah karena makanan tadi enak."
"Makasih kalau gitu." Ayah Tasya tersenyum.
Radhika mengangguk dan tersenyum. "Saya pamit.”
Tasya yang sedari tadi diam kini mulai bereaksi. “Yah, Aca anter Dhika ke depan ya.”
"Oke, Ayah mau ke dapur lagi."
Tasya buru-buru menarik lengan Radhika dan membawanya keluar kedai ayahnya. Dia membawa Radhika ke gang yang ada di samping kedai ayahnya. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya, Tasya menendang tulang kering Radhika. Hal itu sukses saja membuat Radhika mengerang dan memegang kaki kanannya.
“Kamu gila, Anindira!”
“Lo yang sableng!” Tasya melipat kedua tangannya di depan dada. “Dari tadi gue udah nahan-nahan pengen maki-maki lo.”
Radhika menegakkan tubuhnya dia mengabaikan Tasya yang menatapnya sengit. Radhika mengangkat kaki kanan dan menepuk-nepuk bagian yang sebelumnya ditendang oleh Tasya.
“Gue ngomong sama lo, sableng!”
Radhika memegang bahu Tasya dan mendekatkan wajahnya ke telinga Tasya. Tasya tidak sempat menghindar, karena Radhika sangat tiba-tiba. “Ingat ya, nantinya saya adalah atasan kamu. Kamu enggak bisa manggil saya seenaknya. Atau kamu akan dapat konekuensinya.”
Radhika tersenyum lalu berjalan meninggalkan Tasya yang otaknya kini masih loading.
“Si gelo!” teriak Tasya frustrasi.
-***-
Sudah empat hari Tasya menjadi seorang pengangguran. Dan sudah empat hari Tasya gencar mengirim lamaran online ke beberapa perusahaan yang ia temui dalam website yang menyediakan informasi lowongan kerja. Dan belum ada satu pun dari mereka yang meneleponnya atau membalas e-mailnya.
Tasya menghela napas, dia sangat lelah. Memang sih ini baru empat hari, beberapa perusahaan mungkin saja tidak langsung memanggilnya untuk melakukan interview setelah menerima lamarannya. Namun ia sangat membutuhkan pekerjaan dalam waktu dekat. Tasya benar-benar tidak mau bekerja di kantornya Radhika, bisa-bisa dia ikutan Sableng, jika terus-menerus berada di dekatnya.
Berbicara tentang si Sableng, sudah dua hari ini Tasya tidak ke kedai gara-gara orang itu. Tasya tidak tahan dengan tingkah Rere yang selalu bertanya mengenai Radhika. Rere adalah pekerja paruh waktu di kedai ayahnya. Dia bekerja sambil kuliah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia merantau dari kampungnya untuk menimba ilmu. Ayah dan ibunya yang hanya seorang petani, dan Rere tidak ingin menjadi beban untuk mereka, karena itulah dia bekerja di kedai ayahnya.
Sebenarnya Tasya sangat mengagumi anak itu. Dia sangat mandiri dan ceria. Dia juga seorang yang pekerja keras dan ulet. Namun beberapa hari belakangan dia menjadi sangat menyebalkan. Dia bilang dia itu adalah salah satu fans Radhika di kampusnya. Dia bilang dia sangat mengaguminya, dan dia memainkan semua game ponsel yang dirilis oleh perusahaan milik Radhika.
Kemarin dia bilang dia sempat mengobrol sebentar dengannya dan memotret diam-diam saat Radhika makan malam. Dia juga bilang sebenarnya ingin berfoto bersama Radhika dan memamerkannya pada teman-temannya. Tapi kemarin Radhika pergi begitu saja dan itu membuat kecewa.
Karena Rere berpikir hubungan Tasya dan Radhika sangat baik, maka dia terus berceloteh dan menanyainya hal-hal yang menyangkut Radhika. Dan itu membuat kepalanya ingin meledak. Bahkan dia meminta Tasya untuk mempertemukan mereka.
Tasya tidak mengerti bagaimana Rere bisa sesuka itu dengan Radhika. Walau dia akui kalau Radhika itu tampan, bahkan saat dia berkunjung ke kedainya beberapa waktu lalu, para pengunjung banyak yang menatap ke arahnya, terutama wanita. Tapi tetap saja menjadikannya idola dengan sikapnya yang seperti itu tentu saja Tasya tidak sanggup membayangkannya. Mending dia mengidolakan Sule saja, karena dia bisa menghibur. Sedangkan Radhika, hanya bisa membuatnya emosi jiwa dan raga.
Tiba-tiba dia merasa ponselnya bergetar. Dia sangat berharap jika itu adalah panggilan untuk interview. Namun saat dia melihat nama penelepon dia harus menelan kekecewaan. Karena yang meneleponnya adalah Senja.
"Halo, ada apa?" tanya Tasya. Dia berjalan menuju sofa dan duduk bersandar disana.
"Kamu lagi kerja?"
"Enggak."
"Oh, lagi cuti ya?"
"Enggak juga."
"Terus?"
Tasya menghela napas. "Aku udah dipecat."
"Apa?" Tasya menjauhkan ponselnya dari telinganya. Respon Senja selalu sangat berlebihan. Dia berteriak seolah-olah ingin membuatnya tuli.
"Jangan teriak-teriak! Kamu mau bikin aku budek ya?" Tasya hanya mendengar kekehan dari teleponnya.
"Kirim alamat kamu sekarang. Aku mau main." Setelah itu Senja menutup teleponnya.
Tasya hanya bisa menghela napas. Dia segera mengirimkan lokasinya ke Senja melalui aplikasi chat. Jika dipikir-pikir Senja mirip dengan Radhika, karena mereka berdua sama-sama suka seenaknya.
Kurang lebih satu jam kemudian Senja sampai di rumahnya. Dia bilang lumayan sulit menemukan rumahnya, dan dia hampir tersesat. Setelah membantu Senja memarkirkan motornya, Tasya membawa Senja masuk ke rumahnya.
"Inilah rumah aku, maaf kalau kamu ngerasa kurang nyaman." Mereka kini sampai di ruang tamu. Tasya sedikit membereskannya terlebih dahulu sebelum Senja sampai.
"Ih apaan sih?" Senja duduk bersanda di sofa. "Rumah kamu nyaman, kapan-kapan aku nginap ya, boleh?" tanyanya.
Tasya tersenyum. "Boleh."
"Oke, nanti aku akan minta izin sama ayah dan ibu nanti."
Tasya mengangguk dan tersenyum. "Kamu mau minum apa?"
"Apa aja, enggak masalah."
Tasya mengangguk dan berjalan menuju dapur. Dia membuatkan jus jeruk. Tasya lalu kembali ke ruang tamu membawa dua jus jeruk dan beberapa camilan.
"Maaf ya, aku cuman punya ini."
"Enggak apa-apa, aku ngerepotin. Maaf ya, dan makasih." Senja tersenyum. "Oh iya kenapa kamu bisa dipecat?"
Tasya terdiam sebentar. Dia bingung apakah dia harus menceritakan yang sebenarnya atau harus berbohong. Pada akhirnya Tasya memilih opsi yang pertama. Dia menceritakan semuanya pada Senja dan berusaha untuk tidak terlalu menjelekan Radhika. Karena bagaimana pun Radhika adalah orang yang sangat Senja hormati.
"Ish... dasar si Abang bego. Kenapa sih dia itu. Apa dia pikir kerjaan itu main-main."
"Aku juga enggak ngerti. Sebelumnya dia bilang enggak mau berhubungan lagi sama aku. Tapi tiba-tiba dia kaya gitu. Aku bener-bener enggak bisa baca jalan pikirannya."
Senja berpikir sejenak, dia ingin mencari tau alasan Radhika melakukan itu. Dia seperti pernah membaca cerita seperti ini di novel. Di cerita itu, pemeran utama pria akan merasa hampa saat pemeran utama wanita meninggalkannya. Oleh sebab itu dia mencari cara agar pemeran wanita itu kembali dekat dengannya. Dengan kata lain, Radhika baru sadar dia jatuh hati pada Tasya saat dia ditinggalkan.
Senja tersenyum. Jika dugaannya benar, makan Senja harus membantu Radhika untuk mendapatkan hati Tasya apapun yang terjadi.
"Tapi menurut aku lebih baik kamu kerja di kantornya Bang Dhika deh. Kamu sampai sekarang belum dapet kerjaan, kan? Ayah kamu juga percaya sama omongan Bang Dhika, mana dia setuju lagi."
Tasya menghela napas. "Aku masih bingung. Kalau boleh milih, aku enggak mau kerja di tempatnya Dhika"
"Kenapa? Coba kamu pikirin baik-baik." Senja menggenggam tangan Tasya. Dia harus membujuk Tasya. "Dengerin aku. Nanti aku minta ayah buat nyelidikin.”
“Eh jangan.” Tasya tidak ingin orang lain terlibat dalam masalahnya.
“Kamu coba dulu aja. Kalau dia macam-macam, bilang aja, nanti aku pukul. Tenang aja, Bang Dhika enggak akan berani bales kalau aku pukul.”
"Nanti aku pikirin dulu. Makasih ya."
Senja tersenyum. Dia berharap Tasya mau mendengarkan perkataannya. Mulai hari ini dia akan menjadi peri cinta untuk abang kesayangannya.
"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya."Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai."Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah mahakarya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya."Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi."Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang
Sekarang sudah hari sabtu. Setelah makan malam dengan ayahnya semalam, Tasya langsung menghubungi Radhika, memintanya untuk bertemu. Setelah mendapat balasan dari Radhika, Tasyamalah menjadi tidak isa tidur. Dia ragu dengan keputusannya.Tasya menghela napas. Diakini menunggu Radhikadi sebuah kafedi pusat kota. Radhikabilang akan datang sekitar pukul sebelas, itu berarti seharusnya tidak lama lagi dia akan sampai. Benar saja, kini Tasya bisa melihat Radhika sedang berjalan ke arahnya.Tasyaheran, setiap kali dia meihat Radhika, dia selalu mengenakan pakaian formal bahkan di hari libur seperti ini. Dia berpikir apakah jadwal Radhikasangat padat sehingga membuatnya harus bertemu klien di hari libur juga."Jadi?""Eh itu.. enggak mau pesen dulu?" Tasyamenggeser menu kearah Radhika.Radhika terlalu to the point, Tasya kan belum siap."Enggak.""Oh, oke." Tasyam
“Saya bisa memberi tawaran yang menarik.”Tasya menyipitkan matanya. “Apa?”“Gaji dua kali lipat dari tempat kerja kamu sebelumnya.”“Dua kali lipat?” tanya Tasya terkejut. “Tapi bukannya kamu merasa aku enggak kompeten? Kamu bilang tadi enggak mau ngambil risiko.”“Memang, itulah sebabnya saya ngasih kamu tugas khusus, dan itu sangat gampang.”“Ini kamu lagi ngehina aku atau apa sih?” tanya Tasya kesal.“Dengar ya, Anindira. Saya mempekerjakan orang sesuai dengan kemampuannya. Kalau kamu bisa membuktikan kemampuan kamu yang lain, saya akan kasih tugas yang sesuai dengan kemampuan kamu itu.”Tasya terdiam. Benar juga sih yang dikatakan Radhika. Walau dia tidak tahu tugas macam apa yang akan diberikan Radhika, tapi dia setuju dengan pemikirannya. Dengan pengalamannya sekarang yang masih nol, entah kontribusi apa yang bisa ia berikan untuk pe
Tasyamenyentuh kening Radhika. Demamnya sudah mulai reda. Tadi dia sangat panik saat menemukan Radhikaduduk bersandar di bawah showeryang masih menyala. Wajahnya sangat pucat, sepertinya dia terlalu lama duduk di sana. Kini Radhikasedang tidur, sudah dari satu jam yang lalu setelah Tasyamemaksanya untuk makan lalu minum obat.Hari ini Tasya benar-benar memasak. Dia membuatkan bubur untuk Radhika. Dengan berbekal resep yang ia temukan di internet. Rasanya tidak buruk, bahkan bisa dibilang enak. Radhika juga tidak protes mengenai bubur buatannya. Tasya sekarang bisa sedikit berbangga diri. Akhirnya dia bisa membuat masakan dengan baik, walau hanya bubur. Setidaknya ada kemajuan.Tasyamenyentuh rambut milik Radhika, rambutnya sudah kering. Tasyaberharap Radhikatidak sakit kepala, karena dia tadi tidur dalam kondisi rambut yang masih basah. Karena di rumah ini tidak ada pengering rambut jadi Tasyahanya membantu
Keesokan harinya ternyata tidak sesuai dengan apa yang Tasya rencanakan. Padahal dia bangun subuh, lalu tidur lagi karena merasa mengantuk. Dan berakhir bangun pukul sembilan pagi. Jadi pagi ini dia belum mandi, dia ingin cepat-cepat pulang. Tapi saat dia keluar hendak pulang dia berpapasan dengan Radhika dan dia menyuruhnya sarapan terlebih dahulu.Jadi di sinilah dia sekarang, duduk di ruang makan sambil menyantap pancakesendirian. Dia tidak tau Radhikapergi ke mana. Setelah membawanya kemari, dia langsung pergi begitu saja.Pancake ini lumayan enak, dia tidak tau apakah Radhika membuatnya sendiri atau dia membelinya. Tapi menurutnya, Radhika pasti membelinya, karena dia merasa kemampuan masak Radhika pasti lebih buruk darinya.Setelah selesai makan, dia segera mencuci piring dan gelas yang tadi dia gunakan. Dia akan segera pergi setelah membereskannya."Abang?"Suara itu membuat Tasyamenghentikan pekerjaannya.
Radhikamenghela napas. Ini masih pagi dan Senjasudah merecokinya dengan mengirimbeberapa pesan diwaktu yang bersamaan. Sebenarnya inti dari pesan itu hanya menanyakan kondisi Radhikasaat ini. Tapi Senjamemberikannya banyak pertanyaan sehingga membuat Radhikamalas untuk membalas pesan tersebut. Tapi jika tidak dibalas Senjapasti akan terus menerornya.Abangudah sehat danlagi kerjasekarang.Itulah pesan yang Radhikakirimkan pada Senja. Sebenarnya Radhikatahu kalau Senjamelakukan itu karena peduli padanya. Dan Radhikasangat bersyukur memiliki Senjadisisinya. Tapi terkadang dia merasa tidak terbiasa mendapatkan perhatian seperti itu, hal itulah yang membuatnya terkadang kesal saat seseorang terlalu memberinya perhatian.Kemarin Radhikaterkena flutapi tidak terlalu parah. Namun Senja&nbs
Kapan mereka sampai di sana?Seingatnya saat pagi tadi, dia sama sekali tidak melihatnya. Tapi yang jadi perhatian Tasyasekarang adalah mereka bekerja di ruangan yang sama. Tasyamenelan ludah, ini serius?Dia tidak tau bagaimana bisa hal ini terjadi. Yang diatahu asisten atau sekretarismemang harus selalu berada didekat atasannya.Tapi, masa sih mereka harus menggunakan ruangan yang sama.Tasyatidak yakin dia akan sanggup mengatasinya.Bisa botak kepalanya! "Kamu enggak maududuk?" Pertanyaan Radhikaterdengar seperti sebuah ejekan ditelinganya, dan Tasya tidak menyukai itu. Buru-buru saja dia duduk dan menyalakan komputer. Lalu ia mulai membaca ulang dokumen yang diberikan, karena dia tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Tadi Yogabilang hari ini dia hanya mengerjakan pekerjaan yang diberikan oleh Radhikasaja. Jadi sekarang dia harus menunggu perintah dari bosnya
Sudah limahari Tasyabekerja sebagai asisten pribadi Radhika, dan selama itudia tidak melakukan pekerjaan yang berarti. Radhikaterlihat sangat sibuk, sedangkandirinya banyak melamun karena tidak tau harus melakukan apa. Tasyajadi bingung.Sebenarnya untuk apa Radhikabersikeras membuatnya bekerja di sini, kalau pada akhirnya dirinya super duper gabut.Perkerjaan rutin yang ia lakukan hanyalah membacakan jadwal yang dimiliki Radhika, jika Radhikameminta membatalkan salah satu jadwalnya ia hanya perlu mengkonfirmasinya ke Yoga. Menerima telepon sebelum disambungkan langsung pada Radhika, dia biasanya memberitahunya jika ia sedang tidak bisa menerima telepon. Dan juga membuatkan teh tanpa gula setiap pagiuntuknya.Dan sisanya dia hanya duduk sambil menontonRadhika yang sedang bekerja.Walau dia tidak mau mengakuinya, tapi jujur saja Tasya menikmati pesona Radhika.Saat dia melong