Share

08. Enggak Tahu, Ah!

Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.

“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”

Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.

“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”

Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekarang Tasya hanya bisa pasrah. Nasi sudah menjadi bubur. Jadi, ya sudahlah.  

“Kalau Tasya enggak keberatan, Om juga enggak masalah. Tapi Tasya kan masih kerja di playgroup, ada baiknya selesaikan dulu masalah di sana.” Ayah Tasya tersenyum, sedangkan Tasya ingin sekali membakar orang di sampingnya.

“Tenang aja Om. Saya yang akan urus masalah itu.” Radhika tersenyum. Lalu dia melirik jam di tangannya. “Terima kasih untuk makan malamnya. Saya pamit, Om.”

“Eh, udah mau pulang. Om siapkan bekal untuk di rumah.”

“Enggak perlu Om, terima kasih banyak.” Radhika mengambil dompet di saku celananya. “Om, ini terima kasih.” Radhika memberikan tiga lembar uang seratus ribu.

“Eh, enggak perlu. Kaya jangan sungkan-sungkan.”

"Enggak apa-apa, Om. Hitung-hitung untuk masalah undangan makan malam waktu itu. Saya minta maaf, lain kali saya akan datang."

"Tapi ini kebanyakan."

"Enggak kok, Om. Anggap aja itu hadiah karena makanan tadi enak."

"Makasih kalau gitu." Ayah Tasya tersenyum.

Radhika mengangguk dan tersenyum. "Saya pamit.”

Tasya yang sedari tadi diam kini mulai bereaksi. “Yah, Aca anter Dhika ke depan ya.”

"Oke, Ayah mau ke dapur lagi."  

Tasya buru-buru menarik lengan Radhika dan membawanya keluar kedai ayahnya. Dia membawa Radhika ke gang yang ada di samping kedai ayahnya. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya, Tasya menendang tulang kering Radhika. Hal itu sukses saja membuat Radhika mengerang dan memegang kaki kanannya.

“Kamu gila, Anindira!”

“Lo yang sableng!” Tasya melipat kedua tangannya di depan dada. “Dari tadi gue udah nahan-nahan pengen maki-maki lo.”

Radhika menegakkan tubuhnya dia mengabaikan Tasya yang menatapnya sengit. Radhika mengangkat kaki kanan dan menepuk-nepuk bagian yang sebelumnya ditendang oleh Tasya.

“Gue ngomong sama lo, sableng!”

Radhika memegang bahu Tasya dan mendekatkan wajahnya ke telinga Tasya. Tasya tidak sempat menghindar, karena Radhika sangat tiba-tiba. “Ingat ya, nantinya saya adalah atasan kamu. Kamu enggak bisa manggil saya seenaknya. Atau kamu akan dapat konekuensinya.”

Radhika tersenyum lalu berjalan meninggalkan Tasya yang otaknya kini masih loading.

“Si gelo!” teriak Tasya frustrasi.

-***-

Sudah empat hari Tasya menjadi seorang pengangguran. Dan sudah empat hari Tasya gencar mengirim lamaran online ke beberapa perusahaan yang ia temui dalam website yang menyediakan informasi lowongan kerja. Dan belum ada satu pun dari mereka yang meneleponnya atau membalas e-mailnya.

Tasya menghela napas, dia sangat lelah. Memang sih ini baru empat hari, beberapa perusahaan mungkin saja tidak langsung memanggilnya untuk melakukan interview setelah menerima lamarannya. Namun ia sangat membutuhkan pekerjaan dalam waktu dekat. Tasya benar-benar tidak mau bekerja di kantornya Radhika, bisa-bisa dia ikutan Sableng, jika terus-menerus berada di dekatnya. 

Berbicara tentang si Sableng, sudah dua hari ini Tasya tidak ke kedai gara-gara orang itu. Tasya tidak tahan dengan tingkah Rere yang selalu bertanya mengenai Radhika. Rere adalah pekerja paruh waktu di kedai ayahnya. Dia bekerja sambil kuliah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia merantau dari kampungnya untuk menimba ilmu. Ayah dan ibunya yang hanya seorang petani, dan Rere tidak ingin menjadi beban untuk mereka, karena itulah dia bekerja di kedai ayahnya.

Sebenarnya Tasya sangat mengagumi anak itu. Dia sangat mandiri dan ceria. Dia juga seorang yang pekerja keras dan ulet. Namun beberapa hari belakangan dia menjadi sangat menyebalkan. Dia bilang dia itu adalah salah satu fans Radhika di kampusnya. Dia bilang dia sangat mengaguminya, dan dia memainkan semua game ponsel yang dirilis oleh perusahaan milik Radhika.

Kemarin dia bilang dia sempat mengobrol sebentar dengannya dan memotret diam-diam saat Radhika makan malam. Dia juga bilang sebenarnya ingin berfoto bersama Radhika dan memamerkannya pada teman-temannya. Tapi kemarin Radhika pergi begitu saja dan itu membuat kecewa.

Karena Rere berpikir hubungan Tasya dan Radhika sangat baik, maka dia terus berceloteh dan menanyainya hal-hal yang menyangkut Radhika. Dan itu membuat kepalanya ingin meledak. Bahkan dia meminta Tasya untuk mempertemukan mereka.

Tasya tidak mengerti bagaimana Rere bisa sesuka itu dengan Radhika. Walau dia akui kalau Radhika itu tampan, bahkan saat dia berkunjung ke kedainya beberapa waktu lalu, para pengunjung banyak yang menatap ke arahnya, terutama wanita. Tapi tetap saja menjadikannya idola dengan sikapnya yang seperti itu tentu saja Tasya tidak sanggup membayangkannya. Mending dia mengidolakan Sule saja, karena dia bisa menghibur. Sedangkan Radhika, hanya bisa membuatnya emosi jiwa dan raga. 

Tiba-tiba dia merasa ponselnya bergetar. Dia sangat berharap jika itu adalah panggilan untuk interview. Namun saat dia melihat nama penelepon dia harus menelan kekecewaan. Karena yang meneleponnya adalah Senja.

"Halo, ada apa?" tanya Tasya. Dia berjalan menuju sofa dan duduk bersandar disana.

"Kamu lagi kerja?"

"Enggak."

"Oh, lagi cuti ya?"

"Enggak juga."

"Terus?"

Tasya menghela napas. "Aku udah dipecat."

"Apa?" Tasya menjauhkan ponselnya dari telinganya. Respon Senja selalu sangat berlebihan. Dia berteriak seolah-olah ingin membuatnya tuli.

"Jangan teriak-teriak! Kamu mau bikin aku budek ya?" Tasya hanya mendengar kekehan dari teleponnya.

"Kirim alamat kamu sekarang. Aku mau main." Setelah itu Senja menutup teleponnya.

Tasya hanya bisa menghela napas. Dia segera mengirimkan lokasinya ke Senja melalui aplikasi chat. Jika dipikir-pikir Senja mirip dengan Radhika, karena mereka berdua sama-sama suka seenaknya.

Kurang lebih satu jam kemudian Senja sampai di rumahnya. Dia bilang lumayan sulit menemukan rumahnya, dan dia hampir tersesat. Setelah membantu Senja memarkirkan motornya, Tasya membawa Senja masuk ke rumahnya.

"Inilah rumah aku, maaf kalau kamu ngerasa kurang nyaman." Mereka kini sampai di ruang tamu. Tasya sedikit membereskannya terlebih dahulu sebelum Senja sampai.

"Ih apaan sih?" Senja duduk bersanda di sofa. "Rumah kamu nyaman, kapan-kapan aku nginap ya, boleh?" tanyanya.

Tasya tersenyum. "Boleh."

"Oke, nanti aku akan minta izin sama ayah dan ibu nanti."

Tasya mengangguk dan tersenyum. "Kamu mau minum apa?"

"Apa aja, enggak masalah."

Tasya mengangguk dan berjalan menuju dapur. Dia membuatkan jus jeruk. Tasya lalu kembali ke ruang tamu membawa dua jus jeruk dan beberapa camilan.

"Maaf ya, aku cuman punya ini."

"Enggak apa-apa, aku ngerepotin. Maaf ya, dan makasih." Senja tersenyum. "Oh iya kenapa kamu bisa dipecat?"

Tasya terdiam sebentar. Dia bingung apakah dia harus menceritakan yang sebenarnya atau harus berbohong. Pada akhirnya Tasya memilih opsi yang pertama. Dia menceritakan semuanya pada Senja dan berusaha untuk tidak terlalu menjelekan Radhika. Karena bagaimana pun Radhika adalah orang yang sangat Senja hormati.

"Ish... dasar si Abang bego. Kenapa sih dia itu. Apa dia pikir kerjaan itu main-main."

"Aku juga enggak ngerti. Sebelumnya dia bilang enggak mau berhubungan lagi sama aku. Tapi tiba-tiba dia kaya gitu. Aku bener-bener enggak bisa baca jalan pikirannya."

Senja berpikir sejenak, dia ingin mencari tau alasan Radhika melakukan itu. Dia seperti pernah membaca cerita seperti ini di novel. Di cerita itu, pemeran utama pria akan merasa hampa saat pemeran utama wanita meninggalkannya. Oleh sebab itu dia mencari cara agar pemeran wanita itu kembali dekat dengannya. Dengan kata lain, Radhika baru sadar dia jatuh hati pada Tasya saat dia ditinggalkan.

Senja tersenyum. Jika dugaannya benar, makan Senja harus membantu Radhika untuk mendapatkan hati Tasya apapun yang terjadi.

"Tapi menurut aku lebih baik kamu kerja di kantornya Bang Dhika deh. Kamu sampai sekarang belum dapet kerjaan, kan? Ayah kamu juga percaya sama omongan Bang Dhika, mana dia setuju lagi."

Tasya menghela napas. "Aku masih bingung. Kalau boleh milih, aku enggak mau kerja di tempatnya Dhika"

"Kenapa? Coba kamu pikirin baik-baik." Senja menggenggam tangan Tasya. Dia harus membujuk Tasya. "Dengerin aku. Nanti aku minta ayah buat nyelidikin.”

“Eh jangan.” Tasya tidak ingin orang lain terlibat dalam masalahnya.

“Kamu coba dulu aja. Kalau dia macam-macam, bilang aja, nanti aku pukul. Tenang aja, Bang Dhika enggak akan berani bales kalau aku pukul.”

"Nanti aku pikirin dulu. Makasih ya."

Senja tersenyum. Dia berharap Tasya mau mendengarkan perkataannya. Mulai hari ini dia akan menjadi peri cinta untuk abang kesayangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status