Share

07. Radhika yang Kampret

Esok harinya, Tasya merasa pusing sekali ketika dia bangun tidur. Semalam dia begadang sambil maraton drama sampai jam lima pagi. Benar-benar hidup seperti seorang pengangguran.

Hari ini adalah hari keduanya sebagai seorang pengangguran. Ayahnya sudah berangkat ke kedai beberapa jam yang lalu. Tapi sebelumnya dia memarahi Tasya terlebih dahulu. Karena tadi dia sulit dibangunkan. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Tasya kembali tidur dan baru bangun beberapa menit yang lalu.

Tasya menghela napas lalu membuka kulkas. Dia mengambil apel yang ada di kulkas lalu memakannya. Ayahnya belum tau kalau dia sudah dipecat. Yang ayahnya tau hari ini dia sedang cuti, karena semalam Raka membantunya berbicara pada ayahnya bahwa dia akan cuti beberapa hari.

Tasya pergi ke kamarnya untuk mengambil laptopnya, setelah itu dia pergi ke ruang tengah. Dia menyimpan laptopnya di meja lalu duduk bersila di karpet. Dia akan mencari pekerjaan di website-website yang memberikan info lowongan kerja. Dia akan memasukan lamaran perkerjaannya sebanyak mungkin karena dia harus segera mendapat pekerjaan lagi.

Selama kurang lebih dua jam dia berkutat dengan laptopnya, dia sudah memasukan lamarannya kebeberapa perusahaan yang menurutnya memiliki peluang yang cukup besar untuk menerimanya. Dia melirik jam laptopnya. Sekarang sudah pukul satu siang dan dia memutuskan untuk pergi ke kedai ayahnya.

Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk menuju ke sana jadi Tasya pergi menggunakan angkutan kota. Setelah Tasya sampai di kedai ayahnya, di segera mengunjungi dapur untuk bertemu dengan ayahnya.

"Eh, ada anak ayah yang paling cantik. Kenapa ke sini?" Ayah Tasya sedang memasak jadi dia hanya melirik sekilas ke arah Tasya.

"Di rumah bosen, jadi Aca ke sini buat bantu-bantu." Tasya mengamati ayahnya yang sedang memasak. Dia sangat senang saat melihatnya, menurutnya ayahnya sangat keren saat memasak.

"Baru aja cuti, tapi udah bosen. Main sana, jarang-jarang kan kamu bisa cuti."

Tasya hanya tersenyum kaku. Dia merasa bersalah telah membohongi ayahnya. Tapi dia juga belum siap untuk memberitahunya. Semoga saja dia cepat mendapat pekerjaan.

"Cutinya kan masih lama, jadi sekarang...." Tasya mengambil apron dan memakainya. "Aku bantu di depan."

Sang ayah hanya memangguk dan tersenyum.

***

Hari ini Radhika cukup sibuk, karena dalam waktu dekat Zero One akan merilis game baru. Radhika melonggarkan sedikit sampul dasinya lalu membuka kancing kemeja teratasnya. Dia merasa sangat lelah. Tapi untunglah semuanya masih lancar-lancar saja.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika dia akan memimpin perusahaan seperti ini. Dulu ayahnya bilang dia harus belajar bisnis dan harus mulai memahami perkembangan game di dunia karena suatu saat dia akan menggantikan ayahnya, tapi Radhika selalu menolaknya, karena dia tidak tertarik sama sekali.

Dulu cita-citanya adalah menjadi seorang arsitek. Dia ingin membuat rancangan rumah-rumah yang minimalis dan ekonomis untuk orang-orang yang memiliki keterbatasan dana. Dan ketika kecil dia memiliki mimpi, dia ingin membuat sebuah apartemen yang bisa dihuni oleh orang-orang yang tidak punya tempat tinggal.

Saat kuliah dulu bahkan sudah merancang apartemen itu, hanya saja belum selesai. Dan sepertinya ia harus melupakan mimpinya, karena dia sekarang harus mengurus perusahaan ini. Ditambah lagi dia harus mengobati fobianya.

Radhika jadi ingat, dia harus segera membuat Tasya bekerja disini. Dia berencana akan mengunjungi Om Robi. Dia melirik jam di tangannya. Sekarang baru setengah tujuh malam. Jadi dia masih sempat untuk mengunjungi kedainya.

Siang tadi, Radhika meminta Yoga untuk mencari informasi mengenai Om Robi. Dan katanya dia membuka sebuah kedai tak jauh dari rumah mereka. Kedai itu tutup pukul sebelas malam, namun Om Robi selalu pulang lebih awal, Om Robi biasa pulang sekitar pukul delapan. Itu berarti sekarang Om Robi masih ada di kedai dan Radhika harus segera ke sana.

Radhika tiba di depan kedai Om Robi, setelah berkendara sekitar empatpuluh menit. Saat dia masuk, dia melihat Tasya sedang melayani pembeli. Dan itu membuatnya menyeringai. Ini akan mudah.

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Tiba-tiba seorang pelayan wanita menghampirinya. Bisa diperkirakan dia seumuran Senja.

"Saya ingin bertemu Om Robi," jawab Radhika.

"Eh … bentar, bentar.” Pelayan wanita itu melihat Radhika dengan mata melotot. “Kamu … kamu, kan? Ya ampun, beneran Radhika dong." Dia mengambil ponselnya dari saku celananya. "Aku main F.I.F.E loh!"

Radhika hanya mengangguk. Dia harus segera menyingkir dari hadapan gadis ini. Gadis di depannya terlalu banyak bicara, dan Radhika tidak menyukainya. Radhika harus mengantisipasi, sebelum gadis ini menyentuhnya. Mau disengaja atau tidak, itu akan menjadi masalah besar.

Radhika mengedarkan pandangannya, dan bingo! Dia melihat Tasya sedang menatap ke arahnya dengan raut wajah terkejut. Radhika menyeringai dan segera menghampiri Tasya. Dia mengabaikan pelayan wanita yang terus mongoceh tentang game yang dibuatnya.

Tasya berjalan terburu-buru lalu menghadang langkahnya. Tasya bahkan, mengusirnya. "Keluar!" Tasya melotot lalu mendorong dada Radhika.

Radhika tersenyum miring. "Saya ke sini mau bertemu Om Robi, bukan kamu."

"Radhika, jangan macem-macem!" Tasya terus berusaha mendorong Radhika, namun tidak berhasil.

“Kita jadi tontonan sekarang.” Radhika berbisik. Tasya menjauhkan tubuhnya saat sadar kalau mereka terlalu dekat dan membuat pengunjung kedai ayahnya super duper kepo.  

"Kamu mau ngadu, kan? Awas aja, enggak akan aku biarin. Pulang sana!" Tasya menghela napas frustrasi. Dan dia merasa sedang dalam bahaya sekarang. Bagaimanapun juga dia harus segera menyingkirkan si sableng ini dari hadapannya. Sebelum ketahuan oleh ayahnya.

Radhika tersenyum, jadi Tasya berniat menyembunyikan masalah ini dari ayahnya. Radhika maju satu langkah, lalu mencondongkan tubuhnya kearah Tasya dan berbisik. "Itu memang maksud saya datang ke sini." Dia menegakkan lagi tubuhnya dan tersenyum penuh kemenangan.

“Kamu-!” Tasya menghentikan ucapannya karena dia tidak tahu apa yang harus dia ucapkan. Dia benar-benar panik sekarang. Si Sableng ini memang hobi membuatnya emosi jiwa dan raga. 

"Dhika?"

Tasya dan Radhika sama-sama melihat ke sumber suara, ayah Tasya keluar dari arah dapur dan menghampiri mereka. Radhika tersenyum padanya, sedangkan Tasya sangat panik sekarang.

"Ayo duduk dulu." Ayah Tasya membawa Radhika ke bangku yang kosong. "Aldi, ke dapur dulu. Siapin makanan."

Tasya hanya bisa melongo melihat si Sableng itu tersenyum mengejek saat melewatinya. Emosi sudah ada di ubun-ubun, namun Tasya tidak bisa melepaskannya. Sekarang keadaannya terjepit, jadi dia tidak boleh gegabah. Dia harus sabar menghadapi kesablengan Radhika.

Akhirnya Tasya menyusul Radhika dan ayahnya yang pergi ke kursi ketiga dekat jendela. Tasya duduk di sebelah Radhika, sedangkan ayahnya duduk di seberang Radhika.

"Jadi ada apa? Kenapa repot-repot ke sini?" tanya ayah Tasya.

"Saya enggak sengaja lewat, Om."

Tasya memutar bola matanya. Bohong! Itu pasti hanya akal-akalannya saja. Sepertinya dia sengaja mencari alamat kedai ayahnya untuk mencari masalah dengannya. Kemperet memang bocah ini!

"Oh gitu." Ayah Tasya tersenyum. "Sering-sering mampir, walau makanan di sini biasa aja, bukan makanan restoran bintang lima. Tapi, dijamin rasanya enak."

"Iya Om, Tasya udah pernah cerita." Radhika melirik Tasya yang sedang melotot padanya.

Apanya yang sudah cerita? Tasya tidak sudi menceritakan kehidupan pribadinya pada makhluk bernama Radhika.

"Om harap, Aca enggak melebih-lebihkan." Ayah Tasya tersenyum. "Tunggu ya, Om bantu dulu Andi di dapur." Ayah Tasya segera ke dapur setelah Radhika mengangguk.

Inilah kesempatannya untuk mengancam Radhika. Setelah memastikan ayahnya pergi, Tasya menarik lengan Radhika agar mereka bisa bertatapan.

"Awas aja kalau kamu ngadu ke ayah." Tasya menatap tajam.

Radhika tersenyum miring. "Kamu enggak punya hak buat ngatur saya."

Tasya kesal setengah mati saat mendengar ucapan Radhika. Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain bersabar. Tasya menghela napas. Jika dengan ancaman tidak mempan, maka Tasya harus menunjukkan ketidakberdayaannya.

"Dhika, please," pinta Tasya memelas. Persetan dengan harga dirinya. Dia tidak bisa membiarkan ayahnya tahu kalau dia sudah menjadi seorang pengangguran sekarang. 

"Menurutlah."

Percakapan mereka terpotong karena ayah Tasya datang membawa makanan dibantu oleh Andi.

"Mudah-mudahan kamu suka."

"Terima kasih Om, maaf merepotkan."

"Eh, enggak … makan yang banyak." Ayah Tasya mengambilkan piring dan mengisinya dengan nasi lalu dia juga mengambil udang dan daging sapi.

Radhika menerima piring yang diberikan oleh ayah Tasya. Dia mengucapkan terima kasih, dan ayah Tasya mengangguk dan menyuruhnya untuk makan yang banyak. Masakan yang dibuat ayah Tasya benar-benar enak. Walau menunya sangat sederhana tapi dia menyukainya.

Tidak ada percakapan diantara mereka. Masing-masing fokus pada kegiatan makannya, sedangkan Tasya tidak berselera, dia makan dengan perlahan. Karena perasaannya tidak keruan sekarang. Radhika selesai menyantap makan malamnya, dan itu membuat Tasya panik.

 “Terima kasih Om, ini enak," ucap Radhika, sudah lama sekali dia tidak memakan masakan Om Robi. Rasanya masih sama. 

"Kalau gitu sering-sering ke sini."

Radhika mengangguk. "Omong-omong, saya ada hal yang mau didiskusikan sama Om.”

“Apa itu?”

Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.

“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status