Share

04. Bisa Gila

Radhika melepaskan pelukannya. "Saya pesankan taksi online untuk kamu." Radhika berjalan ke mejanya hendak mengambil ponselnya.

Tasya mengerjapkan matanya. Dia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

"Tunggu dulu ... jelasin dulu yang tadi!" Tasya menghampiri Radhika. "Kenapa kamu kaya gitu!?" Tasya menggebrak meja dengan kedua lengannya, lalu menatap Radhika dengan kesal.

"Kamu enggak perlu tau alasannya. Sekarang sebaiknya kamu pulang."

Perkataan Radhika sukses membuat kekesalan Tasya bertambah. Dia yang mengundangnya, lalu dia mengusirnya dengan seenaknya. Lelucon yang bagus.

"Dhika … kamu waras? Kayanya kamu emang bener-bener sableng ya. Kemarin ngusir seenak udel. Sekarang main peluk sembarangan. Denger ya, aku bukan cewek gampangan.” 

Radhika menghela napas, dia memijit keningnya. "Kamu bikin kepala saya mau pecah."

"Apa? Dasar gelo!" Tasya melotot. Seharusnya kalimat itu diucapkan olehnya. Karena sikapnya itu sangat tidak jelas. “Di sini jelas-jelas aku yang jadi korban!”

“Kalau kamu enggak mau pulang, silakan tidur di sini.” Radhika berdiri, dia mengambil ponsel dan kunci mobilnya yang tergeletak di meja. Dia perlu jalan-jalan untuk menenangkan pikirannya.

Tasya melongo, ini luar bisa gila. Apa-apaan sikapnya itu? “Hei! Kamu mau ke mana? Urusan kita belum selesai.” Dia mengikuti Radhika yang berjalan menuju pintu.

“Ke tempat yang enggak ada kamu.” Radhika sampai di depan pintu, dia sudah meraih gagang pintu, namun lengannya ditarik oleh Tasya. Mau tak mau Radhika harus berbalik menghadap ke arah Tasya.

Di luar dugaan Tasya menghimpitnya ke arah pintu. Tangan kanan perempuan itu berada di samping telinganya, menekan pintu. Dia menaikkan dagunya dan memberi tatapan tajam. “Jangan kabur!”

Radhika tersenyum miring. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Tasya. Dengan tubuh yang hanya sebatas dadanya, Tasya pikir dia akan takut padanya. Lucu sekali. “Berapa lama lagi kaki kamu kuat jinjit kayak gitu?”

“Apa-” Ucapan Tasya terpotong karena Radhika tiba-tiba menarik pinggangnya hingga membuat tubuh mereka bertabrakan. Tasya memekik karena terkejut, namun Radhika menghiraukannya.

“Saya tunjukkan cara yang benar.” Radhika memutar posisi mereka. Kini punggung Tasya yang bersandar pada pintu, sedangkan Radhika mengurungnya.

Mata mereka bertemu. Jarak wajah mereka sangat dekat, karena Radhika menundukkan kepalanya. Tangan kanannya masih berada di pinggang Tasya.

Tasya tidak bisa bergerak, ia ingin mendorong Radhika, namun badannya mengkhianati pikirannya. Dia juga merasa oksigen sepertinya sangat sedikit, jadi dia kesulitan untuk bernapas. Lalu kondisi jantungnya, dia sedang menggila. Jantungnya berdetak tak keruan.

Tadinya Tasya berniat membuat Radhika mau memberinya penjelasan. Namun, sekarang dia malah kena batunya.

Radhika mendekatkan wajahnya ke wajah Tasya, Sehingga, Tasya bisa merasakan ebusan napas Radhika di wajahnya

Tasya sangat gugup hingga pikirannya terasa kosong. Tasya memejamkan matanya kuat-kuat dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dilakukan oleh Radhika. Dia berharap Radhika tidak melakukan hal buruk padanya.

“Kalau kamu mau melakukan hal ini, cobalah untuk bertambah tinggi terlebih dulu.” Radhika melepaskan kurungannya, lalu mundur satu langkah.

Tasya menatap Radhika dengan tatapan tak percaya. Sialan! Ternyata dia dipermainkan. Bahkan kini Tasya bisa melihat Radhika menyeringai.

“Sinting!” Tasya berusaha menormalkan debaran jantungnya.

“Sebaiknya kamu segera pulang, kalau terlalu malam akan susah cari kendaraan. Saya antar sampai bawah.”

“Kamu masih berutang penjelasan.” Tasya menyingkir dari pintu dan membiarkan Radhika membukanya. “Aku akan tagih nanti.”

Radhika hanya bergumam sebagai jawaban.

-***-

Sudah empat hari dan Radhika belum mengabarinya. Jelas itu membuat Tasya kesal setengah mati. Dia sudah mengirim pesan dan mencoba menelepon Radhika, namun hasilnya nihil. Bocah itu tidak mengangkat satu pun panggilan darinya, jangan tanya lagi soal pesan. Sudah jelas dia tidak membalasnya juga.

Ditambah hari ini hujan deras dan dia masih terjebak ditempat kerjanya. Lengkap sudah. Tasya benar-benar menyesal. Seandainya saja dia tadi menumpang pada orang tua muridnya sampai ke halte. Mungkin sekarang dia sudah ada di kamarnya, selimutan sambil makan mie instant pakai cabai. Sungguh kenikmatan yang hakiki.

Namun, karena tadi masih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, jadi mau tak mau dia harus menerima nasibnya sekarang.

Sudah hampir dua jam hujan tak kunjung reda. Tasya sempat menghubungi Raka untuk menanyakan apakah dia sudah selesai bekerja atau belum, tapi ternyata jam kerja Raka berakhir pukul delapan malam, jadi dia tidak mungkin memintanya untuk mengantarnya pulang.

Tasya menghela napas. Dia mengambil ponsel dari saku hoodie-nya. Dan ternyata ponselnya kehabisan baterai. Dan dia juga ingat kalau hari ini dia tidak membawa charger. Sungguh sangat sial, dia hari ini.

Pada akhirnya Tasya memutuskan untuk menerobos hujan. Dia pikir lebih baik menerobos hujan, daripada menunggu dengan bosan di sini. Masa bodoh jika dia besok sakit, lagi pula besok dia juga libur.

Tasya memakai jaket yang sengaja ia simpan di laci, ini cukup lumayan untuk meredam air hujan. Ia lalu mencari plastik, dia harus melindungi barang-barang berharganya agar tidak kebasahan. Setelah menemukannya, Tasya menaruh ponsel dan dompetnya ke dalam plastik tadi.

Kemudian Tasya pergi keluar. Hujannya ternyata sudah sedikit mereda. Tapi jika dia berlari ke halte, tetap saja akan kebasahan. Tasya menaruh tasnya di atas kepalanya untuk melindunginya dari hujan.

Saat Tasya berlari menuju halte, tiba-tiba ada sebuah mobil yang mendekat ke arahnya lalu membunyikan klakson. Tasya secara refleks menyingkir dan memberi jalan pada pengemudi mobil itu. Namun, mobil itu berhenti tepat di depannya. Dan itu membuat Tasya bertanya-tanya, karena dia tidak ingat memiliki teman yang punya mobil seperti ini.

Jendela mobil perlahan terbuka, Tasya menajamkan pengelihatannya. Dan ternyata dia, adalah Radhika.

"Cepat masuk!" titahnya.

"Hah?" Tasya hanya merespon seperti itu, karena dia cukup terkejut dengan kedatangan Radhika kemari.

"Apa kamu budek? Cepetan masuk!" Radhika menaikan sedikit nada suaranya, dan itu mebuat Tasya buru-buru masuk ke mobil dengan perasaan kesal. Apa harus dia marah-marah seperti itu?

Setelah Tasya masuk, dia melepaskan jaketnya yang sudah setengah basah lalu memasang sabuk pengaman. “Aku kira kamu udah pulang ke tempat asal kamu,” sindir Tasya.

“Apa maksud kamu?” tanya Radhika.

“Pulang ke planet asal kamu, ke Pluto misalnya.”

Radhika mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. “Anindira, sepertinya kamu perlu rajin mencari informasi. Dari tahun 2006 Pluto udah bukan planet lagi. Tapi udah jadi Planet Kerdil.”

Tasya menghela napas. Dia melupakan hal itu. Namun, maksudnya kan bukan itu. “Itu perumpamaan. Maksudnya kan aku lagi nyindir kamu.”

“Apa pun maksud kamu, kalau salah ya tetap harus dikoreksi.”

“Terserah kamu, aku enggak mau ngomong lagi.” Tasya mengarahkan pandangannya ke jendela. Berbicara dengan Radhika sekarang hanya akan membuatnya emosi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status