Hari ini Tasya sangat mengantuk. Bahkan tadi dia nyaris tertidur saat mengajar. Semalam Tasya hanya tidur tiga jam. Dia tidak bisa tidur setelah membaca pesan yang dikirim Radhika. Radhika benar-benar out of the box. Tasya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa menebak jalan pikiran Radhika, kecuali Yang Maha Kuasa.
Sungguh, Tasya tidak mengerti kenapa ada orang yang super duper labil seperti Radhika. Dua hari yang lalu Radhika memintanya untuk tidak berurusan dengannya. Dia bahkan menghinanya dan mengusirnya, tapi semalam dia ingin mengajaknya bertemu. Itu sangat tidak masuk akal. Apa kepala Radhika terbentur sesuatu sehingga kepalanya sedikit sengklek?
Tasya menyeruput Milk
Shake Strawberrynya dan bersandar pada sandaran kursi. Kini dia sedang berada di Oh Me Time!─kafe yang pertama kali ia kunjungi saat bertemu dengan Senja.Sebelumnya dia benar-benar kepikiran dengan pesan yang dikirim si Sableng. Pikirannya meminta dirinya menemui Radhika. Jadilah sekitar pukul setengah delapan malam, Tasya pergi ke kantor Radhika. Namun, setelah sampai, Tasya mengurungkan niatnya itu. Dia meminta supir ojek online untuk mengantarnya ke sini. Itulah alasan mengapa malam-malam dia duduk sendiri di sini.
Sekarang sudah pukul sepuluh kurang, dan Tasya harus segera pergi dari sini, karena cafe ini akan segera tutup. Dia tidak menyadari kalau dia sudah sangat lama duduk di sini. Dia terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Tasya mengambil ponselnya. Dia hendak memesan ojek online dan pulang ke rumahnya.
Namun, hatinya merasa tidak tenang. Jadi dia segera mengirim Radhika pesan.
Tasya : Kamu masih di kantor?
Jika dalam lima menit Radhika tidak membalas pesannya, maka Tasya akan langsung pulang, dan dia tidak akan mau menemuinya lagi. Itulah tekadnya sekarang. Namun belum sampai dua menit, Radhika sudah membalas pesan Tasya. Dia bilang masih berada di ruangannya. Seketika Tasya merasa bersalah. Pasti Radhika belum pulang karena menunggunya. Jadi dia berjalan dengan terburu-buru.
Walaupun Tasya masih marah atas perlakuan Radhika, tetapi tetap saja dia merasa bersalah. Tasya termasuk orang yang suka memikirkan perasaan orang lain. Dan terkadang itu membuatnya sulit. Namun, dia tidak menyesal menjadi orang seperti itu, karena terkadang kebaikan datang begitu saja padanya.
Jarak dari kafe ke perusahaan Radhika sekitar sepuluh menit, jadi Tasya berlari ke sana. Ada dua alasan kenapa dia berlari. Yang pertama dia tidak ingin membuat Radhika terlalu lama menunggu. Yang kedua, jalanan sudah sepi karena saat menuju ke sana harus melewati jalan kecil dan gelap. Tasya dari kecil takut gelap, jadi dia menyalakan lampu di ponselnya dan berlari dengan sangat cepat saat melewati jalan kecil itu.
Tasya terengah-engah saat sampai di depan perusahaan Radhika. Dia membungkuk dan memegang lututnya, berusaha untuk menormalkan debaran jantungnya. Sudah lama sekali dia tidak berolahraga, jadi rasanya lelah sekali. Seperti habis maraton dengan jarak sepuluh kilometer.
"Maaf, Bu. Mau ke mana, ya?" tanya security itu.
"Aku mau ketemu dengan Radhika." Dia memperlihatkan percakapannya pada security tadi.
"Tunggu sebentar, ya." Security itu pergi ke posnya dan terlihat sedang menelepon seseorang. Tak lama dari itu, dia kembali dan dia bilang akan mengantar Tasya ke ruangan Radhika.
Selama perjalanan Tasya merasa sedikit takut, karena semua ruangan yang ia lewati kosong. Dan lampu-lampunya juga redup bahkan ada yang padam. Cukup bagus sih sebenarnya untuk menghemat energi, namun hal itu malah membuat suasananya menjadi seram. Untung saja dia ada yang menemani. Jika tidak, mungkin dia tidak akan jadi mengunjungi Radhika.
"Sudah sampai, Bu. Saya pamit," kata security tadi.
Tasya menghela napas. Dia merasa ragu lagi. Sebenarnya dia tidak tau alasan kenapa dia mau datang kemari. Bagaimanapun juga, dia masih marah dan sakit hati atas perlakukan Radhika hari ini. Tapi sebagian dari dirinya berkata, dia harus menyelesaikan masalahnya dengan Radhika secara tuntas. Lebih cepat, lebih baik.
Apa pun yang terjadi hari ini semoga itu akan menjadi hal yang baik di masa yang akan datang. Tasya menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya. Dia mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
Setelah mendengar Radhika memersilahkan dirinya masuk, Tasya segera masuk. Tasya melihat Radhika sedang memunggunginya. Radhika sedang melihat ke arah jendela besar di belakang meja kerjanya.
Tasya sekarang bingung, apakah dia harus menunggu Radhika menyuruhnya duduk atau langsung bertanya apa yang Radhika inginkan.
"Langsung aja." Radhika berjalan mendekati Tasya, dan berhenti beberapa langkah dari tempat Tasya berdiri. "Kemari!"
Tasya mengerutkan keningnya. Dia tidak tau apa yang sedang Radhika rencanakan. Mungkin saja dia mau balas dendam atas tamparannya kemarin. Ya, itu masuk akal karena kemarin Tasya pergi begitu saja, pasti Radhika marah padanya dan ingin balas dendam.
"Kamu mau apa?" Tasya sedikit panik, namun berusaha untuk tidak terlihat takut.
"Cepat!" Radhika menatap Tasya tajam.
Tasya menelan ludah, dia berjalan perlahan menghampiri Radhika.
"Ada ap─"
Sebelum Tasya menyelesaikan ucapannya, Radhika menarik lengannya. Tasya sangat terkejut. Dia mengira Radhika mau memukulnya. Namun, ketakutan Tasya tidak terbukti. Radhika malah membawa lengan Tasya untuk menyentuh wajahnya.
"A─apa-apaan ini?" Tasya sangat bingung dengan perlakuan Radhika. Dia juga sangat gugup, karena mereka terlalu dekat. Dan itu membuat jantung Tasya berdetak kencang. “Dhika, kamu kesambet, ya?”
"Sebentar."
Radhika menutup matanya. Radhika merasa kalau tangan Tasya sedikit bergetar dan kaku. Tapi dia tidak peduli, karena tangannya terasa hangat dan dia menyukainya. Radhika membuka matanya. Dan yang pertama ia lihat wajah Tasya yang memerah. Radhika menjauhkan tangan Tasya dari wajahnya.
"Bantu saya sedikit lagi."
Tasya masih merasa bingung, dan dia dikejutkan lagi saat Radhika tiba-tiba memeluknya. "Ih, si gelo! Dhika, nyebut! Kita bukan muhrim!" Tasya mendorong dada Radhika, namun hal tersebut tidak berhasil membuat pelukannya terlepas.
"Sebentar aja. Dosanya saya yang tanggung," ucap Radhika.
“Mana bisa gitu!” Sepertinya Radhika memang sudah benar-benar Sableng.
“Dua menit.”
Tasya mulai berhenti berontak, karena ia merasa itu sangat percuma. Jadi dia membiarkan Radhika memeluknya sebentar, cuman dua menit. Tidak boleh lebih. Tasya menghitung dalam hati. Namun, dia tidak bisa menghitung dengan benar karena pikirannya berkecamuk, akhirnya dia menyerah.
Tubuh Tasya kaku, karena dia tidak tau harus beraksi seperti apa. Sebenarnya, Tasya merasa heran pada dirinya sendiri. Seharusnya dia memukul atau menampar Radhika, karena sudah bersikap seenaknya. Namun, dia malah merasa gugup, dan lagi, apa-apaan dengan jantungnya yang berdegup cepat? Semoga saja si Sableng tidak menyadarinya.
Sedangkan Radhika merasa seperti menemukan sesuatu yang telah lama hilang. Sudah lama sekali dia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Dia merasa senang karena ada orang lain yang bisa bersentuhan dengannya. Dan dia sangat berharap agar bisa sembuh dan bisa berdamai dengan masa lalunya.
Radhika melepaskan pelukannya. "Saya pesankan taksi online untuk kamu." Radhika berjalan ke mejanya hendak mengambil ponselnya.
Tasya mengerjapkan matanya. Dia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
Radhikamelepaskan pelukannya. "Saya pesankantaksionlineuntukkamu." Radhikaberjalan ke mejanya hendak mengambil ponselnya.Tasyamengerjapkan matanya. Dia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi."Tunggu dulu... jelasin dulu yang tadi!" Tasyamenghampiri Radhika. "Kenapa kamu kaya gitu!?" Tasyamenggebrak meja dengan kedua lengannya, lalumenatap Radhikadengan kesal."Kamu enggakperlu tau alasannya. Sekarang sebaiknya kamu pulang."Perkataan Radhikasukses membuat kekesalan Tasyabertambah. Dia yang mengundangnya, lalu dia mengusirnya dengan seenaknya. Lelucon yang bagus."Dhika … kamu waras? Kayanya kamu emang bener-bener sableng ya. Kemarin ngusir seenak udel. Sekarang main peluk sembarangan. Denger ya, aku bukan cewek gampangan.”Radhikamenghela napas, dia memijit keningnya. "Kamu bikinkepalasayamau pecah."
Kurang lebih sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuahkafe. Bisa dibilang kafe ini sangat populer akhir-akhir ini, tetapi Tasya belum pernah kemari. Karena sepertinya harga makanannya lumayan, tapi tempatnya nyaman dan sangat bagus untuk huntingfoto.Hujan sudah berhenti saat mereka masih dalam perjalanan menuju ke sini. Butuh sekitar empat puluh menit untuk sampai, karena jalanan macet.Radhikaberjalan duluan, sedangkan Tasyamengekor dibelakangnya.Mereka menaiki tangga melingkar. Setelah sampai di lantai dua, Tasya dibuat kagum dengan pemandangan yang disuguhkan.Karena kafe ini terletak di dataran tinggi, jadi dia bisa melihat pemandangan kota dari jendela kaca yang sangat besar."Duduk," ucap Radhikasetelah mereka sampai di meja yang telah ia pesan.Mereka duduk berhadapan. Kemudian seorang pelayan datang memberikan buku menu pada Radhikadan Tasya.Tasyamembuka satu pers
Tasya benar-benar kesal, dan dia marah sekarang, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Radhika sudah sangat keterlaluan. Bisa-bisanya dia berbuat seenaknya seperti itu. Lihat saja, Tasya akan memberi perhitungan padanya.Tasya kini berdiri tepat di depan pintu ruangan Radhika, dia diantar oleh Yoga. Tadi Yoga datang ke playgroup dan langsung membawanya kemari setelah Tasya berbicara dengan Ilham─pemilik playgroup tempatnya bekerja. Sebenarnya saat dalam perjalanan ke sini Tasya ingin sekali memarahi Yoga. Tapi ia urungkan, karena dalang dari masalahnya ini adalah si kutu kupret, Radhika Putra Prawira Sableng.Yoga mengetuk pintu lalu membawa Tasya masuk ke ruangan Radhika."Pak Dhika, Tasya sudah sampai, saya pamit." Yoga keluar dari ruangan setelah mendapat anggukan dari Radhika.Tasya menatap Radhika tajam. Sedangkan Radhika hanya meliriknya sekilas kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, dia seakan tidak peduli dengan kehadiran Tasya.
Esok harinya, Tasya merasa pusing sekali ketika dia bangun tidur. Semalam dia begadang sambil maraton drama sampai jam lima pagi. Benar-benar hidup seperti seorang pengangguran.Hari ini adalah hari keduanya sebagai seorang pengangguran. Ayahnya sudah berangkat ke kedai beberapa jam yang lalu. Tapi sebelumnya dia memarahi Tasya terlebih dahulu. Karena tadi dia sulit dibangunkan. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Tasya kembali tidur dan baru bangun beberapa menit yang lalu.Tasyamenghela napaslalu membuka kulkas. Dia mengambil apel yang ada dikulkas lalu memakannya. Ayahnya belum tau kalau dia sudah dipecat. Yang ayahnya tau hari ini dia sedang cuti, karena semalam Rakamembantunya berbicara pada ayahnyabahwa dia akan cuti beberapa hari.Tasyapergi ke kamarnya untuk mengambil laptopnya, setelah itu dia pergi ke ruang tengah. Dia menyimpan laptopnya di meja lalu duduk bersila di karpet. Dia akan mencari pekerjaan di webs
Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekaran
"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya."Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai."Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah mahakarya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya."Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi."Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang
Sekarang sudah hari sabtu. Setelah makan malam dengan ayahnya semalam, Tasya langsung menghubungi Radhika, memintanya untuk bertemu. Setelah mendapat balasan dari Radhika, Tasyamalah menjadi tidak isa tidur. Dia ragu dengan keputusannya.Tasya menghela napas. Diakini menunggu Radhikadi sebuah kafedi pusat kota. Radhikabilang akan datang sekitar pukul sebelas, itu berarti seharusnya tidak lama lagi dia akan sampai. Benar saja, kini Tasya bisa melihat Radhika sedang berjalan ke arahnya.Tasyaheran, setiap kali dia meihat Radhika, dia selalu mengenakan pakaian formal bahkan di hari libur seperti ini. Dia berpikir apakah jadwal Radhikasangat padat sehingga membuatnya harus bertemu klien di hari libur juga."Jadi?""Eh itu.. enggak mau pesen dulu?" Tasyamenggeser menu kearah Radhika.Radhika terlalu to the point, Tasya kan belum siap."Enggak.""Oh, oke." Tasyam
“Saya bisa memberi tawaran yang menarik.”Tasya menyipitkan matanya. “Apa?”“Gaji dua kali lipat dari tempat kerja kamu sebelumnya.”“Dua kali lipat?” tanya Tasya terkejut. “Tapi bukannya kamu merasa aku enggak kompeten? Kamu bilang tadi enggak mau ngambil risiko.”“Memang, itulah sebabnya saya ngasih kamu tugas khusus, dan itu sangat gampang.”“Ini kamu lagi ngehina aku atau apa sih?” tanya Tasya kesal.“Dengar ya, Anindira. Saya mempekerjakan orang sesuai dengan kemampuannya. Kalau kamu bisa membuktikan kemampuan kamu yang lain, saya akan kasih tugas yang sesuai dengan kemampuan kamu itu.”Tasya terdiam. Benar juga sih yang dikatakan Radhika. Walau dia tidak tahu tugas macam apa yang akan diberikan Radhika, tapi dia setuju dengan pemikirannya. Dengan pengalamannya sekarang yang masih nol, entah kontribusi apa yang bisa ia berikan untuk pe