Share

05. Enggak Bisa Ditebak

Kurang lebih sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah kafe. Bisa dibilang kafe ini sangat populer akhir-akhir ini, tetapi Tasya belum pernah kemari. Karena sepertinya harga makanannya lumayan, tapi tempatnya nyaman dan sangat bagus untuk hunting foto.

Hujan sudah berhenti saat mereka masih dalam perjalanan menuju ke sini. Butuh sekitar empat puluh menit untuk sampai, karena jalanan macet.

Radhika berjalan duluan, sedangkan Tasya mengekor di belakangnya. Mereka menaiki tangga melingkar. Setelah sampai di lantai dua, Tasya dibuat kagum dengan pemandangan yang disuguhkan.

Karena kafe ini terletak di dataran tinggi, jadi dia bisa melihat pemandangan kota dari jendela kaca yang sangat besar.

"Duduk," ucap Radhika setelah mereka sampai di meja yang telah ia pesan.

Mereka duduk berhadapan. Kemudian seorang pelayan datang memberikan buku menu pada Radhika dan Tasya.

Tasya membuka satu persatu dan membaca daftar yang ada di buku menu tersebut. Di sana tidak ada ada harganya. Jadi Tasya bingung mau memesan apa. Dengan dompetnya yang kering kerontang seperti ini, Tasya tidak mungkin asal pesan. Jika uangnya tidak cukup akan sangat memalukan, dan Tasya tidak ingin itu terjadi.

"Aku udah makan, jadi aku mau Latte aja." Tasya tidak mau mengambil risiko.

Walau dia lumayan lapar, tapi lebih baik dia kelaparan daripada menanggung malu karena uangnya tidak cukup. Jujur saja, di dompetnya hanya ada satu lembar uang warna merah bergambar presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Jangan tanya, berapa sisa saldo di rekeningnya. Sudah dari seminggu yang lalu, hanya tersisa untuk membayar biaya admin.

"Yakin?" tanya Radhika. Tasya hanya mengangguk.

Radhika memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Tasya tidak terlalu mendengarkan apa yang dipesan Radhika. Yang pasti sekarang ia ingin segera pulang dan makan mi sambil menonton drama, yang belum selesai ia tonton semalam.

"Kita bicara selesai makan," kata Radhika. Tasya hanya mengangguk.

Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Radhika sekarang sibuk dengan tabletnya. Dia mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai. Sedangkan Tasya hanya kembali melihat ke arah jendela besar.

Lalu pelayan datang membawa pesan mereka dan meletakannya di meja. "Silakan menikmati." Pelayan itu lalu pergi setelah selesai meletakkan semua pesanan mereka. 

"Makan."

Tasya mengerutkan keningnya. Dia kan hanya memesan Latte.

"Makan dulu, saya masih harus kerja."

Tasya mengangguk pasrah. Mau tak mau dia harus menerimanya sekarang. Tasya menarik piring yang berisi steak itu ke arahnya. Lalu memotong-motongnya. Dia terus memperkirakan berapa harga makanannya, sehingga dia belum berani memakan makanan yang ada di piringnya.

Tasya tidak yakin uangnya akan cukup, jadi dia mengambil ponselnya. Dia mengirim pesan pada Raka untuk mengirimkannya uang, untuk berjaga-jaga. Setelah mendapat balasan dan bukti transfer uang dari Raka, Tasya baru bisa memakan makanannya.

Satu suapan pertama, rasanya enak dagingnya juga lembut. Bisa dibayangkan harganya tidak mungkin setara dengan steak yang biasa dia makan di pinggir jalan bersama Raka. Rasanya juga jauh.

Namun, karena Tasya adalah orang yang lebih mementingkan perut daripada rasa. Maka jika disuruh memilih, maka dia akan memilih makan di tempat biasa daripada sini. Tentu saja karena keselamatan dompetnya paling utama, jadi dia harus memilih makan di pinggir jalan.

Tasya telah selesai makan, namun Radhika masih sibuk dengan tabletnya. Tasya menghabiskan air mineral miliknya. Ternyata Radhika masih punya hati, dia memesankan air mineral untuknya.

"Udah?"

Tasya menatap Radhika lalu mengangguk. Dia meletakkan botol kosong itu di meja, lalu mengelap mulutnya dengan tisu.

"Bekerjalah di perusahaan saya." Radhika menatap Tasya dengan tatapan serius.

Tasya tercengang. Hal gila apa lagi yang sebenarnya Radhika rencanakan. Dia selalu membuatnya terkejut, heran dan takjub dalam artian negatif. Sampai-sampai dia ingin bertepuk tangan sekarang.

"Daripada ngomongin hal enggak masuk akal, mendingan kamu jelasin kejadian-kejadian tempo hari.”

“Bisa enggak, kamu enggak usah bahas itu?”

“Enggak!”

“Oke terserah. Yang jelas saya enggak akan jawab.”

Tasya menghela napas pasrah. Dia tidak tahu lagi harus menghadapi makhluk di hadapannya ini. “Terus alasan kamu minta aku kerja di tempat kamu apa?”

"Saya butuh kamu."

Ucapan Radhika tak henti-hentinya membuat Tasya tercengang. "Radhika, bisa enggak sih kamu bersikap kayak manusia normal. Enggak usah bikin aku nebak-nebak maksud dari semua tindakan kamu. Aku ini bukan cenayang!” 

“Memangnya kapan saya enggak bersikap kayak manusia normal? Saya juga enggak minta kamu untuk nebak-nebak pikiran saya.”

“Iya makannya kamu jelasin dong. Kamu itu senang banget bikin orang emosi ya.” Tasya menjadi kesal sendiri.

Radhika menghela napas. "Kita lupain aja masalah itu."

Respons Radhika membuat Tasya semakin emosi. Dia meminta Tasya melupakannya, semudah itu? Bahkan si kupret ini tidak meminta maaf padanya. Jika bisa, Tasya ingin menendang Radhika ke Neptunus dan membiarkannya hidup bersama Alien.

"Untuk tawaran kamu, aku menolak! Aku bukan pengangguran." Pekerjaanya sudah cukup baik dan Tasya juga menyukai pekerjaannya. Jadi tidak ada alasan untuk menerima tawaran Radhika.

“Ini bukan negosiasi."

"Dhika, aku udah punya kerjaan. Kerjaan aku udah bagus dan aku suka. Jadi, kamu enggak bisa seenaknya gitu dong. Lagian, aku enggak mungkin bisa keluar semudah itu dari tempat kerja aku sekarang."

"Liat aja nanti." Radhika tersenyum miring.

“Apa maksudnya?” Tasya melotot dan mengeluarkan aura permusuhan pada Radhika, tapi si kupret itu malah melebarkan senyum miringnya. Benar-benar minta digaruk pakai garpu. “Masalah kemarin aja belum dijelasin, sekarang malah-Hei! Aku belum selesai ngomong!”

Radhika berdiri dan berjalan mendahului Tasya yang hanya bisa speechless. Baru dua langkah, Radhika kemudian berbalik. “Kamu bisa pulang sendiri, kan? Makanan kali ini saya yang teraktir.”

“Hah?” Tasya seperti orang bodoh sekarang. Dia hanya melihat Radhika yang berjalan semakin menjauh.

'Dasar si bunglon kutu kupret, Wira Sableng!'

-***-

Sudah menjadi kebiasaan Radhika setiap malam dia memandang pemandangan kota, karena itu bisa membuat hati dan pikirannya tenang. Setelah kembali dari pertemuannya bersama Tasya, dia kembali ke sini.

Jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas lebih, tidak membuatnya ingin pergi dari sini dan segera pulang ke rumah. Lucu memang jika berbicara mengenai sesuatu yang disebut rumah. Sudah sangat lama Radhika membenci rumahnya. Terlalu banyak kenangan pahit di sana.

Walaupun Radhika sangat membenci bangunan itu, namun dia tidak ingin menjualnya. Karena selain kenangan buruk, di sana juga ada banyak kenangan bersama ibunya. Hal itu sangat berharga untuknya, jadi dia terkadang pulang jika sedang rindu dengan ibunya. Jadi dia meminta orang untuk merawat rumahnya dan mengeceknya secara berkala.

Radhika kembali ke mejanya. Dia mengambil map pemberian dokter Vian. Itu adalah jadwal terapinya untuk sebulan ke depan. Setelah dia bertemu dengan dokter Vian beberapa waktu lalu, dia akan melakukan beberapa percobaan. Itulah alasan mengapa dia bersikap tidak tahu malu pada Tasya. 

Untuk saat ini dia harus membuat Tasya berada di sampingnya, bagaimanapun caranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status