Menunggu. Siapa pun pasti tidak menyukai hal itu. Terlebih lagi menunggu hal tidak pasti, seperti yang sedang dilakukan Anindira Tasya Kirania. Gadis ini sedang duduk menunggu ditemani rasa bosan dan kantuk. Ponselnya sudah kehabisan daya dari lima belas menit yang lalu. Jadi tidak ada yang bisa dia lakukan selain meratapi nasib.
Semalam, orang yang tidak ingin Tasya sebutkan namanya, mengirimnya pesan. Orang menyebalkan itu memintanya untuk datang pukul tiga sore ke kantornya. Namun sekarang, jam besar di dinding dekat dengan meja resepsionis menujukan pukul lima lewat sepuluh menit, dan orang yang mengajaknya bertemu belum menunjukkan batang hidungnya. Kampret memang.
Saat Tasya bertanya pada resepsionis, wanita itu memang memberi tahu kalau Radhika sedang rapat. Tetapi, seharusnya Radhika memberi kabar sebelumnya, jadi dia tidak akan datang dengan terburu-buru seperti tadi. Bahkan, saat perjalanan kemari Tasya meminta supir ojek online memacu kecepatan, alias ngebut.
Namun pada akhirnya, Tasya tetap harus merasa bersyukur. Dengan inisiatif Radhika mengajaknya bertemu, itu sudah kemajuan yang sangat pesat dan perlu melakukan syukuran. Tetapi tentu saja hal itu tidak akan Tasya lakukan, masih terlalu dini untuk senang.
“Tasya….” Seorang pria paruh baya menghampirinya, bisa diperkirakan berumur sekitar empat puluh lima tahun. “Saya Yoga, sekretaris Pak Radhika. Mari saya antar.”
Tasya mengangguk lalu berdiri. Dia sedikit memperbaiki penampilannya. Bertemu dengan Radhika memang selalu membuatnya gugup, padahal jika Tasya sendirian, dia sering mengatakan hal-hal buruk tentang Radhika dalam hati.
Sekarang adalah jam pulang kantor, jadi saat menuju ke ruangan Radhika. Tasya berpapasan dengan karyawan-karyawan yang bekerja di sini. Sebagian besar orang yang berpapasan dengannya adalah laki-laki. Mungkin karena ini adalah perusahaan yang bergerak di dunia gaming.
Kini Tasya dan Yoga sedang berada di lift, hanya ada mereka berdua. Yoga menekan angka sembilan. Lift mulai bergerak. Tasya mengamati layar kecil di samping deretan angka, yang terus berubah. Sekarang angka tersebut menunjukkan angka tujuh. Hal itu membuat perasaan Tasya semakin tidak keruan.
Tasya mendengar suara dentingan, tak lama setelah itu, lift terbuka. Jantung Tasya berdegup kencang, dan Yoga hanya terus berjalan, tanpa ada niat untuk membantunya menenangkan diri.
Sebenarnya Tasya juga tidak mengerti kenapa dia harus gugup. Radhika jelas lebih muda darinya, selisih usia mereka adalah lima tahun. Di bandingkan dengan dirinya, Radhika itu masih seperti bocah bau kencur.
Karena Tasya terlalu sibuk dengan pikirannya, dia tidak sadar kalau sekarang dirinya sedang berdiri di depan sebuah pintu besar. Ada sebuah papan bertuliskan nama lengkap Radhika serta jabatannya.
Yoga mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Perasaan gugup Tasya meningkat saat dia mendengar sebuah suara yang menyuruh mereka masuk
Yoga membuka pintu dan dia bisa melihat Radhika sedang duduk di meja kerjanya. Dia tidak melihat ke arah mereka. Jam kantor sudah selesai, tetapi Radhika masih sibuk. Matanya fokus pada sesuatu yang ada di meja kerjanya, sedangkan tangan kirinya memengang bolpoin dan beberapa kali bergerak seperti sedang mencorat-coret kertas.
Tasya baru mengetahui satu hal yang menarik, ternyata Radhika itu kidal.
"Duduklah." Tangan Radhika menunjuk sebuah sofa putih di sebelah kiri Tasya.
Tasya segera menuruti perkataan Radhika. Dia tidak menyadari bahwa Yoga sudah tidak ada di ruangan ini. Sepertinya dia terlalu memperhatikan Radhika sehingga dia baru sadar kalau sekarang mereka hanya tingal berdua.
Radhika berbangkit dari kursinya, dan segera menghampiri Tasya. Dia duduk di sofa kecil di samping kanan Tasya.
"Langsung aja." Radhika membuka pembicaraan. "Kita enggak punya urusan, jadi sebaiknya kamu enggak perlu datang dan ganggu hidup saya lagi."
Tasya mencerna setiap kata yang diucapkan Radhika. Butuh beberapa detik untuk memahami maksud perkataan Radhika. Dan setelah dia mengerti maksud perkataan Radhika, Tasya melotot.
'Apa-apaan ini?' batinnya,dia tidak bisa menerimanya. Setelah menunggu selama dua jam, dia malah mendapat sambutan yang sangat ‘hangat’. Tasya menarik napas, guna menenangkan diri.
"Maksudnya gimana?" Tasya bertanya dengan hati-hati. Takut-takut jika salah berbicara maka semua pengorbanan selama dua minggu ini akan sia-sia. Sabar adalah kunci untuk berhadapan dengan makhluk macam Radhika.
"Kita enggak perlu ketemu lagi." Radhika mengatakan hal itu dengan datar namun penuh penekanan di setiap kata yang dia ucapkan, seolah itu adalah sebuah perintah dan Tasya tidak boleh menolaknya.
"Tapi … kenapa?"
Tasya merasa dirinya tidak melakukan hal-hal buruk. Kecuali mengata-ngatai Radhika, tapi itu pun dia lakukan di dalam hati atau di depan sahabatnya. Tetapi, dia yakin Radhika tidak tahu itu. Karena Raka tidak mungkin mengatakannya pada Radhika, mereka tidak saling kenal.
"Saya udah bilang, kita ini enggak punya urusan apa pun." Radhika mulai merasa kesal. "Sekarang kamu boleh pergi." Radhika mengarahkan tangannya ke arah pintu, meminta Tasya keluar dari ruangannya.
Namun Tasya hanya diam. Dia tidak mengindahkan pengusiran dari Radhika. Dia masih mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah dia perbuat, sehingga Radhika bersikap seperti ini. Yang dia ingat pertemuan terakhir mereka berakhir baik.
"Kenapa kamu diam aja?" Radhika semakin kesal melihat Tasya yang hanya bergeming di tempat duduknya.
Tasya tiba-tiba teringat sesuatu. “Dhika. Apa ini gara-gara hari itu aku ngirim SMS kemaleman? Aku minta maaf kalau aku enggak sopan.”
Beberapa waktu yang lalu Tasya mengirim pesan pada Radhika. Pesan absurd yang pikirkan selama tiga jam. Isi pesan itu adalah ‘Ini aku Tasya. Ayo kita berteman’. Tasya mengirimkan pesan itu pukul setengah dua belas malam. Dia menjadi malu sendiri.
“Aku kan udah kirim permintaan maaf juga. Kamu jangan dendam dong. Niat aku baik, kok. Cuman pengin temenan aja.”
"Temenan?" Radhika mendengus. Lucu sekali.
"Iya, temenan." Tasya berusaha memberikan senyum terbaik miliknya. Hal yang sering dia lakukan pada anak-anaknya ketika sedang ingin membujuk mereka.
"Kamu pikir, kamu siapa?"
Mata Tasya membulat mendengar respons dari Radhika. Dia merasa sakit hati. Apa yang membuatnya terlihat rendah di mata Radhika, Tasya tidak mengerti. Walaupun Tasya sebal pada bocah ini, bukankah di depan Radhika dia selalu bersikap baik, dan walaupun dia sering memaki Radhika dalam hati, tapi pada akhirnya dia selalu memaklumi sikapnya.
"Aku tau, kamu mungkin enggak suka aku. Tapi itu karena kita belum saling kenal, ya kan?" Tasya mencoba mengalah, membuang semua ego dan harga dirinya. Walau sakit hati, tapi dia mencoba untuk tetap tenang dan mengalah.
"Kamu butuh berapa?" Radhika berdiri dan menatap Tasya dengan pandangan meremehkan.
Tasya mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti arah pembicaraan Radhika sekarang.
"Kamu butuh uang, kan? Sebutkan jumlahnya. Berapa pun enggak masalah, asal kamu pergi dari kehidupan─"
Perkataan Radhika terhenti karena sebuah tamparan mendarat di pipinya. Radhika terkejut saat Tasya menamparnya dengan cukup keras.
"Gue enggak butuh duit lo, berengsek!" Tasya berteriak. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya.
Radhika melihat Tasya keluar dengan terburu-buru dan dia merasa senang. Dengan begini Tasya jelas akan membencinya dan tidak ada alasan untuk berurusan dengannya lagi.
Radhika memegangi pipinya yang terasa kebas. Tamparan Tasya cukup kuat sehingga kulitnya terasa panas. Dia mengusap perlahan pipi yang ditampar Tasya. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang ganjil.
Entah kenapa tubuhnya tidak beraksi apa-apa saat ditampar Tasya. Dia sempat berpikir hal ini disebabkan oleh rasa sakit di pipinya. Tapi jika dipikir lagi, itu tidak masuk akal.
"Apa mungkin .…" Radhika tertegun. Dia harus segera memastikannya.
Dengan segera Radhika menghampiri meja kerjanya. Dia berniat menelepon sekretarisnya. Dia sangat berharap dugaannya kali ini tidak salah. Karena jika benar begitu, dia akan sangat senang karena salah satu beban beratnya hilang.
"Om, tolong pesankan sebuah kamar dan seorang wanita untuk malam ini, jam tujuh." Setelah mendengar jawaban dari sekretarisnya, Radhika langsung menutup teleponnya.
'Semoga saja,' batinya.
Tasyaburu-buru keluar dari ruangan Radhika, dia menangis karena marah dan sakit hati. Dia sempat berpapasan dengan Yogayang menatap heran dan hendak bertanya padanya. Ada beberapa karyawan yang melihatnya dengan ekspresi ingin tahu. Namun Tasyamengabaikannya,dia hanya ingin segera keluar dari sini.Dia sangat marah karena Radhikamenghinanya seperti itu. Tasyabenar-benar tidak membutuhkan apa-apa dari Radhika, dia justru ingin membantunya, tapi Radhikamalah berkata seperti itu.Sangat tidak tahu diri.Keluarganya memang sederhana dan tidak sekaya Radhika, tapi Radhikatidak pantas berkata seperti itu. Terlebih lagi ayahnya sudah menolongnya dulu. Walaupun Om Prawirasudah membalasnya dengan membantu perekonomian keluarganya. Tetap saja Radhikatidak berhak menghinanya seperti itu.Detik ini dia sudah memutuskan, diatidak akan berurusan lagi dengan orang yang bernama Radhika. Persetan dengan janji
Hari ini Tasyasangat mengantuk. Bahkan tadi dia nyaris tertidur saat mengajar. Semalam Tasyahanya tidur tiga jam. Diatidak bisa tidur setelah membaca pesan yang dikirim Radhika. Radhika benar-benar out of the box. Tasya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa menebak jalan pikiran Radhika, kecuali Yang Maha Kuasa.Sungguh, Tasya tidak mengerti kenapa ada orang yang super duperlabil seperti Radhika. Dua hari yang lalu Radhikamemintanya untuk tidak berurusan dengannya. Dia bahkan menghinanya dan mengusirnya, tapi semalam dia ingin mengajaknya bertemu. Itu sangat tidak masuk akal. Apa kepala Radhika terbentur sesuatu sehingga kepalanya sedikit sengklek?Tasyamenyeruput MilkShake Strawberrynya dan bersandar pada sandaran kursi. Kini dia sedang berada di Oh Me Time!─kafe yang pertama kali ia kunjungi saat bertemu dengan Senja.Sebelumnyadia benar-benar
Radhikamelepaskan pelukannya. "Saya pesankantaksionlineuntukkamu." Radhikaberjalan ke mejanya hendak mengambil ponselnya.Tasyamengerjapkan matanya. Dia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi."Tunggu dulu... jelasin dulu yang tadi!" Tasyamenghampiri Radhika. "Kenapa kamu kaya gitu!?" Tasyamenggebrak meja dengan kedua lengannya, lalumenatap Radhikadengan kesal."Kamu enggakperlu tau alasannya. Sekarang sebaiknya kamu pulang."Perkataan Radhikasukses membuat kekesalan Tasyabertambah. Dia yang mengundangnya, lalu dia mengusirnya dengan seenaknya. Lelucon yang bagus."Dhika … kamu waras? Kayanya kamu emang bener-bener sableng ya. Kemarin ngusir seenak udel. Sekarang main peluk sembarangan. Denger ya, aku bukan cewek gampangan.”Radhikamenghela napas, dia memijit keningnya. "Kamu bikinkepalasayamau pecah."
Kurang lebih sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuahkafe. Bisa dibilang kafe ini sangat populer akhir-akhir ini, tetapi Tasya belum pernah kemari. Karena sepertinya harga makanannya lumayan, tapi tempatnya nyaman dan sangat bagus untuk huntingfoto.Hujan sudah berhenti saat mereka masih dalam perjalanan menuju ke sini. Butuh sekitar empat puluh menit untuk sampai, karena jalanan macet.Radhikaberjalan duluan, sedangkan Tasyamengekor dibelakangnya.Mereka menaiki tangga melingkar. Setelah sampai di lantai dua, Tasya dibuat kagum dengan pemandangan yang disuguhkan.Karena kafe ini terletak di dataran tinggi, jadi dia bisa melihat pemandangan kota dari jendela kaca yang sangat besar."Duduk," ucap Radhikasetelah mereka sampai di meja yang telah ia pesan.Mereka duduk berhadapan. Kemudian seorang pelayan datang memberikan buku menu pada Radhikadan Tasya.Tasyamembuka satu pers
Tasya benar-benar kesal, dan dia marah sekarang, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Radhika sudah sangat keterlaluan. Bisa-bisanya dia berbuat seenaknya seperti itu. Lihat saja, Tasya akan memberi perhitungan padanya.Tasya kini berdiri tepat di depan pintu ruangan Radhika, dia diantar oleh Yoga. Tadi Yoga datang ke playgroup dan langsung membawanya kemari setelah Tasya berbicara dengan Ilham─pemilik playgroup tempatnya bekerja. Sebenarnya saat dalam perjalanan ke sini Tasya ingin sekali memarahi Yoga. Tapi ia urungkan, karena dalang dari masalahnya ini adalah si kutu kupret, Radhika Putra Prawira Sableng.Yoga mengetuk pintu lalu membawa Tasya masuk ke ruangan Radhika."Pak Dhika, Tasya sudah sampai, saya pamit." Yoga keluar dari ruangan setelah mendapat anggukan dari Radhika.Tasya menatap Radhika tajam. Sedangkan Radhika hanya meliriknya sekilas kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, dia seakan tidak peduli dengan kehadiran Tasya.
Esok harinya, Tasya merasa pusing sekali ketika dia bangun tidur. Semalam dia begadang sambil maraton drama sampai jam lima pagi. Benar-benar hidup seperti seorang pengangguran.Hari ini adalah hari keduanya sebagai seorang pengangguran. Ayahnya sudah berangkat ke kedai beberapa jam yang lalu. Tapi sebelumnya dia memarahi Tasya terlebih dahulu. Karena tadi dia sulit dibangunkan. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Tasya kembali tidur dan baru bangun beberapa menit yang lalu.Tasyamenghela napaslalu membuka kulkas. Dia mengambil apel yang ada dikulkas lalu memakannya. Ayahnya belum tau kalau dia sudah dipecat. Yang ayahnya tau hari ini dia sedang cuti, karena semalam Rakamembantunya berbicara pada ayahnyabahwa dia akan cuti beberapa hari.Tasyapergi ke kamarnya untuk mengambil laptopnya, setelah itu dia pergi ke ruang tengah. Dia menyimpan laptopnya di meja lalu duduk bersila di karpet. Dia akan mencari pekerjaan di webs
Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekaran
"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya."Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai."Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah mahakarya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya."Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi."Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang