Share

Mr. Radhika
Mr. Radhika
Penulis: Levi Skaa

01. Meledak

Menunggu. Siapa pun pasti tidak menyukai hal itu. Terlebih lagi menunggu hal tidak pasti, seperti yang sedang dilakukan Anindira Tasya Kirania. Gadis ini sedang duduk menunggu ditemani rasa bosan dan kantuk. Ponselnya sudah kehabisan daya dari lima belas menit yang lalu. Jadi tidak ada yang bisa dia lakukan selain meratapi nasib.

Semalam, orang yang tidak ingin Tasya sebutkan namanya, mengirimnya pesan. Orang menyebalkan itu memintanya untuk datang pukul tiga sore ke kantornya. Namun sekarang, jam besar di dinding dekat dengan meja resepsionis menujukan pukul lima lewat sepuluh menit, dan orang yang mengajaknya bertemu belum menunjukkan batang hidungnya. Kampret memang.

Saat Tasya bertanya pada resepsionis, wanita itu memang memberi tahu kalau Radhika sedang rapat. Tetapi, seharusnya Radhika memberi kabar sebelumnya, jadi dia tidak akan datang dengan terburu-buru seperti tadi. Bahkan, saat perjalanan kemari Tasya meminta supir ojek online memacu kecepatan, alias ngebut.

Namun pada akhirnya, Tasya tetap harus merasa bersyukur. Dengan inisiatif Radhika mengajaknya bertemu, itu sudah kemajuan yang sangat pesat dan perlu melakukan syukuran. Tetapi tentu saja hal itu tidak akan Tasya lakukan, masih terlalu dini untuk senang.

“Tasya….” Seorang pria paruh baya menghampirinya, bisa diperkirakan berumur sekitar empat puluh lima tahun. “Saya Yoga, sekretaris Pak Radhika. Mari saya antar.”

Tasya mengangguk lalu berdiri. Dia sedikit memperbaiki penampilannya. Bertemu dengan Radhika memang selalu membuatnya gugup, padahal jika Tasya sendirian, dia sering mengatakan hal-hal buruk tentang Radhika dalam hati.

Sekarang adalah jam pulang kantor, jadi saat menuju ke ruangan Radhika. Tasya berpapasan dengan karyawan-karyawan yang bekerja di sini. Sebagian besar orang yang berpapasan dengannya adalah laki-laki. Mungkin karena ini adalah perusahaan yang bergerak di dunia gaming.

Kini Tasya dan Yoga sedang berada di lift, hanya ada mereka berdua. Yoga menekan angka sembilan. Lift mulai bergerak. Tasya mengamati layar kecil di samping deretan angka, yang terus berubah. Sekarang angka tersebut menunjukkan angka tujuh. Hal itu membuat perasaan Tasya semakin tidak keruan.

Tasya mendengar suara dentingan, tak lama setelah itu, lift terbuka. Jantung Tasya berdegup kencang, dan Yoga hanya terus berjalan, tanpa ada niat untuk membantunya menenangkan diri.

Sebenarnya Tasya juga tidak mengerti kenapa dia harus gugup. Radhika jelas lebih muda darinya, selisih usia mereka adalah lima tahun. Di bandingkan dengan dirinya, Radhika itu masih seperti bocah bau kencur.

Karena Tasya terlalu sibuk dengan pikirannya, dia tidak sadar kalau sekarang dirinya sedang berdiri di depan sebuah pintu besar. Ada sebuah papan bertuliskan nama lengkap Radhika serta jabatannya.

Yoga mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Perasaan gugup Tasya meningkat saat dia mendengar sebuah suara yang menyuruh mereka masuk

Yoga membuka pintu dan dia bisa melihat Radhika sedang duduk di meja kerjanya. Dia tidak melihat ke arah mereka. Jam kantor sudah selesai, tetapi Radhika masih sibuk. Matanya fokus pada sesuatu yang ada di meja kerjanya, sedangkan tangan kirinya memengang bolpoin dan beberapa kali bergerak seperti sedang mencorat-coret kertas.

Tasya baru mengetahui satu hal yang menarik, ternyata Radhika itu kidal.

"Duduklah." Tangan Radhika menunjuk sebuah sofa putih di sebelah kiri Tasya.

Tasya segera menuruti perkataan Radhika. Dia tidak menyadari bahwa Yoga sudah tidak ada di ruangan ini. Sepertinya dia terlalu memperhatikan Radhika sehingga dia baru sadar kalau sekarang mereka hanya tingal berdua.

Radhika berbangkit dari kursinya, dan segera menghampiri Tasya. Dia duduk di sofa kecil di samping kanan Tasya.

"Langsung aja." Radhika membuka pembicaraan. "Kita enggak punya urusan, jadi sebaiknya kamu enggak perlu datang dan ganggu hidup saya lagi."

Tasya mencerna setiap kata yang diucapkan Radhika. Butuh beberapa detik untuk memahami maksud perkataan Radhika. Dan setelah dia mengerti maksud perkataan Radhika, Tasya melotot.

'Apa-apaan ini?' batinnya,dia tidak bisa menerimanya. Setelah menunggu selama dua jam, dia malah mendapat sambutan yang sangat ‘hangat’. Tasya menarik napas, guna menenangkan diri. 

"Maksudnya gimana?" Tasya bertanya dengan hati-hati. Takut-takut jika salah berbicara maka semua pengorbanan selama dua minggu ini akan sia-sia. Sabar adalah kunci untuk berhadapan dengan makhluk macam Radhika.

"Kita enggak perlu ketemu lagi." Radhika mengatakan hal itu dengan datar namun penuh penekanan di setiap kata yang dia ucapkan, seolah itu adalah sebuah perintah dan Tasya tidak boleh menolaknya.

"Tapi … kenapa?"

Tasya merasa dirinya tidak melakukan hal-hal buruk. Kecuali mengata-ngatai Radhika, tapi itu pun dia lakukan di dalam hati atau di depan sahabatnya. Tetapi, dia yakin Radhika tidak tahu itu. Karena Raka tidak mungkin mengatakannya pada Radhika, mereka tidak saling kenal.

"Saya udah bilang, kita ini enggak punya urusan apa pun." Radhika mulai merasa kesal. "Sekarang kamu boleh pergi." Radhika mengarahkan tangannya ke arah pintu, meminta Tasya keluar dari ruangannya.

Namun Tasya hanya diam. Dia tidak mengindahkan pengusiran dari Radhika. Dia masih mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah dia perbuat, sehingga Radhika bersikap seperti ini. Yang dia ingat pertemuan terakhir mereka berakhir baik. 

"Kenapa kamu diam aja?" Radhika semakin kesal melihat Tasya yang hanya bergeming di tempat duduknya.

Tasya tiba-tiba teringat sesuatu. “Dhika. Apa ini gara-gara hari itu aku ngirim SMS kemaleman? Aku minta maaf kalau aku enggak sopan.”

Beberapa waktu yang lalu Tasya mengirim pesan pada Radhika. Pesan absurd yang pikirkan selama tiga jam. Isi pesan itu adalah ‘Ini aku Tasya. Ayo kita berteman’. Tasya mengirimkan pesan itu pukul setengah dua belas malam. Dia menjadi malu sendiri.

“Aku kan udah kirim permintaan maaf juga. Kamu jangan dendam dong. Niat aku baik, kok. Cuman pengin temenan aja.”

"Temenan?" Radhika mendengus. Lucu sekali.

"Iya, temenan." Tasya berusaha memberikan senyum terbaik miliknya. Hal yang sering dia lakukan pada anak-anaknya ketika sedang ingin membujuk mereka.

"Kamu pikir, kamu siapa?"

Mata Tasya membulat mendengar respons dari Radhika. Dia merasa sakit hati. Apa yang membuatnya terlihat rendah di mata Radhika, Tasya tidak mengerti. Walaupun Tasya sebal pada bocah ini, bukankah di depan Radhika dia selalu bersikap baik, dan walaupun dia sering memaki Radhika dalam hati, tapi pada akhirnya dia selalu memaklumi sikapnya.

"Aku tau, kamu mungkin enggak suka aku. Tapi itu karena kita belum saling kenal, ya kan?" Tasya mencoba mengalah, membuang semua ego dan harga dirinya. Walau sakit hati, tapi dia mencoba untuk tetap tenang dan mengalah.

"Kamu butuh berapa?" Radhika berdiri dan menatap Tasya dengan pandangan meremehkan.

Tasya mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti arah pembicaraan Radhika sekarang.

"Kamu butuh uang, kan? Sebutkan jumlahnya. Berapa pun enggak masalah, asal kamu pergi dari kehidupan─"

Perkataan Radhika terhenti karena sebuah tamparan mendarat di pipinya. Radhika terkejut saat Tasya menamparnya dengan cukup keras.

"Gue enggak butuh duit lo, berengsek!" Tasya berteriak. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya.

Radhika melihat Tasya keluar dengan terburu-buru dan dia merasa senang. Dengan begini Tasya jelas akan membencinya dan tidak ada alasan untuk berurusan dengannya lagi.

Radhika memegangi pipinya yang terasa kebas. Tamparan Tasya cukup kuat sehingga kulitnya terasa panas. Dia mengusap perlahan pipi yang ditampar Tasya. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang ganjil.

Entah kenapa tubuhnya tidak beraksi apa-apa saat ditampar Tasya. Dia sempat berpikir hal ini disebabkan oleh rasa sakit di pipinya. Tapi jika dipikir lagi, itu tidak masuk akal.

"Apa mungkin .…" Radhika tertegun. Dia harus segera memastikannya.

Dengan segera Radhika menghampiri meja kerjanya. Dia berniat menelepon sekretarisnya. Dia sangat berharap dugaannya kali ini tidak salah. Karena jika benar begitu, dia akan sangat senang karena salah satu beban beratnya hilang.

"Om, tolong pesankan sebuah kamar dan seorang wanita untuk malam ini, jam tujuh." Setelah mendengar jawaban dari sekretarisnya, Radhika langsung menutup teleponnya.

'Semoga saja,' batinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status