Mira menenggelamkan diri di bath tub.
Sementara itu Alan yang merasa galau dengan pertengkaran hebat di antara dirinya dengan Mira merasa bersalah, ia memutuskan untuk pergi mencari Mira dan menuntaskan semuanya hari ini.
Alan memiliki rencana akan menikahi Miya secepatnya, ia tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi. Alan berjalan menaiki tangga dengan hati bimbang gundah gulana, ia takut rencananya akan gagal.
Ia masuk kedalam kamarnya, tempat di mana dirinya dengan Mira sering berdiskusi mengenai banyak hal, terutama tentang pekerjaan. Kadang ide-ide yang Mira berikan sangat cemerlang, membuat perusahaan maju dengan pesat hanya dalam waktu singkat.
Alan melihat di dalam kamarnya kosong, ia tidak menemukan Mira di sana. Lalu Alan keluar kamar dan memutuskan untuk mencari di tempat lain.
Alan tahu persis tempat favorite istrinya, yaitu taman belakang. Di sanalah ia banyak menghabiskan waktu dengan menanam bunga dan merawatnya. Taman bunga yang sangat indah, ada begitu banyak tanaman hias di sana, bahkan Mira berencana akan membangun rumah kaca hanya untuk menanam berbagai jenis tanaman hias langka, tinggal menunggu waktu saja.
Alan pergi ke taman tapi ia tetap tidak menemukan Mira, ia mulai panik. Alan dengan berlari kembali menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya sekali lagi.
Ia menajamkan telinganya di balik daun pintu untuk mendengakan gemericik air, tapi sunyi tak ada suara air yang jatuh. Alan merasa penasaran ia tetap masuk ke dalam kamar mandi dan saat menyingkap tirai pembatas ia menemukan Mira dalam keadaan tenggelam.
"Mira!" panggil Alan sambil berlari menghampiri bath tub.
Alan bergegas mengangkat Mira dari dalam buth tub, ia membaringkan tubuh dingin istrinya di lantai kamar mandi. Alan mengecek nafasnya dengan menempelkan kuping ke hidung Mira, Alan masih merasakan hembusan nafasnya. Alan memperhatikan dadanya yang masih naik turun dan ia juga mengecek denyut nadinya yang mulai melemah.
"Mira, apa yang kamu pikirkan sayang," sesal Alan, lalu ia memberikan nafas buatan pada Mira dengan cara menjepit hidungnya lalu mengatupkan bibir, dan mendekatkan ke mulut Mira.
Alan mengulang-ulang tindakannya memberi nafas buatan untuk Mira, selain itu ia juga melakukan tindakan CPR pada Mira. Alan memposisikan telapak tangan kiri ada di bawah tangan kanan, lalu ia meletakkan di tengah dada Mira dan menekannya sekitar 4-5 cm. Alan terus mengulang-ulang tindakannya. Hingga Mira memuntahkan seteguk air dari mulutnya.
Mira terbatuk hingga beberapa kali, Alan membantunya dengan memiringkan tubuhnya kesamping. Mira membuka matanya, ia melihat suaminya sedang tersenyum mengejek takdirnya.
"Kenapa kamu menyelamatkanku? Kenapa tidak kamu biarkan saja aku mati dengan membawa luka hati ini?" isak tangis Mira pecah, ia kembali melehkan cairan bening di matanya.
"Apa yang kamu katakan? Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sisiku, Mira! Sampai kapanpun! Bahkan aku akan menghadang kedatangan malaikat maut untukmu," ucapan Alan sungguh menyentuh hati, seandainya hal yang ia katakan sebelum datangnya badai mungkin Mira akan merasa terharu.
Namun sayang ucapan Alan justru membuat Mira jijik dan muak. Alan mendekap tubuh polos istrinya dipelukannya.
"Lepaskan Mas, sudah aku katakan padamu jangan pernah menyentuhku lagi," pinta Mira dengan suara lemah dan lirih.
Alan tidak menggubris ucapan Mira, ia mendekapnya semakin erat. Ia mengecup kening Mira lembut, dan mulai menyusuri ke tempat lainnya, hingga sampailah di bibir kenyal milik Mira, ia melumatnya.
"Aku kedinginan Mas, antarkan aku ke tempat tidur," pinta Mira beralasan.
Alan menghentikan aktifitasnya, ia kemudian membopong Mira dan merebahkannya di atas kasur berukuran king size. Alan menyelimuti Mira dengan selimut tebal yang ada di atas kasur. Kemudian Alan mencari baju piyama untuk Mira dan mengenakannya.
"Aku akan memanggil Dokter Rian," ucap Alan.
"Tidak usah Mas, aku tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat saja," tolak Mira.
"Baiklah. Kamu mau apa? Biar Mas belikan atau ambilkan," tawar Alan sambil mendekat duduk di samping Mira, tangannya meraih telapak tangan Mira yang dingin dan pucat, kemudian ia menggosok-gosokkannya agar hangat.
"Tidak usah Mas! Aku hanya ingin tidur," tolak Mira.
Alan bangkit dari duduknya, lalu ia membenahi selimut Mira hingga sampai dadanya.
"Baik. Tidurlah," ucap Alan. Ia menemani Mira hingga memjamkan matanya dan terlelap tidur.
Mira terbangun di tengah malam karena merasa haus dan perutnya melilit minta diisi. Mira bangun dari tidurnya, ia duduk di tepi ranjang dengan kaki menjuntai. Kepalanya terasa begitu berat, Mira memegangi kepalanya yang pusing.
"Ssstthhh ..., pusing sekali," desis Mira lirih sambil menjambak rambut di kepalanya agar bisa mengurangi rasa pening dan pusing yang kini ia rasakan. Matanya menyipit.
Mira menoleh ke samping tempat tidurnya, masih rapi dan tidak ada tanda-tanda bekas di tiduri. Mira tidak merasa heran dengan tidak adanya Alan di sampingnya, karena ia sering kali tidur ketika waktu menjelang tengah malam bahkan hampir subuh.
Mira mencoba berdiri perlahan, kakinya ia seret mendekat ke pintu dan membukanya. Mira berjalan menuruni anak tangga dengan berpegangan pada sisi tembok.
"Duh lapar banget, semoga Bi Munah menyisakan makanan yang bisa aku makan," gumam Mira.
Ia pergi ke dapur dengan melewati ruang tengah dan ruang kerja suaminya, ia melirik ke ruang kerja suaminya tanpa ingin mencarinya.
Mira sampai di dapur betapa terkejutnya ia.
Mira sampai di dapur betapa terkejutnya ia ketika mendapati dapurnya berantakan. Peralatan masak berserakan di mana-mana, teflon kesayangannya nampak gosong menyisakan makanan yang tak bisa di makan sama sekali.Sutil tergeletak di lantai begitu saja, ada begitu banyak nasi yang tercecer di mana-mana. Centong nasi ada di atas kompor bersama dengan piring.Mira pergi menuju meja makan, di sana tidak kalah jauh berantakannya. Ada makanan yang masih bersisa banyak di meja, piring kotor dan gelas teronggok begitu saja tanpa dibereskan.Rasa laparnya hilang menguap bersamaan dengan datangnya amarah yang menyesakkan dadanya. Mira berpikir siapa lagi yang mampu melakukan semua ini kalau bukan Miya, mantan kekasih suaminya yang kini tinggal serumah dengannya.Mira berulang kali mengelus dadanya yang terasa nyeri akibat menahan marah, ia pergi ke kamar Miya yang letaknya dekat dengan ruang tamu, ia melangkahkan kakinya mantap.Setibanya di depan pintu kamar Miya, tangan Mira yang seyogyanya he
BRAK! Mira menabrak pagar pembatas jalan, kepalanya membentur stir mobil. Rasa sakit dan pening di kepalanya menjalar hingga memenuhi seluruh isi kepalanya. Dunianya tiba-tiba gelap gulita. Mira mengangkat kepalanya sejenak sebelum kemudian ia mabruk dengan membentur kembali stir mobil. Mira terkulai lemas dan tak berdaya, ia sudah tak sadarkan diri. Darah mengucur dari pelilisnya.Sementara itu, si pengendara motor yang nyaris tertabrak mobil Mira bangkit. Ia memegangi sikutnya yang lecet akibat bergesekan dengan aspal. Ia meringis menahan perih dan nyeri.Ia menghampiri mobil jenis sedan itu. Ia melihat kap mobilnya terbuka dan mengepulkan asap, rupanya benturan itu lumayan cukup keras.Ia mencoba untuk membuka pintu mobil dan ingin melihat kondisi Mira, tapi sayang mobilnya terkunci. Laki-laki itu membuka helmnya dan ia mengintip dari kaca jendela yang gelap. Samar-samar ia melihat Mira yang masih bergeming tak bergerak.Rasa khawatir menelusup dalam hatinya, ia berlari mendekati
PLAK ...! Sebuah tamparan mendarat di pipinya Mira. Mencetak lima jari persis seperti habis di stempel jari berwarna merah. Nafas Mira memburu, ia tidak menyangka sama sekali kalau ia akan mendapatkan sebuah tamparan tepat di hadapan selingkuhan suaminya. Miya tersenyum mengejek puas ke arah Mira. Mira menahan sesak di dadanya, ia meraih jarum infus yang terpasang di punggung tangannya dan langsung mencabutnya, lalu ia melempar Standar Infus itu ke arah Alan tanpa menghiraukan rasa sakit di punggung lengannya. Alan mengelak dan justru Standar Infus itu malah mengenai Miya yang sedang berlindung di belakangnya. Standar Infus itu tepat mengenai kepalanya Miya, dan Miya pun menjerit kesakitan dan langsung menangis mengadu pada Alan. Jelas saja Alan langsung meradang marah saat mendapati kepala kekasihnya benjol akibat terkena Standar Infus. Alan kembali marah tanpa pikir panjang ia langsung menyerang Mira. Tamparan demi tamparan mendarat di pipi Mira, ia bak orang yang kesetanan terus
Mata Mira membola penuh, nafasnya terasa sesak. Ia tak pernah menyangka kalau pasangan durjana itu benar-benar tak memiliki adab sama sekali. Lutut Mira terasa lemas, ia menahan gejolak di dadanya dengan meremas keras dadanya yang berdenyut nyeri saat melihat pasangan durjana itu tengah bergumul dengan berdiri. Mira memalingkan wajahnya, ia membalikkan badannya hendak pergi dari sana. Tapi, ia mengurungkan niatnya. Tiba-tiba sebuah ide gila muncul di benaknya. Mira merogoh kantong celana kulotnya, ia mengeluarkan benda pipih miliknya. Kemudian ia mengarahkan ponselnya ke mereka yang sedang fokus bercinta. Mira tidak memfotonya tapi ia langsung memvideokannya. Suara desahan dan lenguhan terdengar menusuk telinga Mira, sekuat tenaga ia menahan rasa sakit di hatinya. Tangannya bergetar, ia menahan ponselnya yang tengah merekam dengan kedua tangannya. Map yang ia bawa di jepit di ketiaknya. "Kamu benar-benar hebat sayang," rayu Alan sambil terus menggenjot tubuh Miya. "Kamu juga mas
Alan yang melihat Miya teriak histeris menjadi marah dan maju menghadang gerakan Mira yang akan kembali memukul Miya, PLAK! sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipinya. Kembali Mira mendapatkan cap stempel jari merah milik Alan, tamparan Alan sangat keras sampai membuat kepala Mira miring ke samping. Mira merasa kepalanya pening dan pusing, baru saja ia kembali dari rumah sakit bahkan perban di kepalanya saja belum di buka. Kini ia harus kembali merasakan sakit di kepalanya akibat tamparan keras dari Alan. Tidak hanya merasa pusing, ia juga merasa pipinya panas dan perih, Mira mengelus pipinya. Kali ini ia tidak menangis justru malah tertawa dan menantang Alan dengan sangat berani. "Kamu sekarang sudah berani menamparku, Mas?! Bahkan berulang kali kamu melakukannya. Hanya demi seorang pelakor murahan sepertinya!" sebuah tawa mengejek, mengiringi ucapannya. "Kamu yang sudah berani melawanku, Mira! Jangan pernah mengatakan Miyaku sebagai pelakor murahan!" teriak Alan marah s
Hati Mira mencelos saat mengetahui sebuah fakta bahwa dirinya hanya di jadikan sebagai pelarian semata oleh suaminya Alan.Mira ingat betul saat pertama kali mereka bertemu, Alan tengah tergeletak tak berdaya di pinggir jalan depan gang sempit di mana ia ngekos. Angannya berkelana jauh membumbung ke angkasa menembus cakrawala jingga.Flashback On"Jauhi adikku, bangsat!" teriak Farrel sambil menodongkan moncong pistol tepat ke kepala Alan."Aku tidak akan melakukannya!" balas Alan tak kalah sengit.Sorot matanya tidak sedikit pun menunjukan rasa takut, bahkan ia menantang Farrel dengan menyodorkan kepalanya lebih dekat lagi ke moncong pistol yang Farrel arahkan padanya."Itu artinya kamu bersiap untuk meringkuk dijalanan dengan tubuh yang sudah menjadi mayat!" sinis Farrel."Lakukan saja! Jika ingin anak dari adikmu ingin menjadi yatim!" ucap Alan dengan nada mengejek."Apa maksud dari ucapanmu itu, bangsat?!" kembali Farrel berteriak dengan penuh emosi.Alan tidak langsung menjawab p
Bruk!! Alan ambruk ke tanah, ia meringkuk memegangi pahanya yang ia rasakan begitu sangat panas. Darah segar menyembur muncrat mengalir dari luka tembak itu."Ayo pergi!" perintah Farrel kepada mereka para pengawalnya."Siap Bos!" jawab mereka bersamaan.Tanpa membantah mereka pun pergi mengikuti tuannya, mereka meninggalkan Alan yang tengah meringkuk sambil merintih kesakitan dipinggir jalan yang sepi."Sstthh!" rintih Alan ditengah kesakitan yang ia rasakan.Malam kian larut, suasana di daerah itu sudah sepi. Gerimis yang rintik-rintik menambah suasana semakin sunyi dan mencekam. Sepertinya mereka enggan untuk keluar rumah dan memilih untuk berkumpul bersama keluarga mereka sambil menonton acara TV atau sambil bersenda gurau bersama.Mira gadis pelayan sebuah cafe berjalan menyusuri trotoar, mulutnya tiada henti bersungut-sungut."Dasar tukang ojek tidak tahu diri, minta di turunkan depan kontrakan malah di turunkan di jalan," sungut Mira kesal."Mana hujan, sepi lagi," ucap Mira sa
Ia merogoh saku celana jeansnya dan meraih ponsel lalu menyalakan lampu senter yang ada di ponselnya, ia menyorotkan cahayanya ke sosok yang sedang meringkuk di tengah genangan darah. "Aaahhhh!" teriak Mira terkejut. Ia memundurkan tubuhnya dan menatap lekat ke arah sosok itu. Mira kembali mengarahkan cahaya itu kali ini ia menyoroti ke wajah orang itu. "Sepertinya ia tukang ojek online yang dibegal," gumam Mira lirih. Dengan takut-takut Mira mendekat dan memeriksa nafas sosok itu yang ternyata ia adalah Alan. Ia memeriksa urat nadinya, dan Mira merasakan denyut nadinya begitu lemah. Mira menghubungi sahabatnya yang menjadi supir taxi online. "Halo Dara, kamu masih bangun 'kan?" tanya Mira. "Masih, kenapa? Mau aku antar kemana?" jawab Dara. "Tolong datang ke depan gang kontrakanku sekarang juga! Jangan pake lama!" perintah Mira pada temannya. "Ada apa?" tanya Dara. "Sudah cepetan cap cus jangan banyak tanya, ini sangat urgent!" perintah Mira. Lalu ia menutup sambungan telepo