Mira sampai di dapur betapa terkejutnya ia ketika mendapati dapurnya berantakan. Peralatan masak berserakan di mana-mana, teflon kesayangannya nampak gosong menyisakan makanan yang tak bisa di makan sama sekali.
Sutil tergeletak di lantai begitu saja, ada begitu banyak nasi yang tercecer di mana-mana. Centong nasi ada di atas kompor bersama dengan piring.
Mira pergi menuju meja makan, di sana tidak kalah jauh berantakannya. Ada makanan yang masih bersisa banyak di meja, piring kotor dan gelas teronggok begitu saja tanpa dibereskan.
Rasa laparnya hilang menguap bersamaan dengan datangnya amarah yang menyesakkan dadanya. Mira berpikir siapa lagi yang mampu melakukan semua ini kalau bukan Miya, mantan kekasih suaminya yang kini tinggal serumah dengannya.
Mira berulang kali mengelus dadanya yang terasa nyeri akibat menahan marah, ia pergi ke kamar Miya yang letaknya dekat dengan ruang tamu, ia melangkahkan kakinya mantap.
Setibanya di depan pintu kamar Miya, tangan Mira yang seyogyanya hendak mengetuk pintu menggantung di udara. Ia mengurungkan niatnya.
Mira mendengar suara canda tawa antara suaminya dan Miya, mereka tertawa bahagia bersama.
"Awhh! Geli Mas," ucap Miya di barengi dengan tawa manja.
"Ihh ..., kamu nakal," sambung Miya.
"Habisnya kamu ngegemesin, aku rindu banget sama kamu. Hampir gila aku menunggumu, aku terus mencarimu tiada henti. Bahkan aku membayar mahal seorang detektif untuk bisa menemukanmu," ucap Alan.
"Aku selama ini tidak bisa pergi kemanapun, suamiku pencemburu dan kejam. Ia selalu menyiksaku dan memukuliku, Mas" terdengar isak tangis dari dalam kamar itu.
"Beruntung aku bertemu denganmu waktu itu, kalau tidak entahlah!" lirih Miya suaranya terdengar begitu menyedihkan.
Mira yang menguping di balik pintu merasa shock, ternyata suaminya selama ini terus berusaha mencari Miya tanpa sepengetahuannya. 'Bahkan berani membayar mahal seorang detektif?'
"Ahh ..., Mas," desah Miya sedetik kemudian.
Baru saja ia tadi menceritakan kesusahan dan kesedihannya, sekarang Mira justru mendengar desahan dari wanita itu.
"Ssshhh ... ahhh, terus Mas. Aku menginginkannya, lagi Mas!" racau Miya di sela desahan panjangnya.
Entah apa yang sedang mereka lakukan berdua dalam kamar, Mira mendengar suara-suara itu bagaikan di sambar petir di siang bolong.
"Sejak kapan kamu melakukan ini semua di belakangku Mas?" tanya Mira lirih.
Kembali cairan bening itu menerobos keluar dengan bejejalan, ia membekap mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangannya agar isak tangisnya tak terdengar. Hanya tubuh ringkihnya yang terlihat berguncang dahsyat menahan sesak di dada.
"Ahh ... terus Miya sayang, ya begitu. Aku rindu saat kamu melakukan ini, kini terobati sudah rinduku." ceracau Alan.
"Bagaimana sayang, kamu suka?" tanya Miya.
"Ya! Aku suka sekali, ahhh ...," desah Alan panjang.
Suara Alan dan Miya saling bersahutan, desahan, desisan dan racauan mereka menggema di telinga Mira. Ia luruh di lantai, kakinya sudah tak mampu lagi menopang dan menahan beban tubuhnya. Dadanya terasa begitu sakit dan sesak, ia meremas dadanya kuat-kuat.
Ia sudah tak tahan lagi mendengarnya, Mira memutuskan untuk pergi dari sana. Tapi langkahnya terhenti ketika ia mendengar pengakuan yang keluar dari mulut busuk suaminya.
"Kamu memang hebat sayang, goyanganmu sungguh tiada tandingannya tidak seperti Mira yang seperti gedebong pisang. Ia hanya pasrah saja tanpa melakukan apa pun, kamu berbeda sayang, aku selalu bergairah saat dekat denganmu," Alan bercerita keburukan Mira di depan Miya yang akan menjadi adik madunya.
Mira menundukan kepalanya, ia merasa harga dirinya sudah hancur. Ucapan Alan akan menjadi cibiran untuknya, Miya akan semakin merasa tinggi hati dan sombong, ia akan merasa dirinyalah yang paling berharga di mata suaminya.
"Kamu sungguh terlalu Mas. Kenapa sampai hal yang tabu sekalipun kau ungkapkan di depan mantan kekasihmu," lirih Mira.
"Aku pun bisa melakukan hal yang lebih seandainya kamu memberiku kesempatan, tapi apa yang aku terima selama ini Mas, sebuah penolakan yang terus berulang setiap kali aku meminta dan menggodamu. Sejuta alasan akan kamu lontarkan, sakit hati ini saat mendapat penolakan darimu, Mas" rintih Mira, air matanya terus menetes tanpa henti.
"Benarkah?" ucap Miya, rasanya ia tak percaya dengan apa yang Alan ucapkan.
"Terus goyang sayang, ya seperti itu. Kamu memang terbaik ..., ahhhh," desah Alan yang di sauti oleh Miya.
"Aku mau keluar Mas, ahhhh ...," desah Miya.
"Aku juga, ahhh ...," dibalas desahan Alan.
Dan mereka pun terkulai lemas, Mira tidak tahu sejak kapan mereka memulainya. Yang ia tahu bahwa saat ini rasa sakit hatinya semakin parah.
Mira menyeret langkah kakinya, ia dengan langkah gontai menaiki anak tangga. Air matanya terus mengalir, sesekali punggung tangannya menyeka air matanya.
Mira masuk ke kamarnya, ia berdiri di depan jendela kaca besar. Ia membuka gordennya dan menatap kosong ke luar, yang nampak hanya pekatnya malam.
Mira mengela nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kasar, ia butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Mira memutuskan untuk pergi, ia berjalan keluar kamar setelah menyambar kunci mobil miliknya. Dalam keadaan kalut, ia pergi mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menembus gelapnya malam.
Ia terus menyeka air matanya yang terus mengalir membanjiri pipinya, ucapan Alan terus terngiang-ngiang di telinganya. Ia berteriak sekuat tenaga untuk melepaskan beban di hatinya.
"Arrrggghhhh!" teriak Mira sambil memukul kencang setir mobil di depannya.
Konsentrasinya pecah, ia kehilangan fokus dan tiba-tiba dari arah depan datang sebuah sepeda motor dan BRAK!!
BRAK! Mira menabrak pagar pembatas jalan, kepalanya membentur stir mobil. Rasa sakit dan pening di kepalanya menjalar hingga memenuhi seluruh isi kepalanya. Dunianya tiba-tiba gelap gulita. Mira mengangkat kepalanya sejenak sebelum kemudian ia mabruk dengan membentur kembali stir mobil. Mira terkulai lemas dan tak berdaya, ia sudah tak sadarkan diri. Darah mengucur dari pelilisnya.Sementara itu, si pengendara motor yang nyaris tertabrak mobil Mira bangkit. Ia memegangi sikutnya yang lecet akibat bergesekan dengan aspal. Ia meringis menahan perih dan nyeri.Ia menghampiri mobil jenis sedan itu. Ia melihat kap mobilnya terbuka dan mengepulkan asap, rupanya benturan itu lumayan cukup keras.Ia mencoba untuk membuka pintu mobil dan ingin melihat kondisi Mira, tapi sayang mobilnya terkunci. Laki-laki itu membuka helmnya dan ia mengintip dari kaca jendela yang gelap. Samar-samar ia melihat Mira yang masih bergeming tak bergerak.Rasa khawatir menelusup dalam hatinya, ia berlari mendekati
PLAK ...! Sebuah tamparan mendarat di pipinya Mira. Mencetak lima jari persis seperti habis di stempel jari berwarna merah. Nafas Mira memburu, ia tidak menyangka sama sekali kalau ia akan mendapatkan sebuah tamparan tepat di hadapan selingkuhan suaminya. Miya tersenyum mengejek puas ke arah Mira. Mira menahan sesak di dadanya, ia meraih jarum infus yang terpasang di punggung tangannya dan langsung mencabutnya, lalu ia melempar Standar Infus itu ke arah Alan tanpa menghiraukan rasa sakit di punggung lengannya. Alan mengelak dan justru Standar Infus itu malah mengenai Miya yang sedang berlindung di belakangnya. Standar Infus itu tepat mengenai kepalanya Miya, dan Miya pun menjerit kesakitan dan langsung menangis mengadu pada Alan. Jelas saja Alan langsung meradang marah saat mendapati kepala kekasihnya benjol akibat terkena Standar Infus. Alan kembali marah tanpa pikir panjang ia langsung menyerang Mira. Tamparan demi tamparan mendarat di pipi Mira, ia bak orang yang kesetanan terus
Mata Mira membola penuh, nafasnya terasa sesak. Ia tak pernah menyangka kalau pasangan durjana itu benar-benar tak memiliki adab sama sekali. Lutut Mira terasa lemas, ia menahan gejolak di dadanya dengan meremas keras dadanya yang berdenyut nyeri saat melihat pasangan durjana itu tengah bergumul dengan berdiri. Mira memalingkan wajahnya, ia membalikkan badannya hendak pergi dari sana. Tapi, ia mengurungkan niatnya. Tiba-tiba sebuah ide gila muncul di benaknya. Mira merogoh kantong celana kulotnya, ia mengeluarkan benda pipih miliknya. Kemudian ia mengarahkan ponselnya ke mereka yang sedang fokus bercinta. Mira tidak memfotonya tapi ia langsung memvideokannya. Suara desahan dan lenguhan terdengar menusuk telinga Mira, sekuat tenaga ia menahan rasa sakit di hatinya. Tangannya bergetar, ia menahan ponselnya yang tengah merekam dengan kedua tangannya. Map yang ia bawa di jepit di ketiaknya. "Kamu benar-benar hebat sayang," rayu Alan sambil terus menggenjot tubuh Miya. "Kamu juga mas
Alan yang melihat Miya teriak histeris menjadi marah dan maju menghadang gerakan Mira yang akan kembali memukul Miya, PLAK! sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipinya. Kembali Mira mendapatkan cap stempel jari merah milik Alan, tamparan Alan sangat keras sampai membuat kepala Mira miring ke samping. Mira merasa kepalanya pening dan pusing, baru saja ia kembali dari rumah sakit bahkan perban di kepalanya saja belum di buka. Kini ia harus kembali merasakan sakit di kepalanya akibat tamparan keras dari Alan. Tidak hanya merasa pusing, ia juga merasa pipinya panas dan perih, Mira mengelus pipinya. Kali ini ia tidak menangis justru malah tertawa dan menantang Alan dengan sangat berani. "Kamu sekarang sudah berani menamparku, Mas?! Bahkan berulang kali kamu melakukannya. Hanya demi seorang pelakor murahan sepertinya!" sebuah tawa mengejek, mengiringi ucapannya. "Kamu yang sudah berani melawanku, Mira! Jangan pernah mengatakan Miyaku sebagai pelakor murahan!" teriak Alan marah s
Hati Mira mencelos saat mengetahui sebuah fakta bahwa dirinya hanya di jadikan sebagai pelarian semata oleh suaminya Alan.Mira ingat betul saat pertama kali mereka bertemu, Alan tengah tergeletak tak berdaya di pinggir jalan depan gang sempit di mana ia ngekos. Angannya berkelana jauh membumbung ke angkasa menembus cakrawala jingga.Flashback On"Jauhi adikku, bangsat!" teriak Farrel sambil menodongkan moncong pistol tepat ke kepala Alan."Aku tidak akan melakukannya!" balas Alan tak kalah sengit.Sorot matanya tidak sedikit pun menunjukan rasa takut, bahkan ia menantang Farrel dengan menyodorkan kepalanya lebih dekat lagi ke moncong pistol yang Farrel arahkan padanya."Itu artinya kamu bersiap untuk meringkuk dijalanan dengan tubuh yang sudah menjadi mayat!" sinis Farrel."Lakukan saja! Jika ingin anak dari adikmu ingin menjadi yatim!" ucap Alan dengan nada mengejek."Apa maksud dari ucapanmu itu, bangsat?!" kembali Farrel berteriak dengan penuh emosi.Alan tidak langsung menjawab p
Bruk!! Alan ambruk ke tanah, ia meringkuk memegangi pahanya yang ia rasakan begitu sangat panas. Darah segar menyembur muncrat mengalir dari luka tembak itu."Ayo pergi!" perintah Farrel kepada mereka para pengawalnya."Siap Bos!" jawab mereka bersamaan.Tanpa membantah mereka pun pergi mengikuti tuannya, mereka meninggalkan Alan yang tengah meringkuk sambil merintih kesakitan dipinggir jalan yang sepi."Sstthh!" rintih Alan ditengah kesakitan yang ia rasakan.Malam kian larut, suasana di daerah itu sudah sepi. Gerimis yang rintik-rintik menambah suasana semakin sunyi dan mencekam. Sepertinya mereka enggan untuk keluar rumah dan memilih untuk berkumpul bersama keluarga mereka sambil menonton acara TV atau sambil bersenda gurau bersama.Mira gadis pelayan sebuah cafe berjalan menyusuri trotoar, mulutnya tiada henti bersungut-sungut."Dasar tukang ojek tidak tahu diri, minta di turunkan depan kontrakan malah di turunkan di jalan," sungut Mira kesal."Mana hujan, sepi lagi," ucap Mira sa
Ia merogoh saku celana jeansnya dan meraih ponsel lalu menyalakan lampu senter yang ada di ponselnya, ia menyorotkan cahayanya ke sosok yang sedang meringkuk di tengah genangan darah. "Aaahhhh!" teriak Mira terkejut. Ia memundurkan tubuhnya dan menatap lekat ke arah sosok itu. Mira kembali mengarahkan cahaya itu kali ini ia menyoroti ke wajah orang itu. "Sepertinya ia tukang ojek online yang dibegal," gumam Mira lirih. Dengan takut-takut Mira mendekat dan memeriksa nafas sosok itu yang ternyata ia adalah Alan. Ia memeriksa urat nadinya, dan Mira merasakan denyut nadinya begitu lemah. Mira menghubungi sahabatnya yang menjadi supir taxi online. "Halo Dara, kamu masih bangun 'kan?" tanya Mira. "Masih, kenapa? Mau aku antar kemana?" jawab Dara. "Tolong datang ke depan gang kontrakanku sekarang juga! Jangan pake lama!" perintah Mira pada temannya. "Ada apa?" tanya Dara. "Sudah cepetan cap cus jangan banyak tanya, ini sangat urgent!" perintah Mira. Lalu ia menutup sambungan telepo
Mira di kejutkan dengan suara ketukan pintu di kamarnya, semua lamunannya buyar seketika. Ia enggak beranjak dari tempat tidurnya. Dengan sengaja Mira menutup kedua telinganya dengan bantal, agar suara itu tidak terdengar.Tapi, semakin lama suara ketukannya berubah menjadi gedoran sambil di barengi oleh teriak keras."Mira! Miraaaaa! Bangun!" teriak Alan kencang.Mira yang memang sudah bangun sedari subuh mula hanya tersenyum sinis, ia tahu maksud suaminya membangunkannya."Huh! Pasti ia suruh aku untuk membuatkan sarapan untuknya, secara rayap itukan tidak bisa memasak," gumam Mira lirih."Mira! Bangun, cepat keluar! Hari sudah siang, aku harus pergi ke kantor!" teriak Alan sambil terus menggedor pintu kamar yang Mira tempati.Sudah sejak kemarin Mira terusir dari kamarnya, kini ia menempati sebuah kamar yang di peruntukan saudara-saudara Alan menginap, karena Mira sendiri tak memiliki satu pun saudara. Ia sebatang kara.Rasa kesal menghinggapi hatinya, ia pun terus menggerutu. Kare