BRAK! Mira menabrak pagar pembatas jalan, kepalanya membentur stir mobil. Rasa sakit dan pening di kepalanya menjalar hingga memenuhi seluruh isi kepalanya.
Dunianya tiba-tiba gelap gulita. Mira mengangkat kepalanya sejenak sebelum kemudian ia mabruk dengan membentur kembali stir mobil. Mira terkulai lemas dan tak berdaya, ia sudah tak sadarkan diri. Darah mengucur dari pelilisnya.
Sementara itu, si pengendara motor yang nyaris tertabrak mobil Mira bangkit. Ia memegangi sikutnya yang lecet akibat bergesekan dengan aspal. Ia meringis menahan perih dan nyeri.
Ia menghampiri mobil jenis sedan itu. Ia melihat kap mobilnya terbuka dan mengepulkan asap, rupanya benturan itu lumayan cukup keras.
Ia mencoba untuk membuka pintu mobil dan ingin melihat kondisi Mira, tapi sayang mobilnya terkunci. Laki-laki itu membuka helmnya dan ia mengintip dari kaca jendela yang gelap. Samar-samar ia melihat Mira yang masih bergeming tak bergerak.
Rasa khawatir menelusup dalam hatinya, ia berlari mendekati motornya yang masih terjatuh. Ia meraih stang motornya dan mencoba untuk menstandar motornya, Lalu ia membuka jok motornya dan mencari sesuatu untuk membuka pintu mobil Mira.
Laki-laki itu menemukan kunci inggris, lalu ia berlari kembali mendekat ke mobil Mira dan memecahkan kacanya. Ia membuka kunci pintu mobil itu dengan merogohnya lewat kaca jendela yang pecah.
Pintu pun terbuka, ia bergegas memeriksa kondisi Mira dengan mendekatkan jarinya ke hidung Mira, ia merasakan hembusan nafas. Ia pun menarik nafas lega. bergegas ia membawa Mira ke rumah sakit terdekat dengan menumpang pada sebuah mobil yang kebetulan melintas di daerah itu.
"Bagaimana keadaannya Dok?" tanya laki-laki itu.
"Istri anda baik-baik saja, ia hanya mengalami memar di bagian keningnya dan ada luka robekan di pelipisnya, kami sudah menjahit luka itu, selebihnya ia baik-baik saja," jelas Dokter itu.
Laki-laki itu meringis saat Dokter itu mengatakan Mira itu istrinya, ia ingin membantahnya namun ia urungkan niatnya.
"Tapi jika ia baik-baik saja kenapa masih belum sadarkan diri Dok?" tanya laki-laki itu.
"Mungkin ia mengalami shock, tapi percayalah semuanya baik-baik saja, anda tidak perlu khawatir," jawab Dokter itu.
"Oh!" jawab singkat laki-laki itu sambil membulatkan mulutnya.
"Kalau begitu saya permisi," pamit Dokter itu.
Laki-laki itu melirik jam di pergelangan tangannya, tanpa pamit ia pergi meninggalkan Mira sendirian di ruang IGD. Tapi sebelum pergi ia membayar semua tagihannya.
Sementara itu, Alan yang mendengar deru suara mobil yang keluar dari garasi mobil bergegas keluar dari kamar Miya, ia pergi melongok keluar yang ternyata pintu gerbang terbuka lebar. Lalu ia berlari ke garasi mobil ia melihat mobil Mira tidak ada di tempatnya.
Lalu ia berlari ke kamarnya dan pada saat membuka pintu kamar, ia tidak mendapati Mira di sana. Rasa was-was menyelimutinya.
"Kemana Mira pergi malam-malam begini, apa ia tahu kalau aku sedang bercinta bersama Miya dan ia marah lalu pergi," gumam Alan.
Lalu ia kembali ke kamar Miya, ia melihat Miya masih belum mengenakan pakaiannya. Posenya begitu menantang, Alan sebagai laki-laki mana mungkin tidak tergoda, ia mendekati Miya dan melupakan tujuan awalnya yang akan berpamitan pada Miya untuk menyusul Mira.
Alan justru malah kembali menerkam Miya, sekali lagi pergumulan mereka dimulai, Alan dengan sangat rakus melakukan hubungan intim itu.
Saat akan mencapai puncak surgawi, benda pipihnya meraung-raung meminta di angkat, sebuah telepon masuk dari kontak nomor yang tidak ia kenal.
Alan mengabaikannya, dan ia menggerutu kesal karena aktifitasnya terganggu.
"Siapa juga yang gangguin," gerutu Alan kesal sambil melempar ponselnya ke sembarang arah.
Sekali lagi dering ponselnya berbunyi, Alan dengan terpaksa mengangkat panggilan itu.
"Halo," sapa orang yang ada di seberang telepon.
"Ya Halo, siapa ini?" tanya Alan dengan sedikit membentak.
"Sungguh terlalu kamu sebagai suami, istrinya kecelakaan kamu enak-enakkan bersama selingkuhanmu. Kalau aku yang jadi istrimu sudah aku racun kamu dengan sianida!" bentak orang itu tak kalah geram, saat ia mendengar suara erangan dari seberang teleponnya.
"Apa maksudmu?" ucap Alan.
"Masih kurang jelas ucapanku hah! ISTRIMU MIRA MENGALAMI KECELAKAAN. DAN SEKARANG IA SEDANG DI RAWAT DI RUMAH SAKIT X!" teriak orang itu dengan nada yang tinggi dan lantang.
Sambungan telepon pun terputus hanya menyisakan suara tut .. tut ... panjang. Alan bergegas meraih pakaiannya yang berserakan, ia mengenakannya dengan sangat terburu-buru. Biar bagaimanapun Mira masih istrinya.
"Mau kemana Mas?" tanya Miya dengan suara manja.
"Mira kecelakaan aku akan melihatnya," jawab Alan.
"Aku ikut!" pinta Miya, lalu ia pun mengenakan pakaiannya.
Mereka berdua pergi ke rumah sakit yang di tuju. Sesampainya ia di sana, Alan langsung masuk ruang rawat inap dan ia melihat Mira sedang terbaring lemah dan kepalanya terbalut perban.
Alan menghampiri Mira yang sedang memejamkan matanya, ia merasa kepalanya seakan mau pecah.
Melihat ada yang datang ia membuka matanya, saat matanya beradu tatap dengan Alan ia memalingkan wajahnya.
"Kamu tidak apa-apa, Mira?" tanya Alan, setelah ia berada di sisi ranjang bangkar Mira.
Miya tak mau melepaskan tangannya yang menggelayut manja di lengan kekar Alan, setelah berada di sisi ranjang Mira, ia justru semakin menjadi, Miya merebahkan kepalanya di dada Alan.
"Aku baik-baik saja! Kalau mau pamer kemesraan sebaiknya kalian pulang saja! Aku tidak membutuhkanmu Mas!" cibir Mira sambil melirik jengah ke arah mereka berdua.
"Kak Mira jangan begitu dong, setidaknya hargai niat baik kami yang mau menjengukmu," timpal Miya.
"Niat baik kamu bilang? Niat baik apanya hah?!" Mira semakin kesal dengan ucapan Miya.
Kalau saja saat ini Mira tidak sedang terluka mungkin ia akan menyerang wanita yang tak tahu malu itu. Gigi-gigi Mira bergemeletuk menahan rasa kesal, tangannya meremas selimut yang membalut setengah badannya.
"Sudah cukup!" sentak Alan, "benar apa yang Miya katakan seharusnya kamu menghargai niat baik kami," bela Alan.
Mira sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan orang yang tak tahu diri ini, Mira bangkit dari tidurnya ia meraih botol air mineral yang berukuran 1,5 litter dan langsung melemparkannya ke arah Miya. Dan BUGH! botol itu tepat mengenai wajahnya. Mira tersenyum puas. PLAK ... PLAK ...!
PLAK ...! Sebuah tamparan mendarat di pipinya Mira. Mencetak lima jari persis seperti habis di stempel jari berwarna merah. Nafas Mira memburu, ia tidak menyangka sama sekali kalau ia akan mendapatkan sebuah tamparan tepat di hadapan selingkuhan suaminya. Miya tersenyum mengejek puas ke arah Mira. Mira menahan sesak di dadanya, ia meraih jarum infus yang terpasang di punggung tangannya dan langsung mencabutnya, lalu ia melempar Standar Infus itu ke arah Alan tanpa menghiraukan rasa sakit di punggung lengannya. Alan mengelak dan justru Standar Infus itu malah mengenai Miya yang sedang berlindung di belakangnya. Standar Infus itu tepat mengenai kepalanya Miya, dan Miya pun menjerit kesakitan dan langsung menangis mengadu pada Alan. Jelas saja Alan langsung meradang marah saat mendapati kepala kekasihnya benjol akibat terkena Standar Infus. Alan kembali marah tanpa pikir panjang ia langsung menyerang Mira. Tamparan demi tamparan mendarat di pipi Mira, ia bak orang yang kesetanan terus
Mata Mira membola penuh, nafasnya terasa sesak. Ia tak pernah menyangka kalau pasangan durjana itu benar-benar tak memiliki adab sama sekali. Lutut Mira terasa lemas, ia menahan gejolak di dadanya dengan meremas keras dadanya yang berdenyut nyeri saat melihat pasangan durjana itu tengah bergumul dengan berdiri. Mira memalingkan wajahnya, ia membalikkan badannya hendak pergi dari sana. Tapi, ia mengurungkan niatnya. Tiba-tiba sebuah ide gila muncul di benaknya. Mira merogoh kantong celana kulotnya, ia mengeluarkan benda pipih miliknya. Kemudian ia mengarahkan ponselnya ke mereka yang sedang fokus bercinta. Mira tidak memfotonya tapi ia langsung memvideokannya. Suara desahan dan lenguhan terdengar menusuk telinga Mira, sekuat tenaga ia menahan rasa sakit di hatinya. Tangannya bergetar, ia menahan ponselnya yang tengah merekam dengan kedua tangannya. Map yang ia bawa di jepit di ketiaknya. "Kamu benar-benar hebat sayang," rayu Alan sambil terus menggenjot tubuh Miya. "Kamu juga mas
Alan yang melihat Miya teriak histeris menjadi marah dan maju menghadang gerakan Mira yang akan kembali memukul Miya, PLAK! sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipinya. Kembali Mira mendapatkan cap stempel jari merah milik Alan, tamparan Alan sangat keras sampai membuat kepala Mira miring ke samping. Mira merasa kepalanya pening dan pusing, baru saja ia kembali dari rumah sakit bahkan perban di kepalanya saja belum di buka. Kini ia harus kembali merasakan sakit di kepalanya akibat tamparan keras dari Alan. Tidak hanya merasa pusing, ia juga merasa pipinya panas dan perih, Mira mengelus pipinya. Kali ini ia tidak menangis justru malah tertawa dan menantang Alan dengan sangat berani. "Kamu sekarang sudah berani menamparku, Mas?! Bahkan berulang kali kamu melakukannya. Hanya demi seorang pelakor murahan sepertinya!" sebuah tawa mengejek, mengiringi ucapannya. "Kamu yang sudah berani melawanku, Mira! Jangan pernah mengatakan Miyaku sebagai pelakor murahan!" teriak Alan marah s
Hati Mira mencelos saat mengetahui sebuah fakta bahwa dirinya hanya di jadikan sebagai pelarian semata oleh suaminya Alan.Mira ingat betul saat pertama kali mereka bertemu, Alan tengah tergeletak tak berdaya di pinggir jalan depan gang sempit di mana ia ngekos. Angannya berkelana jauh membumbung ke angkasa menembus cakrawala jingga.Flashback On"Jauhi adikku, bangsat!" teriak Farrel sambil menodongkan moncong pistol tepat ke kepala Alan."Aku tidak akan melakukannya!" balas Alan tak kalah sengit.Sorot matanya tidak sedikit pun menunjukan rasa takut, bahkan ia menantang Farrel dengan menyodorkan kepalanya lebih dekat lagi ke moncong pistol yang Farrel arahkan padanya."Itu artinya kamu bersiap untuk meringkuk dijalanan dengan tubuh yang sudah menjadi mayat!" sinis Farrel."Lakukan saja! Jika ingin anak dari adikmu ingin menjadi yatim!" ucap Alan dengan nada mengejek."Apa maksud dari ucapanmu itu, bangsat?!" kembali Farrel berteriak dengan penuh emosi.Alan tidak langsung menjawab p
Bruk!! Alan ambruk ke tanah, ia meringkuk memegangi pahanya yang ia rasakan begitu sangat panas. Darah segar menyembur muncrat mengalir dari luka tembak itu."Ayo pergi!" perintah Farrel kepada mereka para pengawalnya."Siap Bos!" jawab mereka bersamaan.Tanpa membantah mereka pun pergi mengikuti tuannya, mereka meninggalkan Alan yang tengah meringkuk sambil merintih kesakitan dipinggir jalan yang sepi."Sstthh!" rintih Alan ditengah kesakitan yang ia rasakan.Malam kian larut, suasana di daerah itu sudah sepi. Gerimis yang rintik-rintik menambah suasana semakin sunyi dan mencekam. Sepertinya mereka enggan untuk keluar rumah dan memilih untuk berkumpul bersama keluarga mereka sambil menonton acara TV atau sambil bersenda gurau bersama.Mira gadis pelayan sebuah cafe berjalan menyusuri trotoar, mulutnya tiada henti bersungut-sungut."Dasar tukang ojek tidak tahu diri, minta di turunkan depan kontrakan malah di turunkan di jalan," sungut Mira kesal."Mana hujan, sepi lagi," ucap Mira sa
Ia merogoh saku celana jeansnya dan meraih ponsel lalu menyalakan lampu senter yang ada di ponselnya, ia menyorotkan cahayanya ke sosok yang sedang meringkuk di tengah genangan darah. "Aaahhhh!" teriak Mira terkejut. Ia memundurkan tubuhnya dan menatap lekat ke arah sosok itu. Mira kembali mengarahkan cahaya itu kali ini ia menyoroti ke wajah orang itu. "Sepertinya ia tukang ojek online yang dibegal," gumam Mira lirih. Dengan takut-takut Mira mendekat dan memeriksa nafas sosok itu yang ternyata ia adalah Alan. Ia memeriksa urat nadinya, dan Mira merasakan denyut nadinya begitu lemah. Mira menghubungi sahabatnya yang menjadi supir taxi online. "Halo Dara, kamu masih bangun 'kan?" tanya Mira. "Masih, kenapa? Mau aku antar kemana?" jawab Dara. "Tolong datang ke depan gang kontrakanku sekarang juga! Jangan pake lama!" perintah Mira pada temannya. "Ada apa?" tanya Dara. "Sudah cepetan cap cus jangan banyak tanya, ini sangat urgent!" perintah Mira. Lalu ia menutup sambungan telepo
Mira di kejutkan dengan suara ketukan pintu di kamarnya, semua lamunannya buyar seketika. Ia enggak beranjak dari tempat tidurnya. Dengan sengaja Mira menutup kedua telinganya dengan bantal, agar suara itu tidak terdengar.Tapi, semakin lama suara ketukannya berubah menjadi gedoran sambil di barengi oleh teriak keras."Mira! Miraaaaa! Bangun!" teriak Alan kencang.Mira yang memang sudah bangun sedari subuh mula hanya tersenyum sinis, ia tahu maksud suaminya membangunkannya."Huh! Pasti ia suruh aku untuk membuatkan sarapan untuknya, secara rayap itukan tidak bisa memasak," gumam Mira lirih."Mira! Bangun, cepat keluar! Hari sudah siang, aku harus pergi ke kantor!" teriak Alan sambil terus menggedor pintu kamar yang Mira tempati.Sudah sejak kemarin Mira terusir dari kamarnya, kini ia menempati sebuah kamar yang di peruntukan saudara-saudara Alan menginap, karena Mira sendiri tak memiliki satu pun saudara. Ia sebatang kara.Rasa kesal menghinggapi hatinya, ia pun terus menggerutu. Kare
Mira mendekap tubuhnya, memeluk lutut. Air bening itu menerobos keluar berjejalan mengalir deras. Punggung tangannya mengelap air matanya yang terus berjatuhan bak air hujan.Mira meremas dadanya kuat, rasa nyeri yang tak berkesudahan, harus ia derita. Entah drama apa lagi yang akan mereka lakukan untuk menyakitinya. Ia tak pernah menyangka bahwa hidupnya yang baik-baik saja akan berubah menjadi sengsara seperti yang sekarang ia alami.Miya sang mantan kekasih suaminya, harus hadir di tengah-tengah biduk rumah tangganya sebagai perebut suami orang. Yang lebih tragisnya lagi justru Alan begitu terang-terangan menunjukan perselingkuhan dengan mantan kekasihnya di harapan Mira.Alan berdalih bahwa ia tak pernah berselingkuh. Karena Alan berterus terang pada Mira tentang hubungannya dengan Miya, bahkan Alan meminta restu secara khusus pada Mira untuk menikahi Miya.Sungguh sebuah pandangan yang konyol memang. Tapi, Alan tetap mengatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang paling ben