Share

Menjadi Istri Dadakan Presdir Tampan
Menjadi Istri Dadakan Presdir Tampan
Penulis: Creative Words

Bab 1 - Terpaksa Berjodoh

“Adikmu itu sudah seperti benalu di sini. Harusnya dia tahu diri!”

Embun baru saja hendak mengucap pamit berangkat kerja saat dia mendengar suara omelan ibu mertua kakak semata wayangnya dari dalam rumah. 

Gadis cantik bermata coklat tersebut pun terdiam di tempat dan menguping percakapan di dalam dapur itu.

“Numpang di rumah orang kok keterusan. Dia kan sudah bekerja, seharusnya secara finansial sudah bisa mandiri. Suruh dia cari tempat kos atau kontrakan kek. Bukan tinggal terus-menerus di rumah anakku ini!”

Lagi-lagi suara ibu mertua sang kakak kembali mengudara. 

“Bu, Embun adik Rindang satu-satunya. Hanya dia keluarga Rindang yang tersisa.” Kali ini Embun mendengar suara kakak perempuannya, Rindang, berujar dengan sabar. “Anak perempuan tinggal di luar sendirian bahaya, Bu.”

“Tapi bukan berarti dia bisa seenaknya tinggal di sini, dong! Ibu nggak mau tahu, suruh dia secepatnya keluar dari rumah ini.” 

“Tapi, Bu ….”

“Tidak ada tapi-tapian ya, Rindang. Kamu yang ngomong ke adikmu atau Ibu yang akan bicara langsung sama dia malam ini!” ancam ibu mertua Rindang. 

Embun mendengar suara langkah kaki yang menjauhi ruang tamu. Sepertinya, ibu mertua sang kakak telah pergi. Dengan mengucap doa agar sabar, Embun memejamkan mata. 

Memang sudah lama Embun merasa tidak enak menumpang di rumah sang kakak ipar. Akan tetapi, setiap kali Embun melontarkan niatan untuk tinggal di luar, kakak dan kakak iparnya tidak pernah mengizinkan. Alhasil, Embun terpaksa menetap bersama keduanya. Itu pun dia juga berikan uang bulanan sebesar lima juta kepada sang kakak ipar guna balas budi karena sudah diizinkan tinggal.

Akan tetapi, sepertinya ibu mertua sang kakak tidak pernah mengetahui hal itu … atau tahu tapi tetap tidak mau tahu.

Teringat oleh Embun ucapan sang kakak dulu, “Mau tinggal di luar sebenarnya boleh, tapi kamu harus nikah dulu.”

Helaan napas kabur dari bibir Embun. 

Menikah? Menikah dengan siapa kalau pacar saja dia tidak punya? Akan tetapi, hanya itu jalan keluar Embun agar tidak mengganggu rumah tangga kakaknya.

Embun terus memikirkan hal tersebut sepanjang siang, bahkan selagi bekerja.

“Menikah sama siapa ya …?”

“Sama anak kakek saja.” 

Embun terkejut ketika pertanyaannya dibalas oleh orang lain. Dia pun menoleh dan mendapati seorang kakek telah berdiri di hadapannya. 

“Kakek Surya ….” Embun tersenyum kepada langganan kafe miliknya itu. “Kakek mengagetkan saja.”

“Kakek sudah panggil kamu berkali-kali, kamunya yang nggak sadar,” balas sang kakek. “Menu biasa, ya,” ucap pria itu yang langsung dimengerti oleh Embun.

Dengan cepat Embun menghidangkan pesanan sang kakek. Di saat itu juga sang kakek memaksanya duduk bersama dan bertanya perihal apa yang terjadi, “Jadi, apa masalahnya?”

Awalnya, Embun ragu menceritakan. Akan tetapi, Kakek Surya adalah langganannya sejak satu tahun yang lalu. Oleh karena itu, mereka sudah cukup dekat dan sudah hal biasa bagi keduanya untuk berbagi cerita. 

Akhirnya, Embun pun menceritakan semuanya dan berakhir mendapatkan tawaran mengejutkan dari sang kakek.

“Kalau kamu nggak keberatan, kakek sungguh mau kamu menikah dengan anak kakek.”

Dikatakan Kakek Surya memiliki seorang putra berusia tiga puluh lima tahun yang belum menikah. Dia sudah mapan secara finansial, tapi terlalu sibuk bekerja sampai tidak memiliki waktu mencari pasangan. Hal itu membuat Kakek Surya khawatir anak bungsunya tidak akan menikah, padahal cucu sang kakek saja sudah ada yang punya pacar.

Di sisi lain, Kakek Surya sangat menyukai Embun. Gadis itu selalu sabar dan mendengarkan cerita dan keluh kesahnya yang mungkin membosankan untuk gadis seusianya. Gadis sabar dan penyayang yang juga mandiri dan bekerja keras. Sangat cocok untuk jadi calon menantunya!

Embun tampak tertegun mendengar usulan dari Kakek Surya. Akan tetapi, sepertinya usulan sang kakek sungguh pilihan yang baik untuk rencananya saat ini. Menikah dan keluar dari rumah kakak iparnya.

“Kalau anak Kakek tidak keberatan, saya tertarik menerima.”

Alhasil, di hari esoknya, Embun pun pergi ke sebuah kafe untuk bertemu dengan anak Kakek Surya. 

Sejujurnya, Embun tidak menyangka jika putra bungsu sang kakek akan bener-benar menyetujui perjodohan ini. Akan tetapi, dia juga lega karena artinya dia tidak perlu lagi mencari calon suami.

“Wah, lihat deh, pria itu ganteng banget!” 

“Iya, kayak artis!”

Baru saja duduk di salah satu kursi kafe, Embun dikejutkan oleh sejumlah komentar para pelanggan wanita yang ada di kafe tersebut. Gadis berambut panjang bergelombang itu mengikuti arah pandang para wanita dan berakhir menatap sosok yang duduk di meja depannya. 

Tampak seorang pria tampan berjas rapi sedang duduk di sana sembari mengetik di laptop dengan serius. Alis tebal yang menukik tajam, hidung mancung yang dihiasi kacamata tipis, lengkap dengan rahang tegas yang menunjukkan wibawa. 

Patut Embun akui, pria itu memang tampan.

Namun, Embun punya urusan yang lebih penting.

[Saya sudah di kafe.]

Embun mengetikkan pesan tersebut dan mengirimkannya kepada putra Kakek Surya, Kaisar.

TING!

Detik itu juga, dentingan notifikasi ponsel terdengar. Embun mengangkat pandangan, mendapati bahwa pria di hadapannya kebetulan juga menerima pesan.

Gadis itu agak tertawa dalam hati. ‘Nggak mungkin kebetulan banget dia cucunya si kakek, ‘kan?’ Embun menggelengkan kepala dan kembali memerhatikan ponselnya. ‘Kalau seganteng itu, masa iya belum punya pacar.

Tak lama, sebuah balasan pun diterima Embun.

[Saya juga sudah tiba di kafe. Tolong foto lokasimu di sebelah mana.]

Melihat hal itu, Embun bergegas mengangkat ponselnya untuk mengambil foto tempat mejanya berada. Saat itulah gadis cantik itu menyadari dari kamera ponselnya bahwa pria di depannya itu menghilang. 

Detik berikutnya terdengar seseorang memanggil namanya.

“Embun Prajaya?”

Embun langsung menoleh. Seketika, dia tersentak.

Pria tampan yang tadi duduk di hadapannya telah berdiri di samping mejanya sekarang.

“Kaisar Rahardja?” tebak Embun.

Lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu mengangguk. 

Embun langsung berdiri dan mengulurkan tangan kanannya yang disambut jabat tangan sopan dari pria tampan di hadapannya itu. 

“Salam kenal. Saya Embun,” ujar gadis itu seraya tersenyum.

“Kaisar Rahardja, panggil saja Kaisar.”

Embun pun mempersilakan Kaisar untuk duduk di depannya. Hal itu membuat para gadis yang tadi memerhatikan pria tersebut tampak kecewa, terlebih karena di tengah-tengah pembicaraan, Embun dan Kaisar membicarakan latar belakang masing-masing, khas dua orang yang sedang kencan buta.

Dari pembicaraannya dengan Kaisar, Embun mendapati bahwa pria itu adalah anak terakhir dari tiga saudara yang semuanya pria. Kakak pertama adalah seorang dokter spesialis bedah, sedangkan kakak kedua merupakan seorang pemuka agama. Itulah alasan sang kakek membebani Kaisar dengan tanggung jawab perusahaan yang membuatnya tidak memiliki waktu untuk menjalin cinta. 

Embun pun juga menjelaskan latar belakangnya. Anak bungsu dari dua bersaudara yang tinggal bersama dengan kakaknya yang sudah menikah. Kedua orang tuanya meninggal saat Embun masih kecil.

Setelah memperkenalkan diri dan memahami situasi satu sama lain, Kaisar pun berkata, “Oke. Saya rasa perkenalannya sudah cukup.” Pria itu pun berdiri dari kursi dan mengisyaratkan kepada pelayan kafe bahwa dia akan melakukan pembayaran. Sembari menatap Embun, dia lanjut berujar, “Waktu saya tidak banyak, jadi ayo selesaikan pernikahan ini sekarang juga.”

Embun terkejut. “Sekarang?” 

Selesai membayar dengan kartu hitamnya, Kaisar menjawab Embun yang juga ikut berdiri, “Kantor catatan sipil ada di dekat sini. Kamu sudah bawa dokumen yang saya minta juga, ‘kan?”

“Iya, tapi–”

Kaisar tidak menunggu ucapan Embun sampai selesai. Pria itu langsung berbalik dan berkata, “Kalau begitu, ikut saya.”

Alhasil, Embun pun hanya bisa mengikuti perintah Kaisar dan mulai berjalan dengan pria tersebut berdampingan menuju kantor catatan sipil. 

Dalam hati, Embun membatin bagaimana dirinya tidak heran pria tersebut belum memiliki pasangan hingga sekarang. Pria itu begitu dingin dan angkuh!

Selagi Embun memikirkan hal itu, sebuah pertanyaan dilontarkan Kaisar, “Kamu yakin dengan pernikahan ini?” Mereka sudah sampai di depan gedung kantor catatan sipil. “Pernikahan kita memang tidak diawali dengan cinta, tapi saya harap kamu tidak menganggapnya permainan.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hansiana Siregar
fantasi....mustahil di duta...terjadi di duma....itulah fiksi.... pinternya penulis.......mg jadi rizki berkah....
goodnovel comment avatar
Farida Idung
bagus bgt novelnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status