“Lihat itu, Pak Kaisar tersenyum.”
“Aku tidak pernah melihat Pak Kaisar tersenyum seperti itu. Apa jangan-jangan Pak Kaisar punya kekasih, ya?”
Para peserta rapat saling berbisik sejak melihat Kaisar menggunakan ponselnya dan tersenyum.
Kaisar berdeham untuk meredakan bisik-bisik di ruang rapat. Dia menyadari rapat siang ini menjadi tidak kondusif karena dirinya.
“Lanjutkan rapatnya,” kata Kaisar acuh tak acuh.
Nicholas, anak dari kakak pertama Kaisar yang duduk paling dekat dengannya mencondongkan kepala ke arah sang paman.
“Paman, apa betul Paman baru saja menikah dengan gadis pilihan Kakek?” bisik Nicholas pelan.
Kaisar hanya menjawab pertanyaan keponakannya itu dengan helaan napas tanpa melirik sedikit pun ke arah Nicholas.
“Jadi, sungguh Paman sudah menikah?” bisik Nicholas lagi.
Kali ini Kaisar menatap tajam keponakannya itu. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapan matanya jelas mengisyaratkan keponakannya itu untuk segera menutup mulutnya.
Nicholas tersenyum canggung dan menjauhkan tubuhnya dari Kaisar. Keengganan Kaisar untuk menolak membuat pria itu mengambil kesimpulan bahwa benar, pamannya itu memang sudah menikah.
Sebenarnya Nicholas merasa kasihan dengan pamannya itu. Di zaman modern seperti ini dia masih harus mengalami perjodohan. Akan tetapi, sejauh yang Nicholas tahu, Kaisar memang tidak pernah memiliki kisah asmara.
Sepanjang hidup Kaisar, paman Nicholas itu mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan, sampai-sampai Nicholas merasa bahwa mungkin pamannya ini lupa jika usianya sudah terlewat cukup untuk menikah. Oleh karena itu, Nicholas pikir pilihan kakeknya untuk menjodohkan Kaisar ada benarnya juga.
‘Semoga Paman bisa bahagia dengan istri barunya,’ pikir Nicholas seraya berusaha kembali fokus dengan rapat di depan mata.
Di saat yang bersamaan, Embun memasuki apartemen Kaisar. Pandangannya memerhatikan sekeliling apartemen.
Apartemen ini seolah menggambarkan kepribadian maskulin sang pemilik. Terlihat sangat rapi, bersih dan terawat.
Interior ruangannya dicat warna monokrom dan kebanyakan furniturenya berwarna hitam. Terasa dingin dan kaku, seperti sifat Kaisar.
Di ruang tamu berdinding abu-abu itu, terdapat satu set sofa hitam berbahan kulit beserta mejanya. Sebuah lukisan bergambar abstrak dengan ukuran cukup besar, tergantung di dindingnya.
Di ruang keluarga terdapat sofa bed abu-abu dan lemari hitam yang berisi buku-buku tebal di sudut ruangan, serta sebingkai foto keluarga besar Kaisar yang digantung di dindingnya.
Embun menggeser pintu kaca yang dia yakini tempat balkon berada. Pemandangan kota terpampang dari balkon yang terdapat dua kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja kecil di tengahnya.
Embun kembali melangkahkan kakinya ke dalam apartemen. Dilihatnya ada tiga kamar di ruangan itu. Gadis itu melangkahkan kakinya ke salah satu kamar yang ukurannya tampak lebih kecil dibanding satu kamar di sebelahnya.
Ini pasti kamarnya.
Diseret Embun koper miliknya ke kamar tersebut.
Setelah meletakkan kopernya, Embun meninggalkan kamar dan menuju dapur. Sepertinya Kaisar jarang makan di rumah. Tak ada satu pun peralatan masak terdapat di sana.
Embun berpikir mulai saat ini dia harus memasak untuk Kaisar. Bagaimanapun juga, Embun telah menjadi istri Kaisar dan secara tidak langsung menumpang di rumah Kaisar, jadi dia harus melayani pria itu.
Alhasil, gadis itu pun memutuskan untuk pergi berbelanja kebutuhan rumah.
Embun beranjak ke kamarnya, mengambil ponsel dan menghubungi Friska, teman baiknya, untuk menemaninya berbelanja.
“Hari ini kamu tidak ke kafe?” tanya Friska ketika mereka sudah bersama dan berjalan di supermarket untuk memilih bahan-bahan belanjaan.
“Tidak, aku baru saja menikah hari ini.”
"Apa? Menikah? Dengan siapa? Kamu gila, ya?!” teriak Friska yang membuat Embun buru-buru membekap mulut gadis di sampingnya itu. Suaranya yang cukup nyaring membuat beberapa orang di sekitar melirik ke arah mereka.
Embun tahu tidak bisa merahasiakan hal ini dari Friska, maka ia menceritakan semuanya dengan jujur pada sahabatnya itu. Dimulai dari ibu mertua kakaknya yang menyindir Embun, lalu tanpa sengaja Embun ditawari menikah dengan anak dari pelanggan setianya di kafe, dan pernikahannya dengan Kaisar yang langsung terjadi pagi tadi.
“Kamu sungguh sudah gila, ya, Embun? Menikah dengan pria yang tidak jelas. Kamu belum mengenalnya ataupun tahu latar belakang lelaki itu seperti apa!” Friska sedikit meninggikan suaranya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa Embun berani mengambil keputusan penting seperti itu.
Embun sendiri hanya bisa meringis menatap Friska. “Coba kalau kamu diskusikan dulu denganku, aku pasti akan membantumu. Aku bisa mengenalkanmu dengan sepupuku, dan kalian bisa menikah.” Embun tersenyum tipis. “Semua sepupumu itu sudah dijodohkan.” Sontak, Friska terdiam. “Iya juga ….” “Kamu juga akan dijodohkan, 'kan?” tanya Embun untuk mengalihkan topik dari dirinya. Sesuai rencana Embun, Friska jadi ingat bahwa ia juga dijodohkan. Hal itu pun membuat Friska menggeram dengan ekspresi tidak senang. Friska dan saudara-saudara sepupunya itu memang berasal dari kalangan atas. Meskipun bukan termasuk keluarga konglomerat, tetapi bisnis keluarganya menjadi salah satu yang layak diperhitungkan di kota ini. Maka tidak heran jika semua sepupu Friska, termasuk Friska, sudah dijodohkan dengan anak relasi keluarganya. Semua itu demi kepentingan kelancaran dan perkembangan bisnis keluarga. Namun, Friska menolak mentah-mentah perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Dia ingin hidup bebas, t
Embun tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia yakin keluarga Rahardja yang sedang dibicarakan bukanlah keluarga suaminya. Papa mertuanya dan Kaisar tidak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat. Walau cara berpakaian mereka cukup mewah, tapi mereka rendah hati dan tidak tampil mencolok. Lagi pula, di negara ini ada banyak nama Rahardja, jadi tidak mungkin jika pewaris Rahardja yang datang ini adalah suaminya. Embun mengangkat bahunya. Kakinya melangkah ke sisi meja tempat makanan disajikan. Gadis itu mengacuhkan kerumunan yang berada di seberang posisinya berada. *** Mengenakan setelan jas hitam dan sepatu kulit mengkilap, Kaisar melangkah dengan mantap memasuki Nusantara Ballroom. Wajah tampan dan kharismatiknya membuat Kaisar menjadi sorotan di pesta itu. “Selamat datang di pesta ulang tahun anak kami, Tuan.” Lelaki setengah baya berjas rapi menyambut kedatangan Kaisar dengan senyum merekah. Kaisar menyambut uluran tangan kolega ayahnya itu dengan senyum sopan
Kaisar memerhatikan wanita di area makanan itu dengan saksama, berhati-hati agar tidak salah mengenali seseorang.Wanita yang sedang asyik memilih makanan seorang diri itu terlihat sangat mirip dengan Embun. Penampilannya yang terlalu sederhana terlihat sangat menonjol dibandingkan tamu undangan lain yang datang.Kaisar tersenyum sopan menyudahi sapaannya pada rekan bisnisnya, dengan dalih hendak menyapa rekan bisnis lainnya. Lalu, Kaisar mengisyaratkan Reza untuk menjauhi kerumunan.“Ada apa, Tuan?” tanya Reza kepada sang atasan.“Pastikan wanita yang aku lihat itu istriku atau bukan! Dan selidiki dengan siapa dia datang!” perintah Kaisar pada Reza. Reza mengikuti arah pandang Kaisar, lalu mendapati sosok serupa Embun yang sedang melahap makanannya dengan santai.Tahu Reza telah melihat apa yang dia lihat, Kaisar pun lanjut bertitah, “Foto segala hal yang dilakukan wanita itu di sini!” Walau perintah tuannya itu terkesan agak berlebihan, tapi Reza tidak memiliki hak untuk bertanya.
“Embun, kamu sedang mencari siapa?” bisik Friska sembari menatap Embun heran, pasalnya sahabatnya itu sedari tadi tampak tengah mencari seseorang.Embun yang sedang mengedarkan pandangannya, menoleh ke arah Friska. Gadis itu memamerkan senyum kecilnya. “Tidak ada. Hanya tadi aku merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan kita,” jawab Embun tak kalah lirihnya.Refleks Friska memutar kepalanya. Gadis itu juga ikut memperhatikan sekeliling. Mencari-cari orang yang dimaksud Embun. Merasa tidak menemukan apa yang dicari, Friska kembali menoleh pada Embun. “Mungkin hanya perasaanmu saja. Ada orang yang kamu kenal di pesta ini?” Pertanyaan Friska dijawab gelengan kepala dan senyum canggung Embun. “Pesta kalangan atas sebesar ini? Mana mungkin?”Keduanya pun kembali larut dalam obrolan. Membuat Embun tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.Di saat yang bersamaan, lelaki di seberang Embun itu kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah Embun. Tubuhnya yang kekar, masih terhalang
Pandangan mata para tamu undangan yang sejak tadi mengelilingi Kaisar nampak terkejut. Bukanlah hal yang biasa jika pewaris Rahardja itu menyapa orang lain terlebih dahulu. Semua tamu undangan di situ tahu jika Kaisar menyapa rekan bisnisnya terlebih dahulu, maka bisnis orang tersebut akan meningkat pesat. Tak bisa dipungkiri, begitu besar pengaruh Kaisar dan keluarganya terhadap dunia bisnis. Rendi terkejut dengan sapaan tak terduga ini, lalu ekspresinya berubah terang. “Tuan Kaisar. Nama Anda tentunya telah saya ketahui!” Kaisar bisa mengetahui namanya, tentu saja Rendi senang! Senyum Rendi begitu mengembang. Disambutnya uluran tangan Kaisar dengan penuh sukacita. Pria itu yakin bisnisnya akan berkembang pesat setelah ini. Dia begitu percaya diri. “Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Tuan Kaisar di sini.” Pria itu menambahkan, “Apa kiranya yang ingin Tuan Kaisar bicarakan?” Kaisar diam sesaat menatap Rendi. Dia bisa membaca setiap gerakan pria itu dan tahu bahwa pria tersebut
Perlahan Embun menghampiri Kaisar yang tengah duduk di sofa dengan tenang dengan kaki bersilang. Punggung pria itu tampak sedang menyandar nyaman di sandaran sofa. Lelaki itu memandangi kedatangan Embun dengan tajam, membuat gadis itu menelan ludah ketika melihat wajah suaminya itu terlihat sangat masam. Tak ada senyum tersungging di bibir Kaisar. Wajah kaku dan dingin seperti yang dilihat Embun tadi pagi saat pertama kali bertemu. Apakah suaminya itu marah padanya karena dia baru saja pulang? Ada rasa tak enak menjalar di hati Embun. Dia bersalah karena sudah pulang lebih lambat dari suaminya itu. “Maaf, saya pulang terlambat,” cicit Embun mencoba memecah kebekuan di antara mereka. Tak ada respon apa pun dari Kaisar. Langkah kaki Embun mengitari sofa dan duduk di seberang Kaisar, sambil menaruh bungkusan makanan yang dia bawa dari luar ke atas meja kaca di hadapan mereka. “Waktu pulang tadi saya melewati kedai martabak yang terkenal. Jadi saya beli satu untuk kita makan berd
“Kamu … tidak bisa lebih hati-hati lagi?” tanya Kaisar pada akhirnya sebelum melepaskan pegangannya dari pinggang Embun. Embun pun tersenyum tak berdaya, agak malu karena kecerobohannya. “Maaf, terburu-buru.” Setelah melepaskan Embun, Kaisar pun meraih botol air yang dia jatuhkan ke lantai untuk kemudian dilap dengan tisu, dibuka segel penutup botolnya, dan diberikan kepada Embun. Hal yang sama dia lakukan pada botol air satu lagi yang akhirnya dia teguk sendiri hingga tersisa setengahnya. “Terima kasih,” ucap Embun sembari meneguk air tersebut. Jujur, jantungnya masih berdebar keras karena kedekatannya dengan Kaisar tadi. Ditambah dengan perlakuan manis memberikan dan membukakan botol air oleh pria tersebut, Embun tak tahan untuk mengulum senyum malu. Ada perasaan aneh di hatinya. Guna menghalau perasaan di hatinya, juga memecah suasana canggung, Embun langsung memulai topik pembicaraan baru. “Kaisar, saya sudah membeli cincin pernikahan seperti yang kamu minta. Tapi, belum sa
“Apa itu penting?” tanya Kaisar dengan wajah tenangnya. Embun terdiam sesaat. Tangannya saling meremas seolah sedang memikirkan sesuatu. “Jika kamu dan Papa memang berasal dari keluarga konglomerat, kurasa akan sulit untuk saya menerimanya,” ucap Embun pelan. Kaisar memusatkan perhatiannya pada Embun. “Kamu tidak senang jika kami berasal dari keluarga seperti itu?” Embun meraih botol air mineralnya di atas meja, diteguknya air itu beberapa kali. Embun memainkan botol air mineral yang ada di genggamannya, setelahnya barulah dia menjawab pertanyaan Kaisar. Embun menghela napas sebelum menjawab, “Kehidupan keluarga konglomerat adalah kehidupan yang tidak kumengerti. Saya sudah menyukai kehidupan sederhana yang tenang ini.” Ada jeda dari ucapan Embun untuk beberapa saat. “Jadi, saya hanya berharap kamu bukan berasal dari keluarga Rahardja yang di pesta tadi.” Embun tersenyum tipis. Kaisar diam menatap Embun, cukup lama hingga Embun tidak bisa membaca pikiran dan ekspresi pria di