“Pernikahan kita memang tidak diawali dengan cinta, tapi saya harap kamu tidak menganggapnya permainan.”
Ucapan Kaisar membuat Embun menatap pria tersebut dengan saksama.
Jujur saja, Embun kaget Kaisar menyatakan hal seperti itu. Gadis itu sempat berpikir bahwa Kaisar menganggap enteng pernikahan ini karena memang terpojok situasi. Akan tetapi, ternyata Kaisar cukup serius.
Diselimuti keyakinan, Embun pun berakhir menjawab, “Saya sudah setuju di awal, Kaisar. Jadi tidak mungkin saya mengubah kata-kata saya.”
Dengan pandangan yang mendarat di wajah pria itu, Embun mempelajari ekspresi Kaisar. Akan tetapi, sama sekali tidak bisa Embun baca reaksi pria tersebut terhadap jawabannya.
Kaisar pun mengangguk dan mengisyaratkan Embun untuk mengikutinya masuk ke dalam kantor catatan sipil. Di dalam mereka menyerahkan sejumlah dokumen dan menandatangani berkas-berkas pernikahan. Dalam waktu singkat, keduanya pun keluar dari ruangan dan menjadi pasangan suami istri yang telah dianggap sah oleh negara.
Di lobi gedung, Kaisar menghadap Embun. “Meski pernikahan kita ini hanya status, tapi saya akan tetap memenuhi kewajiban saya sebagai seorang suami yang sesungguhnya.”
Kaisar memandang Embun lekat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya.
“Akan tetapi ….”
“Akan tetapi ... apa?” tanya Embun.
“Jangan harapkan cinta,” tegas Kaisar.
Embun tersenyum. “Saya sama sekali tidak keberatan. Cinta memang tidak muncul begitu saja. Lagi pula, awal pernikahan kita hanya untuk keuntungan masing-masing saja.”
Setelah mengatakan itu, Embun memperhatikan pria di depannya itu. Memindai penampilan sang suami dari atas sampai bawah. Embun bisa melihat apa yang dipakai oleh Kaisar adalah barang-barang yang cukup mewah. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin dia tanyakan.
Embun harap, pria itu tidak tersinggung.
“Ada apa?” tanya Kaisar dengan curiga, menangkap keraguan Embun. “Kamu menyesali keputusanmu?”
Kepala Embun menggeleng. “Bukan, tapi … apa nanti pengeluaran rumah perlu kita bagi dua? Saya tidak keberatan kalau memang perlu.”
Bukan tanpa alasan Embun menanyakan hal itu pada Kaisar. Jujur saja ia trauma dengan teguran ibu mertua kakak perempuannya.
Sementara itu, Kaisar terkejut. Tidak pernah dia duga akan mendengar Embun menyatakan hal semacam itu.
Kaisar pun meraih dompet dari balik saku celananya dan mengeluarkan kartu kredit hitam serta sebuah kunci.
“Ini kunci rumah dan kartu kredit saya, pakailah untuk masuk ke rumah dan belanja segala keperluanmu maupun kebutuhan rumah.” Pria itu tidak lupa berujar, “Ada alamat yang tertera di belakang kunci.”
Mata Embun mengerjap menerima kedua benda itu. Jujur saja dia tidak menyangka jika Kaisar akan memperlakukannya seperti ini.
Kunci rumah sepertinya masih masuk akal. Akan tetapi, kartu kredit? Apa Kaisar sepercaya itu padanya?
Embun menyodorkan kembali kartu kredit Kaisar. “Agaknya, ini berlebihan. Saya punya uang sendiri.”
Kaisar menatap Embun selama sesaat dengan pancaran mata menelisik. Namun, akhirnya dia berkata, “Kamu sudah menjadi istri saya, jadi mulai saat ini semua kebutuhanmu akan menjadi tanggung jawab saya.” Pria itu menegaskan, “Kalau memang tidak mau pakai, simpan saja. Gunakan saat perlu.”
Mendengar hal itu, Embun pun menyadari Kaisar tidak menerima penolakan. Akhirnya, dia pun mengangguk dan menyimpan kartu kredit beserta kunci itu.
“Saya sibuk, jadi perlu kembali ke kantor. Kamu bisa pulang sendiri, ‘kan?” Suara Kaisar kembali terdengar yang dibalas anggukan pelan Embun. “Sebelum pulang, kamu bisa beli cincin pernikahan untuk kita. Gunakan saja kartu kredit yang kuberikan,” pesannya. “Saya belum ingin memberitahukan soal pernikahan kita pada siapa pun, tetapi ketika menghadiri acara tertentu, kita perlu memakainya.”
Sekali lagi, Embun mengangguk. “Saya mengerti. Akan kubeli sebelum kembali nanti.”
Pasangan pengantin baru itu melangkah meninggalkan lobi Kantor Catatan Sipil. Keduanya kembali menuju tempat parkir kafe tempat mereka bertemu tadi.
Sebelum berpisah, Kaisar kembali bertanya, “Kamu pulang naik apa?”
“Bis,” jawab Embun.
“Tidak ada mobil?”
Embun tersenyum tipis. “Saya tidak punya SIM.”
“Kalau begitu, secepatnya kamu urus pembuatan SIM. Setelahnya kamu bisa beli mobil yang kamu inginkan. Saya akan bantu membayarkan uang mukanya.” Arahan dari Kaisar membuat kening Embun berkerut.
“Saya belum terlalu membutuhkan mobil, Kaisar. Saya lebih nyaman menggunakan bis atau naik taksi saja,” kilah Embun serius.
Kaisar menatap tepat di manik mata cokelat Embun. Kepalanya menunduk mensejajarkan tingginya dengan tinggi istrinya. “Kalau menggunakan mobil, kamu bisa lebih mudah bepergian ke mana pun.” Lalu Kaisar memasukkan kedua tangannya di saku dan kembali melanjutkan, “Pekerjaan saya padat, saya juga sering pergi pagi dan pulang malam. Meskipun kita memang suami istri, tetapi kamu jaga diri kamu sendiri dan tidak perlu mengurusi saya. Saya juga akan tetap mentransfer uang bulanan setelah gajian.”
“Tenang saja, saya mengerti. Saya akan melakukan apa yang kamu katakan tadi.” Embun menganggukkan kepala.
Sedikit banyak Embun mengetahui jika Kaisar orang yang terbiasa memerintah karena langsung mengatakan banyak hal tanpa menunggu tanggapan dari Embun.
Setelahnya mereka berdua berpamitan. Kaisar masuk ke mobilnya sendiri dan membunyikan klakson sekali sebelum meninggalkan Embun yang masih menunggu taksi online yang dipesannya.
Tak berapa lama, taksi online pesanan Embun tiba. Tujuan pertamanya adalah menuju toko perhiasan untuk membeli cincin kawin seperti perintah suaminya sebelum pulang ke rumah kakaknya.
Ponsel di dalam tasnya bergetar. Dilihatnya nama Kakek Surya yang menelepon.
“Halo, Kakek!” sapa Embun.
“Kenapa masih memanggilku kakek? Panggil aku papa. Kalian sudah resmi menikah, ‘kan?” suara di seberang itu penuh selidik.
“Iya Kek … eh iya, Pa, semua lancar. Pernikahan kami sudah tercatat di Catatan Sipil,” jawab Embun sedikit canggung karena belum terbiasa. Embun juga lupa kalau Kakek Surya sudah menjadi ayah mertuanya sekarang.
“Mana Kaisar? Dia masih bersamamu, ‘kan?”
Embun meringis mendengar pertanyaan Surya. Dia berdeham sebentar sebelum menjawabnya.
“Eh... Kaisar sudah kembali ke kantor, Pa,” ucap Embun pelan.
“Apa?! Kurang ajar sekali anak itu memang! Baru menikah dan kamu sudah ditinggal pergi kerja?! Harusnya dia antarkan kamu pulang dulu!” omel Surya dengan sedikit berteriak. Sadar dia kelepasan, Surya langsung menimpali, “Maafkan Kaisar ya, Embun. Dia memang cuek, tapi anaknya baik. Kamu jangan sedih dengan sikapnya itu. Dia cuma terlalu sibuk bekerja,” terang Surya memberikan penjelasan pada Embun.
“Tidak apa-apa kok, Pa. Embun paham,” jawab Embun.
“Kamu tenang, Embun. Papa akan tegur dia buat kamu!”
“Papa, aku–!”
Belum sempat Embun mengatakan apa pun, Surya mengakhiri panggilannya. Surya langsung menghubungi anak bungsunya itu.
Telepon diangkat. Sebelum Kaisar sempat mengucapkan salam, sang ayah sudah terdengar mengomelinya.
“Apa yang kamu pikir kamu lakukan?!” seru Surya kepada Kaisar.
Kaisar menjauhkan ponsel dari telinganya, merasa telinganya berdengung mendengar teriakan sang ayah. “Apa lagi?”
“Kaisar, kalian itu baru saja menikah! Bisa-bisanya kamu pergi begitu saja dan membiarkan Embun pulang sendirian. Kenapa tidak kamu antarkan pulang dulu istrimu itu?!”
“Papa, aku sudah menikah sesuai keinginan Papa saja sudah cukup bagus.”
“Kamu ini! Bersikaplah yang baik kepada istrimu! Aku sudah susah payah mencari wanita yang baik untukmu!”
Helaan napas kasar kabur dari mulut Kaisar. Pria itu pun berujar, “Aku menghargainya, itulah kenapa aku ingin mengenalnya dengan lebih baik.” Pria itu menambahkan, “Kalau hanya dengan seperti hal ini saja dia sudah tidak terima, maka aku mulai mempertanyakan apakah dia memang sebaik yang Papa ceritakan.”
“Tapi kamu harus tetap–” Suara koneksi terputus terdengar. “Halo? Kaisar?!”
Surya memindahkan ponsel dari telinga ke hadapannya kesal. Kaisar sungguh memutuskan panggilan!
Dalam hati, Surya membatin, dia akan pastikan Kaisar mendapatkan pelajaran karena sudah menelantarkan menantu barunya!
Di sisi lain, Kaisar yang sudah tiba di depan sebuah hotel terlihat memasukkan ponselnya ke dalam saku. Dirinya terlalu malas mendengarkan omongan sang ayah.
Lagi pula, bukan tanpa alasan dirinya menyuruh Embun pulang dan membeli cincin pernikahan seorang diri. Kaisar ingin menguji Embun. Apakah perempuan itu benar-benar baik dan tulus seperti yang ayahnya bilang. Atau dia hanya seorang wanita materialistis yang berpura-pura baik untuk mengincar uangnya.
Tepat di saat itu, Kaisar mencapai puncak tangga hotel. Terlihat rentetan pelayan telah berbaris dengan rapi di sana.
Melihat kedatangan Kaisar, mereka pun membungkuk hormat dan menyambutnya, “Selamat datang, Tuan Kaisar.”
Toko Perhiasan Elegance Jewelry. “Saya mau lihat beberapa cincin pernikahan koleksi terbaru di toko ini,” kata Embun pada pegawai perempuan yang menghampirinya dengan ramah. “Baik, Bu,” jawab pegawai itu masih dengan senyum ramah di wajahnya. Embun baru saja tiba di sebuah toko perhiasan sesuai dengan permintaan Kaisar untuk membelikan masing-masing dari mereka cincin pernikahan. Memerhatikan kartu kredit yang diberikan padanya, Embun tahu bahwa kartu kredit tersebut spesial dan hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Hal itu membuat Embun memutuskan untuk pergi ke toko perhiasan terbaik di kota itu. Bukan karena tahu Kaisar memiliki uang untuk dibuang, tapi lebih karena wanita itu berpikir membeli di tempat terjamin lebih baik agar kalau-kalau nanti pernikahan mereka disudahi, Kaisar tidak akan kehilangan uangnya dan bisa menjual kembali cincin tersebut. “Ini salah satu koleksi terbaik di toko kami. Berlian berwarna biru ini merupakan berlian langka yang didatangkan langsung
Embun menghela napasnya pelan. Dia tidak akan banyak bertanya pada Kaisar tentang pekerjaan pria tersebut. Pria itu bukan hanya sudah berbaik hati menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, tapi Kaisar juga mengizinkan Embun untuk tinggal di kediamannya. Demikian, rasanya kurang sopan bagi Embun jika menyelidiki Kaisar lebih jauh lagi. Setelah menyelesaikan transaksinya, Embun bergegas memesan taksi online yang akan mengantarkannya ke rumah sang kakak. Hari ini juga dia akan berpamitan dengan Rindang. Rumah Rindang terlihat sepi saat Embun tiba. Ibu mertua sang kakak sepertinya sedang tidak ada di rumah. Embun menarik tangan kakaknya ke dalam kamar. Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang. "Kak, aku hanya mau bilang bahwa hari ini aku mau pindah. Aku sudah menikah tadi pagi dan suamiku memintaku untuk tinggal bersamanya." Kalimat Embun itu sukses membuat mulut kakaknya terbuka. “Bisa-bisanya kamu menikah tanpa memberitahu kaka
“Kak, menurutku itu tidak perlu.” “Hanya untuk jaga-jaga. Kita tidak pernah tahu pernikahanmu ke depannya akan seperti apa. Ini juga untuk kebaikanmu.” Rindang mencoba menjelaskan. Sebagai wanita yang sudah menikah, Rindang lebih paham tentang hal itu. Apalagi jika menjadi istri yang tidak memiliki penghasilan, sertifikat rumah seperti itu akan menguntungkan. Walaupun Embun memiliki penghasilan sendiri, tetapi setidaknya kehidupannya bisa terjamin dengan baik jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Kurasa aku tidak akan meminta hal itu pada suamiku, Kak.” Embun berusaha menolak permintaan Rindang. “Baiklah kalau kamu tidak mau, tapi kalau begitu kakak juga tidak jadi memberikan restu untuk pernikahanmu.” Embun menatap Rindang tidak percaya, lalu detik berikutnya menghela napas. “Baiklah Kak, aku akan coba bicarakan dengan Kaisar.” Embun bisa melihat Rindang tersenyum senang atas ucapannya. Ada perasaan bersalah di hati Embun melihat Rindang tersenyum seperti itu, karena se
“Lihat itu, Pak Kaisar tersenyum.” “Aku tidak pernah melihat Pak Kaisar tersenyum seperti itu. Apa jangan-jangan Pak Kaisar punya kekasih, ya?” Para peserta rapat saling berbisik sejak melihat Kaisar menggunakan ponselnya dan tersenyum. Kaisar berdeham untuk meredakan bisik-bisik di ruang rapat. Dia menyadari rapat siang ini menjadi tidak kondusif karena dirinya. “Lanjutkan rapatnya,” kata Kaisar acuh tak acuh. Nicholas, anak dari kakak pertama Kaisar yang duduk paling dekat dengannya mencondongkan kepala ke arah sang paman. “Paman, apa betul Paman baru saja menikah dengan gadis pilihan Kakek?” bisik Nicholas pelan. Kaisar hanya menjawab pertanyaan keponakannya itu dengan helaan napas tanpa melirik sedikit pun ke arah Nicholas. “Jadi, sungguh Paman sudah menikah?” bisik Nicholas lagi. Kali ini Kaisar menatap tajam keponakannya itu. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapan matanya jelas mengisyaratkan keponakannya itu untuk segera menutup mulutnya. Nicholas tersenyum cang
Embun sendiri hanya bisa meringis menatap Friska. “Coba kalau kamu diskusikan dulu denganku, aku pasti akan membantumu. Aku bisa mengenalkanmu dengan sepupuku, dan kalian bisa menikah.” Embun tersenyum tipis. “Semua sepupumu itu sudah dijodohkan.” Sontak, Friska terdiam. “Iya juga ….” “Kamu juga akan dijodohkan, 'kan?” tanya Embun untuk mengalihkan topik dari dirinya. Sesuai rencana Embun, Friska jadi ingat bahwa ia juga dijodohkan. Hal itu pun membuat Friska menggeram dengan ekspresi tidak senang. Friska dan saudara-saudara sepupunya itu memang berasal dari kalangan atas. Meskipun bukan termasuk keluarga konglomerat, tetapi bisnis keluarganya menjadi salah satu yang layak diperhitungkan di kota ini. Maka tidak heran jika semua sepupu Friska, termasuk Friska, sudah dijodohkan dengan anak relasi keluarganya. Semua itu demi kepentingan kelancaran dan perkembangan bisnis keluarga. Namun, Friska menolak mentah-mentah perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Dia ingin hidup bebas, t
Embun tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia yakin keluarga Rahardja yang sedang dibicarakan bukanlah keluarga suaminya. Papa mertuanya dan Kaisar tidak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat. Walau cara berpakaian mereka cukup mewah, tapi mereka rendah hati dan tidak tampil mencolok. Lagi pula, di negara ini ada banyak nama Rahardja, jadi tidak mungkin jika pewaris Rahardja yang datang ini adalah suaminya. Embun mengangkat bahunya. Kakinya melangkah ke sisi meja tempat makanan disajikan. Gadis itu mengacuhkan kerumunan yang berada di seberang posisinya berada. *** Mengenakan setelan jas hitam dan sepatu kulit mengkilap, Kaisar melangkah dengan mantap memasuki Nusantara Ballroom. Wajah tampan dan kharismatiknya membuat Kaisar menjadi sorotan di pesta itu. “Selamat datang di pesta ulang tahun anak kami, Tuan.” Lelaki setengah baya berjas rapi menyambut kedatangan Kaisar dengan senyum merekah. Kaisar menyambut uluran tangan kolega ayahnya itu dengan senyum sopan
Kaisar memerhatikan wanita di area makanan itu dengan saksama, berhati-hati agar tidak salah mengenali seseorang.Wanita yang sedang asyik memilih makanan seorang diri itu terlihat sangat mirip dengan Embun. Penampilannya yang terlalu sederhana terlihat sangat menonjol dibandingkan tamu undangan lain yang datang.Kaisar tersenyum sopan menyudahi sapaannya pada rekan bisnisnya, dengan dalih hendak menyapa rekan bisnis lainnya. Lalu, Kaisar mengisyaratkan Reza untuk menjauhi kerumunan.“Ada apa, Tuan?” tanya Reza kepada sang atasan.“Pastikan wanita yang aku lihat itu istriku atau bukan! Dan selidiki dengan siapa dia datang!” perintah Kaisar pada Reza. Reza mengikuti arah pandang Kaisar, lalu mendapati sosok serupa Embun yang sedang melahap makanannya dengan santai.Tahu Reza telah melihat apa yang dia lihat, Kaisar pun lanjut bertitah, “Foto segala hal yang dilakukan wanita itu di sini!” Walau perintah tuannya itu terkesan agak berlebihan, tapi Reza tidak memiliki hak untuk bertanya.
“Embun, kamu sedang mencari siapa?” bisik Friska sembari menatap Embun heran, pasalnya sahabatnya itu sedari tadi tampak tengah mencari seseorang.Embun yang sedang mengedarkan pandangannya, menoleh ke arah Friska. Gadis itu memamerkan senyum kecilnya. “Tidak ada. Hanya tadi aku merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan kita,” jawab Embun tak kalah lirihnya.Refleks Friska memutar kepalanya. Gadis itu juga ikut memperhatikan sekeliling. Mencari-cari orang yang dimaksud Embun. Merasa tidak menemukan apa yang dicari, Friska kembali menoleh pada Embun. “Mungkin hanya perasaanmu saja. Ada orang yang kamu kenal di pesta ini?” Pertanyaan Friska dijawab gelengan kepala dan senyum canggung Embun. “Pesta kalangan atas sebesar ini? Mana mungkin?”Keduanya pun kembali larut dalam obrolan. Membuat Embun tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.Di saat yang bersamaan, lelaki di seberang Embun itu kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah Embun. Tubuhnya yang kekar, masih terhalang