Share

Bab 2 - Pernikahan Telah Sah

“Pernikahan kita memang tidak diawali dengan cinta, tapi saya harap kamu tidak menganggapnya permainan.”

Ucapan Kaisar membuat Embun menatap pria tersebut dengan saksama.

Jujur saja, Embun kaget Kaisar menyatakan hal seperti itu. Gadis itu sempat berpikir bahwa Kaisar menganggap enteng pernikahan ini karena memang terpojok situasi. Akan tetapi, ternyata Kaisar cukup serius.

Diselimuti keyakinan, Embun pun berakhir menjawab, “Saya sudah setuju di awal, Kaisar. Jadi tidak mungkin saya mengubah kata-kata saya.”

Dengan pandangan yang mendarat di wajah pria itu, Embun mempelajari ekspresi Kaisar. Akan tetapi, sama sekali tidak bisa Embun baca reaksi pria tersebut terhadap jawabannya.

Kaisar pun mengangguk dan mengisyaratkan Embun untuk mengikutinya masuk ke dalam kantor catatan sipil. Di dalam mereka menyerahkan sejumlah dokumen dan menandatangani berkas-berkas pernikahan. Dalam waktu singkat, keduanya pun keluar dari ruangan dan menjadi pasangan suami istri yang telah dianggap sah oleh negara. 

Di lobi gedung, Kaisar menghadap Embun. “Meski pernikahan kita ini hanya status, tapi saya akan tetap memenuhi kewajiban saya sebagai seorang suami yang sesungguhnya.” 

Kaisar memandang Embun lekat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya. 

“Akan tetapi ….”

“Akan tetapi ... apa?” tanya Embun.

“Jangan harapkan cinta,” tegas Kaisar. 

Embun tersenyum. “Saya sama sekali tidak keberatan. Cinta memang tidak muncul begitu saja. Lagi pula, awal pernikahan kita hanya untuk keuntungan masing-masing saja.” 

Setelah mengatakan itu, Embun memperhatikan pria di depannya itu. Memindai penampilan sang suami dari atas sampai bawah. Embun bisa melihat apa yang dipakai oleh Kaisar adalah barang-barang yang cukup mewah. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin dia tanyakan.

Embun harap, pria itu tidak tersinggung.

“Ada apa?” tanya Kaisar dengan curiga, menangkap keraguan Embun. “Kamu menyesali keputusanmu?”

Kepala Embun menggeleng. “Bukan, tapi … apa nanti pengeluaran rumah perlu kita bagi dua? Saya tidak keberatan kalau memang perlu.” 

Bukan tanpa alasan Embun menanyakan hal itu pada Kaisar. Jujur saja ia trauma dengan teguran ibu mertua kakak perempuannya.

Sementara itu, Kaisar terkejut. Tidak pernah dia duga akan mendengar Embun menyatakan hal semacam itu.

Kaisar pun meraih dompet dari balik saku celananya dan mengeluarkan kartu kredit hitam serta sebuah kunci. 

“Ini kunci rumah dan kartu kredit saya, pakailah untuk masuk ke rumah dan belanja segala keperluanmu maupun kebutuhan rumah.” Pria itu tidak lupa berujar, “Ada alamat yang tertera di belakang kunci.”

Mata Embun mengerjap menerima kedua benda itu. Jujur saja dia tidak menyangka jika Kaisar akan memperlakukannya seperti ini.

Kunci rumah sepertinya masih masuk akal. Akan tetapi, kartu kredit? Apa Kaisar sepercaya itu padanya?

Embun menyodorkan kembali kartu kredit Kaisar. “Agaknya, ini berlebihan. Saya punya uang sendiri.”

Kaisar menatap Embun selama sesaat dengan pancaran mata menelisik. Namun, akhirnya dia berkata, “Kamu sudah menjadi istri saya, jadi mulai saat ini semua kebutuhanmu akan menjadi tanggung jawab saya.” Pria itu menegaskan, “Kalau memang tidak mau pakai, simpan saja. Gunakan saat perlu.”

Mendengar hal itu, Embun pun menyadari Kaisar tidak menerima penolakan. Akhirnya, dia pun mengangguk dan menyimpan kartu kredit beserta kunci itu.

“Saya sibuk, jadi perlu kembali ke kantor. Kamu bisa pulang sendiri, ‘kan?” Suara Kaisar kembali terdengar yang dibalas anggukan pelan Embun. “Sebelum pulang, kamu bisa beli cincin pernikahan untuk kita. Gunakan saja kartu kredit yang kuberikan,” pesannya. “Saya belum ingin memberitahukan soal pernikahan kita pada siapa pun, tetapi ketika menghadiri acara tertentu, kita perlu memakainya.”

 Sekali lagi, Embun mengangguk. “Saya mengerti. Akan kubeli sebelum kembali nanti.”

Pasangan pengantin baru itu melangkah meninggalkan lobi Kantor Catatan Sipil. Keduanya kembali menuju tempat parkir kafe tempat mereka bertemu tadi. 

Sebelum berpisah, Kaisar kembali bertanya, “Kamu pulang naik apa?” 

“Bis,” jawab Embun.

“Tidak ada mobil?”

Embun tersenyum tipis. “Saya tidak punya SIM.”

“Kalau begitu, secepatnya kamu urus pembuatan SIM. Setelahnya kamu bisa beli mobil yang kamu inginkan. Saya akan bantu membayarkan uang mukanya.” Arahan dari Kaisar membuat kening Embun berkerut.

“Saya belum terlalu membutuhkan mobil, Kaisar. Saya lebih nyaman menggunakan bis atau naik taksi saja,” kilah Embun serius.

Kaisar menatap tepat di manik mata cokelat Embun. Kepalanya menunduk mensejajarkan tingginya dengan tinggi istrinya. “Kalau menggunakan mobil, kamu bisa lebih mudah bepergian ke mana pun.” Lalu Kaisar memasukkan kedua tangannya di saku dan kembali melanjutkan, “Pekerjaan saya padat, saya juga sering pergi pagi dan pulang malam. Meskipun kita memang suami istri, tetapi kamu jaga diri kamu sendiri dan tidak perlu mengurusi saya. Saya juga akan tetap mentransfer uang bulanan setelah gajian.”

“Tenang saja, saya mengerti. Saya akan melakukan apa yang kamu katakan tadi.” Embun menganggukkan kepala. 

Sedikit banyak Embun mengetahui jika Kaisar orang yang terbiasa memerintah karena langsung mengatakan banyak hal tanpa menunggu tanggapan dari Embun. 

Setelahnya mereka berdua berpamitan. Kaisar masuk ke mobilnya sendiri dan membunyikan klakson sekali sebelum meninggalkan Embun yang masih menunggu taksi online yang dipesannya.

Tak berapa lama, taksi online pesanan Embun tiba. Tujuan pertamanya adalah menuju toko perhiasan untuk membeli cincin kawin seperti perintah suaminya sebelum pulang ke rumah kakaknya.

Ponsel di dalam tasnya bergetar. Dilihatnya nama Kakek Surya yang menelepon.

“Halo, Kakek!” sapa Embun.

“Kenapa masih memanggilku kakek? Panggil aku papa. Kalian sudah resmi menikah, ‘kan?” suara di seberang itu penuh selidik.

“Iya Kek … eh iya, Pa, semua lancar. Pernikahan kami sudah tercatat di Catatan Sipil,” jawab Embun sedikit canggung karena belum terbiasa. Embun juga lupa kalau Kakek Surya sudah menjadi ayah mertuanya sekarang.

“Mana Kaisar? Dia masih bersamamu, ‘kan?” 

Embun meringis mendengar pertanyaan Surya. Dia berdeham sebentar sebelum menjawabnya.

“Eh... Kaisar sudah kembali ke kantor, Pa,” ucap Embun pelan. 

“Apa?! Kurang ajar sekali anak itu memang! Baru menikah dan kamu sudah ditinggal pergi kerja?! Harusnya dia antarkan kamu pulang dulu!” omel Surya dengan sedikit berteriak. Sadar dia kelepasan, Surya langsung menimpali, “Maafkan Kaisar ya, Embun. Dia memang cuek, tapi anaknya baik. Kamu jangan sedih dengan sikapnya itu. Dia cuma terlalu sibuk bekerja,” terang Surya memberikan penjelasan pada Embun.

“Tidak apa-apa kok, Pa. Embun paham,” jawab Embun.

“Kamu tenang, Embun. Papa akan tegur dia buat kamu!”

“Papa, aku–!”

Belum sempat Embun mengatakan apa pun, Surya mengakhiri panggilannya. Surya langsung menghubungi anak bungsunya itu. 

Telepon diangkat. Sebelum Kaisar sempat mengucapkan salam, sang ayah sudah terdengar mengomelinya.

“Apa yang kamu pikir kamu lakukan?!” seru Surya kepada Kaisar.

Kaisar menjauhkan ponsel dari telinganya, merasa telinganya berdengung mendengar teriakan sang ayah. “Apa lagi?”

“Kaisar, kalian itu baru saja menikah! Bisa-bisanya kamu pergi begitu saja dan membiarkan Embun pulang sendirian. Kenapa tidak kamu antarkan pulang dulu istrimu itu?!”

“Papa, aku sudah menikah sesuai keinginan Papa saja sudah cukup bagus.”

“Kamu ini! Bersikaplah yang baik kepada istrimu! Aku sudah susah payah mencari wanita yang baik untukmu!”

Helaan napas kasar kabur dari mulut Kaisar. Pria itu pun berujar, “Aku menghargainya, itulah kenapa aku ingin mengenalnya dengan lebih baik.” Pria itu menambahkan, “Kalau hanya dengan seperti hal ini saja dia sudah tidak terima, maka aku mulai mempertanyakan apakah dia memang sebaik yang Papa ceritakan.” 

“Tapi kamu harus tetap–” Suara koneksi terputus terdengar. “Halo? Kaisar?!” 

Surya memindahkan ponsel dari telinga ke hadapannya kesal. Kaisar sungguh memutuskan panggilan! 

Dalam hati, Surya membatin, dia akan pastikan Kaisar mendapatkan pelajaran karena sudah menelantarkan menantu barunya!

Di sisi lain, Kaisar yang sudah tiba di depan sebuah hotel terlihat memasukkan ponselnya ke dalam saku. Dirinya terlalu malas mendengarkan omongan sang ayah.

Lagi pula, bukan tanpa alasan dirinya menyuruh Embun pulang dan membeli cincin pernikahan seorang diri. Kaisar ingin menguji Embun. Apakah perempuan itu benar-benar baik dan tulus seperti yang ayahnya bilang. Atau dia hanya seorang wanita materialistis yang berpura-pura baik untuk mengincar uangnya.

Tepat di saat itu, Kaisar mencapai puncak tangga hotel. Terlihat rentetan pelayan telah berbaris dengan rapi di sana.

Melihat kedatangan Kaisar, mereka pun membungkuk hormat dan menyambutnya, “Selamat datang, Tuan Kaisar.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Athinriasathinrias
ceritanya bagus
goodnovel comment avatar
Agustia Mentiri
menarik ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status