Share

Bab 4 - Sertifikat Rumah

Embun menghela napasnya pelan. Dia tidak akan banyak bertanya pada Kaisar tentang pekerjaan pria tersebut. Pria itu bukan hanya sudah berbaik hati menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, tapi Kaisar juga mengizinkan Embun untuk tinggal di kediamannya. Demikian, rasanya kurang sopan bagi Embun jika menyelidiki Kaisar lebih jauh lagi.

Setelah menyelesaikan transaksinya, Embun bergegas memesan taksi online yang akan mengantarkannya ke rumah sang kakak. Hari ini juga dia akan berpamitan dengan Rindang.

Rumah Rindang terlihat sepi saat Embun tiba. Ibu mertua sang kakak sepertinya sedang tidak ada di rumah.

Embun menarik tangan kakaknya ke dalam kamar. Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang.

"Kak, aku hanya mau bilang bahwa hari ini aku mau pindah. Aku sudah menikah tadi pagi dan suamiku memintaku untuk tinggal bersamanya." 

Kalimat Embun itu sukses membuat mulut kakaknya terbuka.

“Bisa-bisanya kamu menikah tanpa memberitahu kakak terlebih dahulu!?”

Kalau bukan karena akta nikah yang Embun tunjukkan sebagai bukti, mungkin sang kakak akan mengira Embun sedang bercanda!

Rindang betul-betul terkejut dengan semua yang terjadi. Kenapa adiknya itu menikah secara tiba-tiba dan tanpa memberitahunya terlebih dahulu? Bukan hanya itu, Embun sampai memutuskan pindah dari rumahnya hari itu juga? Apakah ini semua karena omongan ibu  mertua Rindang?

Namun, menepiskan hal tersebut, Rindang lebih khawatir mengenai siapa pria yang adiknya itu nikahi secara mendadak! 

“Siapa suamimu?! Kamu tidak mengenalkan suamimu pada kakak?!” Mata Rindang berkaca-kaca. Dia marah sekaligus kecewa pada adik semata wayangnya itu. “Kapan juga kamu dapat pacar!?”

Rindang takut jika Embun menikah dengan pria jahat dan brengsek yang hanya akan merusak hidup adiknya. Apalagi selama ini Rindang juga tidak pernah mengetahui siapa saja pria yang dekat dengan adiknya itu lantaran terlalu sibuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Embun tersenyum tak berdaya. “Kak, tenang saja. Suamiku, Kaisar, sangat baik,” tegas Embun.

Dengan mahir, Embun mengarang cerita dan mengatakan bahwa dia telah menjalin hubungan cukup lama dengan Kaisar. Dan karena keduanya memang sudah di usia yang cocok, akhirnya mereka pun memutuskan untuk menikah.

Embun tahu harusnya dia tak boleh berbohong pada kakak semata wayangnya itu. Tetapi, ini adalah satu-satunya cara agar membuat kakaknya tenang dan tidak mengkhawatirkannya lagi. 

“Maaf ya Kak kalau pernikahanku terkesan mendadak,” lanjut Embun. Dipandanginya wajah sang kakak di hadapan.

Rindang adalah satu-satunya saudara kandung yang dimiliki Embun. Kedua orang tua mereka telah meninggal saat mereka masih sekolah. 

Meskipun Embun dan Rindang mendapatkan uang santunan dari kecelakaan orang tua mereka, tetapi keluarga dari pihak ibu mengambil bagian sebagai ganti atas perawatan yang mereka berikan pada keduanya. 

Di sisi lain, Rindang dan Embun tidak tahu banyak tentang keluarga ayahnya. 

Dengan uang santunan kecelakaan yang tersisa setelah diambil keluarga sang ibu, Rindang dan Embun pun susah payah bertahan hidup. Mereka harus menghemat agar bisa membiayai sekolah hingga lulus. Sampai akhirnya, Rindang pun menikah dan mereka tinggal di rumah suami Rindang. 

Beruntung, Embun adalah gadis pandai berkemampuan tinggi yang bisa menyisihkan dan mengelola uangnya. Sehingga di usianya yang tergolong muda, dia bisa mendirikan kafe sendiri dengan uang pribadinya.

“Lihat, Kak. Bagus tidak?” pamer Embun menunjukkan cincin kawinnya pada sang Kakak. Wajahnya dibuat seceria dan sebahagia mungkin.

Rindang mengamati cincin dengan berlian mungil yang melingkar di jari manis adiknya itu. Terlihat sederhana, namun cantik dan sangat elegan. 

“Iya. Bagus,” balas Rindang dengan senyuman tipis.

Melihat cincin mahal yang tersemat di jari adiknya, Rindang mulai percaya jika Embun telah menikah dengan pria yang tepat. Dia berharap adiknya itu akan hidup bahagia dengan keluarga barunya.

Tetapi, perasaan bersalah pada Embun masih menggelayuti hati Rindang. Jelas bukan kebetulan Embun pergi dengan tiba-tiba setelah ibu mertuanya mempermasalahkan gadis itu. 

Rindang mendekati adiknya. Dipeluknya sayang adik semata wayangnya itu. Senyum haru tersemat di bibirnya. Matanya berkaca-kaca mengingat perjuangan mereka berdua untuk bertahan hidup selama ini.

“Kakak bisa apa lagi sekarang selain melepasmu dan merelakanmu pindah ke rumah suamimu,” isak Rindang di sela pelukannya pada Embun.

Embun membalas erat pelukan sang kakak. Air mata pun turun dari kedua matanya. 

Seakan teringat sesuatu, Rindang melepas pelukannya dan menatap Embun. "Embun, kamu juga harus meminta jaminan pada suamimu untuk jaga-jaga kalau dia jahat sama kamu.”

Embun mengernyitkan dahinya. “Jaminan? Maksud Kakak jaminan apa?” tanya Embun bingung.

“Jika suamimu sudah punya rumah, mintalah sertifikat rumah atas namamu. Jika sewaktu-waktu dia menyakitimu, kamu masih punya rumah setidaknya bisa untuk bekalmu nanti. Itu yang namanya jaminan, Dek!” terang Rindang.

“Bukan berharap terjadi hal-hal yang tidak baik. Hanya untuk berjaga-jaga saja,” lanjut Rindang sambil menyunggingkan senyumnya.

Mata Embun sontak terbelalak. Sertifikat rumah?! Yang benar saja!?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Feibie Muntu Karisoh
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status