Toko Perhiasan Elegance Jewelry.
“Saya mau lihat beberapa cincin pernikahan koleksi terbaru di toko ini,” kata Embun pada pegawai perempuan yang menghampirinya dengan ramah.
“Baik, Bu,” jawab pegawai itu masih dengan senyum ramah di wajahnya.
Embun baru saja tiba di sebuah toko perhiasan sesuai dengan permintaan Kaisar untuk membelikan masing-masing dari mereka cincin pernikahan.
Memerhatikan kartu kredit yang diberikan padanya, Embun tahu bahwa kartu kredit tersebut spesial dan hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Hal itu membuat Embun memutuskan untuk pergi ke toko perhiasan terbaik di kota itu.
Bukan karena tahu Kaisar memiliki uang untuk dibuang, tapi lebih karena wanita itu berpikir membeli di tempat terjamin lebih baik agar kalau-kalau nanti pernikahan mereka disudahi, Kaisar tidak akan kehilangan uangnya dan bisa menjual kembali cincin tersebut.
“Ini salah satu koleksi terbaik di toko kami. Berlian berwarna biru ini merupakan berlian langka yang didatangkan langsung dari Afrika Selatan.”
Tampak pramuniaga toko perhiasan itu menyerahkan sebuah cincin dengan berlian biru besar di dengan deretan berlian kecil menghiasi pinggirannya.
Embun menerima cincin yang terasa berat di genggamannya itu. Memang terlihat sangat mewah.
“Atau cincin bermata putih ini juga salah satu yang menjadi penjualan tertinggi di toko kami. Berliannya diambil dari tambang berlian lokal di negeri kita. Tapi, potongan dan desainnya yang indah menjadi ciri khusus untuk cincin ini.”
Kali ini sang pramuniaga mengeluarkan sepasang cincin dengan desain yang lebih rumit. Tak kalah cantik dengan cincin bermata biru tadi. Tapi bagi Embun itu terlihat sangat berlebihan.
Embun masih menimbang-nimbang, cincin mana yang baiknya dia ambil. Pernikahannya dengan Kaisar hanyalah sebuah perjanjian untuk kenyamanan bersama. Oleh karena itu, rasanya tidak baik bagi Embun bila memilih yang terlalu mahal atau yang terlalu mencolok.
“Jika Ibu tidak berkenan dengan desain cincin koleksi kami, Ibu juga bisa memesannya sesuai dengan keinginan Ibu.” Pegawai perempuan itu memberikan alternatif pilihan.
Embun menggelengkan kepalanya. “Itu pasti akan butuh waktu yang lama. Saya akan memilih yang sudah ada di sini saja,” jawab Embun.
Pandangannya kembali menelusuri jejeran perhiasan di etalase.
Sampai akhirnya, pandangan Embun mendarat pada satu cincin di toko itu.
"Saya mau lihat yang itu." Tunjuk Embun pada cincin bermodel klasik dengan desain yang sangat sederhana.
Melihat cincin pilihan Embun, pramuniaga itu mengerutkan kening. “Cincin ini adalah model lama, Bu. Selain itu, modelnya agak kuno dan sederhana.”
Walau mendengar ucapan sang pramuniaga, Embun memiliki pendapat berbeda. Cincin itu tampak sangat manis. Tidak terlihat mewah, tapi juga tidak terlalu sederhana.
Melirik harganya yang juga terlihat tidak terlalu menguras kartu kredit Kaisar, Embun pun mengambil keputusan.
“Saya ambil model ini saja. Sepasang ya, Mbak.” Embun menyerahkannya kembali pada sang pegawai.
Karena tamu sudah memilih, maka pramuniaga itu hanya bisa menurut.
“Apa perlu kami beri ukiran nama di dalamnya?” suara lembut pegawai wanita itu menawarkan pilihan pada Embun.
Embun mengangguk. “Bisa dituliskan nama Kaisar dan Embun ya, Mbak,” jawab Embun tersenyum.
"Apa ada hal lain yang dibutuhkan, Ibu?"
Embun menggelengkan kepalanya. "Cukup itu saja, Mbak."
“Baik Ibu. Mohon ditunggu sebentar ya, Bu. Pesanan Ibu akan segera kami siapkan,” ujar wanita berseragam itu sambil menunjukkan pada Embun untuk menunggu di ruang tunggu eksklusif yang menjadi fasilitas toko perhiasan ini.
Satu jam kemudian Embun diberitahu jika pesanannya sudah selesai. Seorang pegawai mengarahkan Embun menuju kasir yang ditunjuk.
Embun mengeluarkan kartu kredit hitam milik Kaisar untuk melakukan transaksi pembayaran.
Seorang lelaki paruh baya berjas rapi yang sepertinya adalah manajer toko yang mendampingi pegawainya sedikit mengernyitkan dahi kala melihat kartu kredit tersebut. Dia menatap Embun penuh selidik.
“Itu kartu kredit suami saya,” ujar Embun seolah menjawab keterkejutan di wajah sang manajer toko yang kemudian dibalas dengan anggukan senyum ramah sang manajer.
Embun tahu kartu kredit itu memang spesial, tetapi melihat reaksi sang manajer yang seperti itu, apakah berarti Kaisar orang yang begitu istimewa?
Embun menghela napasnya pelan. Dia tidak akan banyak bertanya pada Kaisar tentang pekerjaan pria tersebut. Pria itu bukan hanya sudah berbaik hati menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, tapi Kaisar juga mengizinkan Embun untuk tinggal di kediamannya. Demikian, rasanya kurang sopan bagi Embun jika menyelidiki Kaisar lebih jauh lagi. Setelah menyelesaikan transaksinya, Embun bergegas memesan taksi online yang akan mengantarkannya ke rumah sang kakak. Hari ini juga dia akan berpamitan dengan Rindang. Rumah Rindang terlihat sepi saat Embun tiba. Ibu mertua sang kakak sepertinya sedang tidak ada di rumah. Embun menarik tangan kakaknya ke dalam kamar. Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang. "Kak, aku hanya mau bilang bahwa hari ini aku mau pindah. Aku sudah menikah tadi pagi dan suamiku memintaku untuk tinggal bersamanya." Kalimat Embun itu sukses membuat mulut kakaknya terbuka. “Bisa-bisanya kamu menikah tanpa memberitahu kaka
“Kak, menurutku itu tidak perlu.” “Hanya untuk jaga-jaga. Kita tidak pernah tahu pernikahanmu ke depannya akan seperti apa. Ini juga untuk kebaikanmu.” Rindang mencoba menjelaskan. Sebagai wanita yang sudah menikah, Rindang lebih paham tentang hal itu. Apalagi jika menjadi istri yang tidak memiliki penghasilan, sertifikat rumah seperti itu akan menguntungkan. Walaupun Embun memiliki penghasilan sendiri, tetapi setidaknya kehidupannya bisa terjamin dengan baik jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Kurasa aku tidak akan meminta hal itu pada suamiku, Kak.” Embun berusaha menolak permintaan Rindang. “Baiklah kalau kamu tidak mau, tapi kalau begitu kakak juga tidak jadi memberikan restu untuk pernikahanmu.” Embun menatap Rindang tidak percaya, lalu detik berikutnya menghela napas. “Baiklah Kak, aku akan coba bicarakan dengan Kaisar.” Embun bisa melihat Rindang tersenyum senang atas ucapannya. Ada perasaan bersalah di hati Embun melihat Rindang tersenyum seperti itu, karena se
“Lihat itu, Pak Kaisar tersenyum.” “Aku tidak pernah melihat Pak Kaisar tersenyum seperti itu. Apa jangan-jangan Pak Kaisar punya kekasih, ya?” Para peserta rapat saling berbisik sejak melihat Kaisar menggunakan ponselnya dan tersenyum. Kaisar berdeham untuk meredakan bisik-bisik di ruang rapat. Dia menyadari rapat siang ini menjadi tidak kondusif karena dirinya. “Lanjutkan rapatnya,” kata Kaisar acuh tak acuh. Nicholas, anak dari kakak pertama Kaisar yang duduk paling dekat dengannya mencondongkan kepala ke arah sang paman. “Paman, apa betul Paman baru saja menikah dengan gadis pilihan Kakek?” bisik Nicholas pelan. Kaisar hanya menjawab pertanyaan keponakannya itu dengan helaan napas tanpa melirik sedikit pun ke arah Nicholas. “Jadi, sungguh Paman sudah menikah?” bisik Nicholas lagi. Kali ini Kaisar menatap tajam keponakannya itu. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapan matanya jelas mengisyaratkan keponakannya itu untuk segera menutup mulutnya. Nicholas tersenyum cang
Embun sendiri hanya bisa meringis menatap Friska. “Coba kalau kamu diskusikan dulu denganku, aku pasti akan membantumu. Aku bisa mengenalkanmu dengan sepupuku, dan kalian bisa menikah.” Embun tersenyum tipis. “Semua sepupumu itu sudah dijodohkan.” Sontak, Friska terdiam. “Iya juga ….” “Kamu juga akan dijodohkan, 'kan?” tanya Embun untuk mengalihkan topik dari dirinya. Sesuai rencana Embun, Friska jadi ingat bahwa ia juga dijodohkan. Hal itu pun membuat Friska menggeram dengan ekspresi tidak senang. Friska dan saudara-saudara sepupunya itu memang berasal dari kalangan atas. Meskipun bukan termasuk keluarga konglomerat, tetapi bisnis keluarganya menjadi salah satu yang layak diperhitungkan di kota ini. Maka tidak heran jika semua sepupu Friska, termasuk Friska, sudah dijodohkan dengan anak relasi keluarganya. Semua itu demi kepentingan kelancaran dan perkembangan bisnis keluarga. Namun, Friska menolak mentah-mentah perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Dia ingin hidup bebas, t
Embun tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia yakin keluarga Rahardja yang sedang dibicarakan bukanlah keluarga suaminya. Papa mertuanya dan Kaisar tidak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat. Walau cara berpakaian mereka cukup mewah, tapi mereka rendah hati dan tidak tampil mencolok. Lagi pula, di negara ini ada banyak nama Rahardja, jadi tidak mungkin jika pewaris Rahardja yang datang ini adalah suaminya. Embun mengangkat bahunya. Kakinya melangkah ke sisi meja tempat makanan disajikan. Gadis itu mengacuhkan kerumunan yang berada di seberang posisinya berada. *** Mengenakan setelan jas hitam dan sepatu kulit mengkilap, Kaisar melangkah dengan mantap memasuki Nusantara Ballroom. Wajah tampan dan kharismatiknya membuat Kaisar menjadi sorotan di pesta itu. “Selamat datang di pesta ulang tahun anak kami, Tuan.” Lelaki setengah baya berjas rapi menyambut kedatangan Kaisar dengan senyum merekah. Kaisar menyambut uluran tangan kolega ayahnya itu dengan senyum sopan
Kaisar memerhatikan wanita di area makanan itu dengan saksama, berhati-hati agar tidak salah mengenali seseorang.Wanita yang sedang asyik memilih makanan seorang diri itu terlihat sangat mirip dengan Embun. Penampilannya yang terlalu sederhana terlihat sangat menonjol dibandingkan tamu undangan lain yang datang.Kaisar tersenyum sopan menyudahi sapaannya pada rekan bisnisnya, dengan dalih hendak menyapa rekan bisnis lainnya. Lalu, Kaisar mengisyaratkan Reza untuk menjauhi kerumunan.“Ada apa, Tuan?” tanya Reza kepada sang atasan.“Pastikan wanita yang aku lihat itu istriku atau bukan! Dan selidiki dengan siapa dia datang!” perintah Kaisar pada Reza. Reza mengikuti arah pandang Kaisar, lalu mendapati sosok serupa Embun yang sedang melahap makanannya dengan santai.Tahu Reza telah melihat apa yang dia lihat, Kaisar pun lanjut bertitah, “Foto segala hal yang dilakukan wanita itu di sini!” Walau perintah tuannya itu terkesan agak berlebihan, tapi Reza tidak memiliki hak untuk bertanya.
“Embun, kamu sedang mencari siapa?” bisik Friska sembari menatap Embun heran, pasalnya sahabatnya itu sedari tadi tampak tengah mencari seseorang.Embun yang sedang mengedarkan pandangannya, menoleh ke arah Friska. Gadis itu memamerkan senyum kecilnya. “Tidak ada. Hanya tadi aku merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan kita,” jawab Embun tak kalah lirihnya.Refleks Friska memutar kepalanya. Gadis itu juga ikut memperhatikan sekeliling. Mencari-cari orang yang dimaksud Embun. Merasa tidak menemukan apa yang dicari, Friska kembali menoleh pada Embun. “Mungkin hanya perasaanmu saja. Ada orang yang kamu kenal di pesta ini?” Pertanyaan Friska dijawab gelengan kepala dan senyum canggung Embun. “Pesta kalangan atas sebesar ini? Mana mungkin?”Keduanya pun kembali larut dalam obrolan. Membuat Embun tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.Di saat yang bersamaan, lelaki di seberang Embun itu kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah Embun. Tubuhnya yang kekar, masih terhalang
Pandangan mata para tamu undangan yang sejak tadi mengelilingi Kaisar nampak terkejut. Bukanlah hal yang biasa jika pewaris Rahardja itu menyapa orang lain terlebih dahulu. Semua tamu undangan di situ tahu jika Kaisar menyapa rekan bisnisnya terlebih dahulu, maka bisnis orang tersebut akan meningkat pesat. Tak bisa dipungkiri, begitu besar pengaruh Kaisar dan keluarganya terhadap dunia bisnis. Rendi terkejut dengan sapaan tak terduga ini, lalu ekspresinya berubah terang. “Tuan Kaisar. Nama Anda tentunya telah saya ketahui!” Kaisar bisa mengetahui namanya, tentu saja Rendi senang! Senyum Rendi begitu mengembang. Disambutnya uluran tangan Kaisar dengan penuh sukacita. Pria itu yakin bisnisnya akan berkembang pesat setelah ini. Dia begitu percaya diri. “Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Tuan Kaisar di sini.” Pria itu menambahkan, “Apa kiranya yang ingin Tuan Kaisar bicarakan?” Kaisar diam sesaat menatap Rendi. Dia bisa membaca setiap gerakan pria itu dan tahu bahwa pria tersebut