Share

Bab 2. Dianggap seperti pembantu

Setelah mereka resmi menjadi pasangan suami istri, Wibowo meminta Gara tinggal disini dulu untuk sementara waktu.

“Ajak suami kamu ke kamar dulu, mungkin dia ingin istirahat.” kata Wibowo pada Mia.

Mia mengangguk patuh, dia pun mengajak pria yang sudah menjadi suaminya itu ke kamar.

“Mari.” Lalu Mia melangkah dahulu diikuti oleh Gara.

Mia membuka pintu kamar, mengajak Gara untuk masuk kedalam.

Kamarnya ini memang sangat sempit. Hanya berisi dipan kecil dengan kasur yang sudah mengeras. Ada lemari kayu usang yang beberapa bagiannya sudah dimakan rayap.

Mia melihat Gara masih berdiri disana. Temperamental Pria itu terlihat sangat baik, begitu tenang. Sementara Mia justru sangat canggung dan merasa gugup.

Dia juga melihat bahwa penampilan Gara sangat sederhana, tapi wajahnya sangat tampan dan kulitnya juga putih.

Mia jadi berpikir jika nasibnya tidak akan terlalu buruk menikah dengan pria ini daripada dia harus menjadi istri ketiga Pak Anton.

“Begini kamarku. Tapi aku tidak yakin kamu akan betah.”

Pria itu mengulas senyuman tipis, “Tidak masalah bagaimanapun keadaannya, aku pasti akan betah karena tinggal bersama Istriku.”

Mia mengerutkan keningnya. Didengar dari nada bicaranya, sepertinya pria ini sama sekali tidak menganggap dirinya asing. “Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” Mia bertanya seperti itu.

Gara mengangguk kecil, “Tentu saja kita pernah bertemu. Aku tidak mungkin sembarangan melamar seorang wanita yang belum aku ketahui sebelumnya. Jadi aku sudah pernah melihatmu sebelum ini. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana kehidupanmu di dalam keluargamu ini.”

Mia menautkan kedua alisnya. “Dimana kita pernah bertemu?” Dia mencoba mengingat-ngingat, mungkin saja ada yang terlupa selama ini.

Gara lagi-lagi tersenyum kecil. “Pasti kamu tidak mengingatnya. Pada saat itu aku melihatmu, tapi kamu tidak melihatku.”

Mia memang tidak bisa mengingat suatu momen. Kemudian dia beranggapan jika mungkin kabar tentang ibunya yang sedang mencarikan jodoh untuk dirinya sudah menyebar kemana-mana dan sampai pria ini mendengarnya lalu datang untuk melamarnya.

“Baiklah, tidak masalah apakah kita pernah bertemu atau tidak sebelum ini. Sekarang, sebaiknya kamu mandi dulu.’

“Aku sudah mandi di tempat kerja. Aku ingin istirahat saja. Boleh kan, jika aku tidur disini?” Gara menepuk kasur keras yang sudah didudukinya.

Mia tentu tidak bisa merasa keberatan. Pria ini sudah menjadi suaminya. Dia mengangguk kecil, “Istirahat saja. Aku ingin mandi dulu.”

Baru saja dia membalikkan badan untuk ke kamar mandi, Gara memanggilnya.

“Mia.”

“Ada apa?” Mia menoleh, menatap kedua mata pekat pria itu.

“Apa kamu tidak suka dengan pernikahan kita? Kalau kamu tidak suka, bilang saja. Aku tahu kamu hanya terpaksa karena tuntutan keluarga kamu, kan?” Pertanyaan Gara ini lebih seperti sebuah pilihan untuk dirinya. Tapi untuk apa dia harus memilih jika sekarang? Sedangkan pernikahan mereka telah sah tercatat di departemen agama.

Mia tertegun beberapa saat. Meskipun dia memang lumayan tidak menyukai pernikahan ini, tapi mau bagaimana lagi, sekarang dia sudah resmi menjadi istri pria yang sedang duduk di tempat tidurnya itu.

“Meskipun aku tidak suka, tapi kurasa ini lebih baik. Siapa tahu setelah menikah, mereka tidak akan membenciku lagi.”

Gara menautkan kedua alisnya, tatapannya kali ini penuh rasa penasaran.“Kenapa mereka membencimu?”

Sesaat Mia terdiam, rasanya tidak pantas jika dia tiba-tiba bercerai tentang kesedihannya? Mereka baru saja menikah. Lalu dia menggelengkan kepalanya.

“Lupakan saja. Baiklah, aku mandi dulu. Kamu tidur saja.” Mia melangkah ke kamar mandi.

Gara menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup itu. Banyak hal yang pasti terjadi dalam hidup wanita yang sudah dinikahinya itu.

Baiklah, dia akan melihatnya sendiri nanti.

Gara merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kasur ini lumayan keras dan tidak nyaman untuk dirinya.

Saat Mia keluar dari kamar mandi, dia melihat Gara sudah terlelap. Dia menatap pria itu sedikit lebih dekat sekarang.

Semakin dilihat, pria itu terlihat semakin tampan. Rambutnya sedikit panjang dan diikat dengan karet ke belakang.

Mia mencoba mengingat, apakah benar pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya. Tapi sepertinya memang belum pernah.

Malam sudah larut, Mia bingung mau tidur dimana.

Lantai kamarnya ini sangat sempit jika harus tidur dibawah, tidak ada sofa yang tersedia juga.

Dengan hati-hati dan ragu, dia naik ke atas tempat tidur lalu merebahkan diri di samping Gara.

Gara menggeliat, dia membuka matanya perlahan. Awalnya dia linglung sebentar, tapi segera sadar jika saat ini dia sedang berada dikamar Mia. Dia bangun, melirik jam dinding. Ini masih sekitar pukul 4 pagi.

Gara merasa tubuhnya ngilu-ngilu. Punggungnya juga sedikit sakit. Mungkin karena tempat tidur yang ditidurinya semalam sangat keras. Tubuhnya belum terbiasa.

Dia menoleh ke samping, dia tidak lagi melihat Mia disampingnya. Tengah malam tadi dia sempat terbangun, dia melihat Mia tidur meringkuk di sebelahnya.

Gara menoleh ke kamar mandi. Pintunya sedikit terbuka menandakan tidak orang di dalamnya.

Padahal ini masih sangat pagi, lalu kemana dia pergi?

Lalu Gara turun dari tempat tidur, dia membasuh muka terlebih dahulu kemudian melangkah keluar kamar untuk mencari keberadaan istrinya.

Begitu Gara turun, dia melihat istrinya sedang membungkuk di ruang tamu. Ada kain pel di tangan kirinya. Gara tertegun melihat itu kemudian menghampiri.

“Kenapa harus pagi-pagi sekali kamu sudah mengepel lantai?”

Mia terkejut dan menoleh. Dia melihat pria itu sudah berdiri di dekatnya.

“Kamu sudah bangun? Ini masih sangat pagi, kembalilah tidur. Kalau aku, memang harus begini. Sebelum mereka bangun, semua pekerjaan rumah harus sudah beres.”

Gara menatap punggung Mia yang melangkah ke arah dapur. Dia mengabaikan perintah Mia tadi dan mengikuti istrinya itu.

Dari tempat dia berdiri sekarang, Gara bisa melihat bagaimana kesibukan gadis itu. Dimulai dari membereskan meja makan yang berantakan, menumpuk cucian piring dan mencuci semuanya.

Setelah semua pekerjaan itu beres, Mia masih harus memasak sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Lalu pergi ke belakang untuk mencuci baju seluruh penghuni rumah ini.

Sementara orang-orang di dalam rumah ini masih terbuai mimpi dalam selimutnya masing-masing.

Bukan sehari dua hari ini saja Gara melihat kegiatan istrinya di rumah ini, begitu juga perlakuan mereka pada Mia. Bisa dibilang Mia diperlakukan lebih seperti pembantu oleh keluarganya sendiri.

Dada Gara terasa sesak rasanya, dia merasa tidak tega. Pada suatu hari ketika dia melihat Mia dengan setumpuk pekerjaan dia berinisiatif untuk membantu.

“Biar aku bantu ya?” Dia mengambil sapu dari tangan istrinya.

Mia menoleh, “Eh, pergilah mandi dan berkemas. Nanti kamu bisa kesiangan. Bukankah kamu harus berangkat bekerja?”

“Tidak apa-apa. Aku akan berangkat setelah semua pekerjaanmu beres.”

Mia menjadi terharu, selama ini selain ayahnya, tidak ada yang peduli lagi padanya. Ayahnya sekarang sudah mulai sakit-sakitan dan hanya bisa berdiam di dalam kamar, tidak bisa lagi membela atau melindungi dirinya lagi.

Pria ini, semakin hari semakin menunjukkan perhatian padanya.

“Terima kasih.” Mia mengucapkan kata itu dibalas senyuman Gara yang bisa menenangkan hatinya.

“Tidak masalah, karena kamu istriku. Sudah kewajibanku untuk membantumu.”

Mendengar ucapan Gara, angan Mia seakan melambung, dia mulai merasa nyaman dengan kehadiran Gara. Meskipun pertemuan mereka sangat singkat dan menikah secara mendadak sekali.

Satu bulan setelah pernikahan, mereka sama-sama merasa cocok, lalu berjanji untuk saling menerima satu sama lain.

Hanya saja, ada yang membuat Mia tetap bersedih. Pernikahannya ini tidak juga membawa dampak baik bagi dirinya di depan keluarganya. Mereka tetap membencinya. Apalagi asal usul Gara yang tidak jelas, itu semakin membuat Rita kesal pada Mia dan suaminya.

“Gara, kamu angkat semua barang belanjaan ini ke dapur, setelah itu kamu bereskan meja makan. Bawa semua cucian piring ke tempatnya.” Ini Perintah Rita saat Gara baru pulang dari kerja.

Gara mengiyakan perintah Bu Rita.

Mia melihat suaminya disuruh lagi oleh ibunya. Ibunya tidak segan menunjuk ini itu dan lainnya. Padahal suaminya itu baru saja mau duduk.

Sejak pulang dari kerja tadi suaminya belum sempat istirahat. Kopi yang dibuatnya sampai sudah dingin karena belum sempat disentuh oleh suaminya.

Rita terus menyuruh Gara. Bukan hanya ibunya saja, tapi Silvia sang kakak dan Farhan suami Silvia juga ikut menyuruh Gara.

Perasaan Mia mulai tidak enak. Rasanya dia tidak rela suaminya disuruh-suruh bahkan dianggap seperti pembantu dirumah orang tuanya sendiri.

Bukankah Gara juga adalah menantu laki-laki di rumah ini sama seperti Farhan? Seharusnya mereka bisa sedikit menghargainya. Tapi mereka malah memandang rendah suaminya.

Apa karena suaminya bukan orang kantoran seperti suami Silvia dan calon suami Dinda?

Tetapi tidak seharusnya mereka semena-mena memperlakukan suaminya seperti itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status