Share

Bab 4. Semakin penasaran.

Mia sudah kembali lagi ke kamar tanpa membawa makanan apapun. Dia melihat suaminya telah selesai mandi dan sedang memilih ganti.

Dada pria itu terlihat bidang dengan kulit yang mulus dan bahu yang kekar. Otot dan perutnya juga terbentuk seperti sengaja dirawat dengan olahraga gym yang teratur.

Mia sering merasa aneh, kenapa suaminya yang katanya hanya seorang kuli serabutan bisa memiliki tubuh yang indah dan kulit semulus itu?

Dia menatap kulitnya dan membandingkan. Benar-benar kalah.

Gara menyadari jika Mia sedang memperhatikannya. Dia tersenyum kecil dan mendekati, “Belum puas? Kenapa tidak memegangnya saja? Ini milikmu.” Gara mengambil tangan Mia dan menaruh di perutnya.

"Eh!” Mia tersipu malu, segera menarik tangannya.

Gara tertawa kecil melihat wajah memerah istrinya lalu kembali pada pakaian yang sudah ditemukan.

Kaos putih yang telah pudar warnanya, dengan celana pendek hitam yang juga telah pudar. Cuci kering pakai, mungkin itu yang membuat pakaian Gara tampak pudar.

Mia juga merasa aneh, suaminya ini hanya punya beberapa pakaian saja. Dia sudah sering menyuruh Gara membeli pakaian, tapi Gara selalu menolak dengan alasan, “Uangnya untuk keperluan kamu saja.”

Meskipun hanya berpakaian apa adanya seperti itu, menurutnya, pria itu tetap terlihat tampan. Atau mungkin karena dia sudah mulai menyukai pria ini?

"Mana makanannya?” Gara bertanya saat menyadari Mia tidak membawa apapun ke kamar.

Mia tidak menjawab, dia hanya memasang wajah murung dan duduk ditepi tempat tidur.

Gara tersenyum, sudah bisa mengerti apa yang terjadi. “Apa kubilang tadi?”

Mia mendengus kesal, lalu menatap suaminya dengan perasaan sedih. “Kamu masih kuat kan, sampai besok pagi?”

Gara tertegun, mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala istrinya. “Tentu saja, tapi bagaimana istriku ini? Kamu pasti belum makan, kan?”

Mia membalas dengan senyuman, “Aku kuat kok sampai besok, jangan khawatir.”

Gara merasa sedih, kemudian mengambil ponselnya dan mengulik sebentar.

“Aku memesan makanan, tunggu sebentar ya?”

Mia terkejut saat Gara mengulurkan uang padanya. “Eh, tidak usah. Untuk kamu berangkat kerja besok. Kalau tidak ada uang lagi bagaimana?”

“Masih ada, jangan khawatir.”

Dengan ragu-ragu Mia menerima uang itu.

Tanpa sengaja dia melihat ponsel yang sedang dipegang oleh suaminya.

Tunggu sebentar, ada yang mengganjal dalam pikirannya. “Gara, itu ponsel kamu?”

Gara mengangkat tangannya, memperhatikan ponsel miliknya.

“Iya, kenapa?”

Mia bukan perempuan yang terlalu bodoh, dia tahu jika ponsel itu adalah ponsel mewah pengeluaran terbaru.

“Ponselmu, kenapa sangat bagus? Kamu membelinya sendiri atau,’

Gara langsung sadar jika istrinya mulai mencurigainya, “Oh, ini pemberian bos. Apa kamu mau? Aku bisa meminta bos untuk membelikan kamu juga. Bos ku sangat baik.”

“Eh, tidak perlu. Tidak usah. Aku ke depan dulu ya?” Mia langsung membalikan badannya untuk keluar dari kamar.

Dia berjalan ke depan untuk menunggu pesanan makanan. Tapi dia masih memikirkan ponsel milik suaminya tadi.

Dia pernah melihat ponsel jenis itu di internal. Harganya saja bisa puluhan juta. Mustahil sekali jika bos Gara memberikan ponsel semahal itu dengan begitu mudah.

Dari mana ponsel itu? Atau jangan-jangan suaminya telah mencuri milik orang lain?

Mia mulai banyak pikiran.

Tidak lama menunggu, makanan pesanan datang. Mia melotot saat melihat bandrol makanan itu.

Kenapa sangat mahal? Makanan apa memangnya?

Setelah membayar, Mia cepat kembali ke kamar, dia takut ada yang melihat. Pasti hanya akan mendapatkan ocehan panjang lebar jika ibu atau kakaknya melihat dia membeli makanan online.

Untung tidak ada yang melihat.

Tapi Mia masih memikirkan harga makanan yang sudah dibawanya. Ini sangat pemborosan. Menurutnya, harga makanan ini bisa untuk membeli keperluan dapur selama beberapa hari.

Tiba di kamar, dia langsung bertanya pada Gara, “Memang, kamu pesan makanan apa? Kenapa begitu mahal?”

“Sesekali tidak masalah memanjakan lidah. Makanlah, jangan memikirkan harganya.” Gara tahu jika istrinya tidak pernah makan makanan enak di rumah ini. Malam ini dia sengaja memesan makanan enak.

Mia hanya mengangguk, membenarkan ucapan suaminya lalu duduk dan membuka bungkus makanan.

“Wah!” Dia terbelalak saat melihat Pizza dan Barbeque dalam kotak makanan. Seumur hidup, memegang makanan ini pun tidak pernah.

Mia tersenyum senang dan menikmatinya. Dia melupakan harga makanan ini.

“Ini benar-benar sangat enak. Jika ibu tau, pasti akan sangat marah.” Mia berkata sambil mengunyah.

Gara tertawa kecil, “Tidak ada yang melihat kan?”

Mia menggelengkan kepalanya.

“Kalau begitu, jangan dipikirkan. Makanlah dengan baik.” Gara menatap Mia yang sangat menikmati makanan itu. Ada rasa sedih dalam hatinya. Istrinya ini mungkin sudah cukup lama menderita. Suatu saat nanti dia berjanji akan membawanya keluar dan memberinya semua kebahagiaan.

"Kamu tidak mau?" Mia mendongak, menatap Gara yang memperhatikannya.

“Aku sudah makan dikerjaan. Makan saja, jika tidak habis bisa disimpan untuk besok pagi.”

Mia mengangguk, melanjutkan makannya.

Ponsel Gara berdering, pria itu berdiri mengangkat panggilan dan menjauh. Mia memperhatikan Gara. Sepertinya ada hal cukup serius yang dibicarakan oleh suaminya itu dengan si penelpon.

Mia kembali penuh pertanyaan. Setiap dirumah, ponsel Gara sering berbunyi dan dia akan mengangkat panggilan secara diam-diam.

Apa yang disembunyikan oleh suaminya?

Selama ini Mia memang tidak pernah bertanya mengenai latar belakang kehidupan Gara. Dia hanya mengetahui jika Gara hidup sebatang kara dan tidak memiliki pekerjaan yang jelas.

Mia tidak pernah memikirkan hal itu sebelum ini. Baginya, mendapatkan seorang suami saja sudah cukup.

Meskipun pada awal pernikahan, Mia sempat menangis semalaman memikirkan nasibnya yang malang. Menikah dengan Pria yang sama sekali belum dikenal. Padahal dia masih ingin mencari pekerjaan yang baik diluar sana. Kemudian menabung banyak uang untuk masa depannya. Lalu jatuh cinta pada seorang pria, berpacaran kemudian menikah dengan penuh cinta.

Nyatanya semua mimpinya harus terkubur karena desakan ibu yang terus memaksakan kehendaknya demi anak emasnya.

Meskipun ayahnya sempat mengatakan sesuatu yang baik, jika dia tidak akan salah dalam memilih suami. Gara adalah pria yang baik dan punya masa depan yang baik.

Saat itu, ibu membantah dengan keji, “Apanya yang baik? Pria itu hanya bekerja serabutan yang tidak jelas! Hanya akan menjadi beban keluarga! Sudah miskin, juga sebatang kara! Benar-benar tidak berguna.”

“Jika ibu punya pendapat seperti ini, kenapa masih memaksaku untuk menikah dengannya?” Mia menjawab.

“Karena kamu sudah tidak ada waktu lagi untuk memilih. Dinda akan segera menikah, jadi kamu harus duluan menikah. Jangan sampai membuat malu adikmu.”

Lagi-lagi, ibunya hanya memikirkan Dinda.

Mia hanya bisa menurut. Sampai dia menikah dengan Gara dan mulai saling menerima.

Pria ini sangat penyabar, begitu lembut dan memberi perhatian banyak pada dirinya. Mia semakin nyaman dan mulai menyukainya. Setiap hari dia akan merasa kesepian jika Gara pergi bekerja. Menjelang sore dia akan menunggu Gara pulang dengan gelisah.

Sampai saat ini Gara masih sangat tertutup sekali tentang latar belakang hidupnya, tapi Mia tidak ingin banyak bertanya. Dia khawatir membuat Gara tidak nyaman. Perlakuan ibu dan saudara-saudaranya pada Gara saja sudah membuat Mia sedih. Untung saja Gara masih tetap bertahan disisinya. Meskipun setiap hari hanya dihina dan direndahkan oleh keluarganya.

Tapi, semakin hari kenapa dia sangat penasaran dengan pria ini?

Dia melihat Gara sudah selesai dengan si penelpon. Gara kembali mendekatinya dan duduk di depannya.

Mia mendongak, menatap baik-baik Gara. Dia berdehem kecil. “Gara, aku ingin bertanya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status