Share

Bab 3. Terus dihina

Kali ini Mia tidak dapat menahan diri lagi, dia bangun dan menghampiri Gara.

"Gara, ayo duduk. Diminum dulu kopinya.” Mia menarik tangan Gara dan membawanya duduk.

"Iya.” Gara menjawab dengan kelembutan, kemudian meminum kopi buatan istrinya.

Mia tersenyum padanya, lalu menyugar rambut Gara yang sangat berantakan.

"Setelah ini, kamu ke kamar saja. Mandi dan beristirahat. Sebentar lagi aku menyusul."

"Iya. Kalau begitu aku naik duluan ya?"

Tapi baru saja Gara bangun dari duduknya untuk naik ke kamar, Rita terdengar sudah memanggilnya lagi.

Gara berlari kecil menghampiri dengan patuh, “Iya, Bu. Ada apa?”

“Kamu cuci piring dulu. Lihat itu, sudah menumpuk.” Rita menunjuk tumpukan piring dan baskom yang lumayan banyak.

Mendengar itu, Mia benar-benar merasa kesal, dia langsung menghampiri dan berkata pada ibunya, "Bu, Gara itu dari pulang kerja belum beristirahat. Jangan disuruh lagi, biar dia beristirahat dulu. Aku saja nanti yang akan mencuci piring."

Rita melotot dan membalas dengan ketus, "Memangnya kenapa kalau Gara cuci piring? Apa ada yang salah?"

"Mencuci piring itu pekerjaan perempuan. Bisa kita saja nanti yang mengerjakan setelah selesai kue!"

"Itu bisa kemalaman. Kamu kerjakan kue itu sampai selesai. Pagi-pagi harus sudah siap diantar. Itu adalah kue pesanan terakhir karena Minggu depan kita sudah akan sibuk dengan urusan pesta untuk Dinda. Biarkan saja suamimu yang mencuci piring!" Rita berkata dengan nada tinggi sambil melirik Gara dengan cukup sinis.

"Sudah, tidak apa-apa, Mia. Aku bisa kalau hanya mencuci piring." Kata Gara, dia sudah mau melangkah ke dapur lagi.

Mia menahan tangannya suaminya.

“Sudah sana kamu ke atas saja. Mandi dan istirahat!"

Rita melotot kembali dan marah, "Suami kamu ini kerjanya juga paling cuma kuli bangunan atau serabutan. Cuci piring seharusnya tidak apa-apa. Lagian, kalian cuma numpang gratis disini. Jadi, anggap saja itu sebagai imbalannya!"

Mata Mia terbelalak, dia sama sekali tidak percaya jika ibunya bisa sampai berkata demikian didepan Gara tanpa memperdulikan perasaannya.

"Ibu! Jadi selama ini Ibu menganggap kami menumpang disini? Lalu Kak Farhan dan Kak Silvia bagaimana? Aku juga anak ibu!" Protes Mia.

"Tentu saja berbeda. Kakak ipar kamu itu bekerja kantoran! Dia paling banyak memberi uang patungan untuk biaya sehari-hari dirumah ini. Lihat suami kamu! Apa yang bisa dia berikan pada kita, hah? Cuma numpang makan, minum dan tidur gratis disini!"

Rita kembali menoleh pada Mia yang masih berdiri disitu, “Kupikir setelah kamu menikah akan mengurangi beban keluarga ini, tapi nyatanya malah menambah beban saja. Biarkan saja dia bekerja di dapur, untuk mengurangi kesibukan kamu juga.” Rita berkata lagi dengan nada rendah tapi penuh dengan sindiran.

Dada Mia penuh sesak rasanya.

Dia tidak terima ibunya terus-terusan menghina suaminya. Ini bukan sekali dua kali, tapi terjadi hampir setiap hari semenjak satu bulan yang lalu Gara menikahinya dan tinggal disini bersama mereka.

Kali ini Mia benar-benar ingin melawan ibunya, dia sudah melangkah maju. Tapi Gara menahan tangannya.

"Sudahlah, Mia. Jangan bertengkar dengan Ibu."

Mia hanya bisa menghela nafas panjang, kemudian menarik tangan Gara agar mengikutinya ke kamar.

"Heh! Orang tua sedang bicara malah pergi! Dasar istri dan suami sama saja! Sama-sama tidak tahu diri!" Rita berteriak memaki mereka. Mia masih mendengar dan hampir memutar tubuhnya kembali, tapi Gara menahannya lagi dan menarik tubuhnya agar lebih cepat sampai di kamar.

Setelah melangkah masuk, Mia membanting pintu untuk meluapkan emosi.

Gara tahu istrinya sedang marah, tapi dia merasa terharu telah dibela oleh istrinya. Hatinya menjadi hangat. Dia mendekat dan berkata dengan lembut, “Mia, tidak boleh seperti itu.”

"Tapi ibu itu sudah keterlaluan! Tidak seharusnya dia begitu padamu!”

“Tetap tidak baik membicarakan ibunya sendiri seperti itu. Bagaimanapun juga, memang aku yang salah. Mungkin karena aku belum memberi uang patungan dirumah ini.”

"Tapi bukan berarti kamu harus dihina! Aku tidak rela. Kamu juga menantu di rumah ini. Dulu, ibu yang memaksa supaya aku menikah denganmu, tapi untuk apa kalau hanya untuk dihina. Aku ini anak kandungnya juga, kenapa harus dibeda-bedakan?"

"Sudah, sudah. Tidak usah dipikirkan lagi. Aku baik-baik saja. Yang penting kita bisa menyenangkan hati ibu. Itu akan mendapat pahala."

Mia tertegun, dia merasa heran. Hati suaminya ini terbuat dari apa? Kenapa bisa begitu sabar?

Padahal dia saja merasa sangat sakit dengan perlakuan ibu padanya. Jika hanya berlaku untuknya mungkin dia masih bisa menahan diri karena itu sudah biasa. Dari kecil hingga dia sebesar ini. Cacian dan hinaan sudah menjadi makanannya setiap hari.

Tapi ini suaminya, anggota baru dirumah ini. Mia merasa tidak enak hati pada Gara.

Memang diakui oleh Mia, dia sangat bersyukur bisa dinikahi oleh Gara. Bukan hanya tampan baginya tapi Gara sangat baik, lembut dan penyabar.

“Terima kasih ya, kamu sudah mau mengerti keadaan disini.” Mia memeluk suaminya.

“Iya. Percayalah, semua akan baik pada waktunya.” Gara membalas pelukan. Mia merasa nyaman, menenggelamkan kepalanya pada dada suaminya.

Ada yang aneh. Bukankah suaminya hanya kerja sebagai seorang serabutan? Paling tidak, harusnya ada bau keringat atau matahari yang menempel di bajunya.

Mia menajamkan penciuman untuk kali ini.

Benar, tidak ada sama sekali. Hanya ada aroma parfum maskulin yang biasa dipakai Gara sebelum berangkat bekerja.

Mia tertegun beberapa saat, kemudian melepaskan pelukannya.

“Gara, setiap pulang dari kerja kenapa baju kamu selalu masih wangi? Apa saat bekerja, kamu berganti dengan baju lain?” Seperti itu tebakan Mia.

“Oh, i,iya. Aku ganti baju.” Gara menjawab dengan sedikit gugup.

“Terus, baju kotornya dimana? Apa kamu tinggal di tempat kerja?”

Gara mengerutkan alisnya, “Itu, iya. Aku mencucinya sekalian disana. Biar tidak membawa pulang baju kotor, kasihan istriku kalau harus mencuci baju kerjaku. Itu sangat kotor.”

“Oh,” Mia hanya mendengus. Kalau begitu memang masuk akal.

"Lain kali jangan terlalu menurut kalau mereka menyuruhmu seperti tadi. Tidak apa-apa melawan sedikit. Karena kamu juga menantu laki-laki di keluarga ini, seharusnya juga dihargai."

Gara hanya mengulas senyum saja kemudian mengambil handuk.

"Aku mandi dulu ya."

"Baiklah. Kalau begitu, aku akan mengambil makanan. Kita makan di kamar saja."

Gara cepat mencegah. Dia seperti sudah bisa menebak jika ibunya Mia akan marah lagi.

"Jangan, Mia. Nanti Ibu marah lagi. Kita bisa makan di dapur saja nanti."

“Karena itu sudah biasa, jadi tidak masalah bagiku.” Mia tetap keluar dari kamar menuju meja makan.

Benar apa yang dikatakan Gara, begitu melihat Mia mendekati meja makan, Ibu langsung menegur.

“Mau apa kamu?”

Mia menoleh, dengan memegang piring kosong di tangannya.

“Ambil makan untuk Gara, Bu. Kasihan dia belum makan.”

“Kenapa tidak makan disini saja? Makan di kamar itu tidak baik! Suruh saja dia makan disini. Kalau kalian keberatan, tidak perlu ada makan malam untuk kalian malam ini!”

Di ujung sana, Silvia berbicara dengan nada mengejek, "Suami miskin seperti itu saja kamu perhatikan secara berlebihan seperti itu, bagaimana kalau kamu punya suami seperti Mas Farhan atau seperti calon suaminya Dinda? Duh, bisa-bisa kamu tidak izinkan dia keluar dari kamar seharian.”

Tadinya Mia tidak ingin menghiraukan ocehan mereka, tapi lama kelamaan dia tidak tahan saat ibu dan kakaknya terus menghina suaminya.

Mia menaruh piring kosong yang belum diisi nasi itu kembali pada tempatnya.

"Kalau tidak boleh makan ya sudah! Tidak perlu menghina kami!” Mia kembali ke kamar tanpa membawa makanan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status