Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Kakinya terus melangkah, sementara kepalanya terus menunduk. Hanya melangkah tanpa tujuan pasti. Tangannya menggenggam sebuah kertas. Mulai lelah berjalan, dia duduk begitu saja, tidak peduli jika kemeja yang dia kenakan akan berdebu. Kepalanya terangkat, menatap kerumunan mahasiswa berkemeja putih.“Diva!” panggil seseorang, menghampiri gadis itu.Berbeda dengan Diva yang lusuh, gadis berkemeja putih itu terlihat lebih fresh dan ceria. Satu langkah lebih unggul dibanding Diva, membuatnya bangga.“Re,” gumam Diva.“Udah acc?” tanya Rere. Diva menyembunyikan kertas yang tadi dia pegang ke balik tubuhnya. Rere yang melihat hal itu, malah menarik kertas tersebut. Gadis itu hendak tertawa, tetapi mencoba menetralkan wajahnya kembali.“Kamu bahkan belum lulus mata kuliah dia juga? Padahal ini kali kedua kamu mengikutinya, ‘kan? Sebenarnya ada masalah apa sih kamu dan Pak Juan?”Jangankan Rere, gadis itu sendiri juga tidak mengetahui di mana letak kesalahannya, hingga pria bernama Juandra
Cahaya dari lighting memenuhi ruang pemotretan. Gadis itu mengganti gaya photoshoot lagi. Wajah yang terlukis sempurna dipadukan dengan pakaian dari desainer ternama. Kali ini, wajah cantiknya akan tertera lagi di cover majalah fashion. Gadis itu menghela napas lega, pemotretan hari itu selesai.Dia menerima air mineral dan segera meneguknya. Matanya sedikit perih karena cahaya dari lighting.“Diva!” panggil seseorang. Tanpa menoleh pun, dia sudah tau siapa pelakunya.“Kenapa menerima tawaran photoshot tanpa memberitaku aku dulu?” cecar wanita itu. Diva memutar bola matanya. Sangat malas menghadapi manajer yang terkadang melewati batas. Arinda sering sekali mengurusi hidupnya, membuat Diva kadang muak.“Memangnya ada yang salah?” tanya gadis itu setelah meletakkan minumannya. Arinda membulatkan matanya. Diva tertawa kecil, sudah menebak penyebab sang manajer marah.“Kamu tau kalau pemilik desainer brand ini adalah musuh lama kamu, kenapa masih kukuh menerima tawarannya? Kamu tau ka
“Saka awas!”Terlambat, mobil yang melaju kencang dan kehilangan kendali itu, menabrak pembatas jalan, hingga hancur berkeping-keping. Belum sempat menyadari apa yang tengah terjadi, tubuhnya sudah terdorong kuat, keluar dari mobil. Tubuhnya terlempar sangat kuat, hingga menyentuh aspal.“Saka!” teriak gadis itu. sang sahabat masih tersisa di dalam mobil yang sebentar lagi akan meledak. Tertatih, dia mencoba bangkit, meski tubuhnya terasa sangat sakit.Duar! Suara ledakan muncul bersama api. Tubuh gadis itu kembali terpental, cukup jauh. Wajahnya penuh luka bukan saja sebab terkena aspal yang keras, tetpi juga akibat ledakan yang membuat wajahnya hampir tidak dikenali.“Saka!” gadis itu terbangun dengan keringat membasahi keningnya. Gadis itu menoleh, menemukan foto dua orang berlawanan jenis yang tengah tersenyum lebar.“Ka, maaf,” lirihnya.Dadanya seperti dihimpit oleh sesuatu membuat dia sedikit sulit mengatur napas. Gadis itu meraih gelas dan meneguk isinya sampai habis. Merasa m
Dia meneguk lagi minuman berwarna, beralkohol kadar tinggi. Dia sudah sempoyongan, tetapi tidak terbesit niat untuk berhenti. Satu gelas terisi dan diteguk sampai habis.Hari ini benar-benar menjadi hari terburuk. Diva akan menandainya di kalender dengan tinta hitam, sesuai warna yang amat dia benci. Sudah jatuh, tergelincir, tertimpa tangga pula. Satu pepatah yang cocok menggambarkannya hari ini.“Kak Johan!” panggilnya, cowok setinggi 170 cm itu menoleh. Dia menaikkan alisnya, mempertanyakan siapa gadis yang memanggilnya. Diva berlari, mendekat. Cowok itu sama sekali tidak berubah bahkan setelah tiga tahun tidak bertemu. Masih tampan dan penuh karisma.“Kakak gak ingat Diva?”“Diva? Aku hanya kenal Diva Ariesta, yang tidak sebaik kamu. Maaf dari segi wajah,”Diva terdiam, benar juga dua tahun tidak bertemu dengan Johan. Cowok itu pasti tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenali wajah barunya. Gadis itu menghela napas, mencoba tersenyum. orang mengenal Diva yang berwajah pas-pasan