Share

BAB 5. Bad News

Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William.

“Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya.

“Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati.

Pria paruh baya itu menghela napas panjang.

“Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?”

“Apa itu penting untuk Papa?”

Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas.

“Kamu harus membuka lembaran baru, Nak. Jangan terjebak dengan masa lalu. Papa inngin kamu mengenal dunia baru tanpa wanita itu,” tutur Respati, menatap sendu putranya yang masih terjebak dengan masa lalunya. Juandra berdecak, Respati seolah menyesali perbuatannya, tetapi selalu mengulang kesalahan yang sama.

“Kalau begitu bawa dia kembali! Hanya dengan begitu aku bisa melanjutkan hidupku kembali!” pungkas Juandra.

Dia bergegas menjauh, sebelum dadanya semakin sesak. Mengingat masa lalu yang belum juga bisa dia lupakan. Respati menatap sendu punggung putranya yang semakin menjauh.

“Ke mana, Bang?” tanya wanita paruh baya yang lengkap dengan pakaian tidur. Juanndra menatap lembut wanita tersebut. Berbeda saat berhadapan dengan Respati.

“Juan malam ini tidur di apartemen, Ma. Mama jangan lupa makan obat sebelum tidur. Abang pergi dulu,” pamitnya menyalami tangan wanita itu, mencium pipinya sebelum berlalu.

Juandra menyayangi wanita yang melahirkannya dan membesarkannya itu. Dia bertahan hanya agar wanita itu juga bertahan. Sesungguhnya sejak seseorang di masa lalunya pergi, Juandra sudah kehilangan harapan untuk menjalani hidup.

Dia menyetir mobilnya. Menginap di apartemen pribadinya adalah pilihan yang lebih tepat.

Juandra memarkirkan mobil di parkiran, sebelum memasuki apartemen yang berada di lantai lima. Apartemen itu dia beli agar lebih dekat dengan kampus. Sehingga saat ada urusan yang teramat penting, Juandra bisa bergegas ke kampus.

Pintu apartemen terbuka, menampilkan ruangan yang amat rapi. Meski tinggal sendiri, pria itu tetap merawat dan menjaga kebersihan apartemennya. Dia mengambil bungkus sisa makanan ringan di atas meja, merapikan lalu membersihkan apartemennya. Tidak lupa menyisihkan pakaian kotor untuk dicuci kemudian.

Fasilitas di apartemen sangat memadai, membuat dia yang suka kenyamanan bisa mendapatkannya.

Usai beres, pria itu memilih masuk ke kamar, membaringkan tubuhnya dalam posisi terlentang, menghadap langit-langit.

Wajah memelas mahasiswi bimbingannya itu kembali muncul dalam benaknya.

“Bapak mengancam dengan mudah, menyuruh saya ini itu, menyuruh saya mengulang mata kuliah terus menerus. Saya lelah, Pak! Saya juga udah berusaha keras untuk mengerjakan tugas dari Bapak!”

Mengingat perkataan jujur Diva membuat sedikit rasa bersalah menyusup dalam dadanya.

“Apa aku keterlaluan sama dia? Ck, dia sendiri yang salah, apa susahnya menuruti permintanku dan mengikuti kuliah dengan benar, malah ke klub dan bekerja sebagai model,” gumamnya meyakinkan diri.

Diva adalah mahasiswi yang cukup terkenal, bukan karena prestasi tetapi sebagai top model yang wajahnya sering muncul di majalah fashion. Terkadang, Diva mengabaikan panggilan darinya saat penting. Hal yang membuat Juandra cukup kesal.

“Biarkan saja, toh dia bisa membaya biaya kuliah dari hasil sebagai seorang top model,”

Dibanding terus memikirkan Diva, lebih baik dia memejamkan mata.

Baru saja menutup mata, bayangan seseorang kembali. Sebuah mimpi buruk yang terus saja mengganggu malamnya. Pria itu terbangun, tidurnya selalu berakhir seperti ini. Selelah apa pun, tetap saja dia kesulitan untuk tertidur. Matanya sulit terpejam.

“Ck, mau sampai kapan begini terus?”

..

Cahaya yang menyusup lewat celah jendela, mulai mengganggu ketenangan gadis yang masih memejamkan matanya itu gadis itu menarik selimut guna menghindarkan cahaya yang terus mengganggunya.

Dia menyerah, menyibaak selimut hingga menyisakan pakaian dalamnya saja. Gadis itu bergegas ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan mengganti dengan pakaian yang lebih santai. Selalu begitu, setiap tidur dia hanya akan mengenakan dalaman saja. Katanya lebih nyaman dan tidak gerah.

Tidak kebayang kalau dia menikah dan harus berpakaian seperti itu setiap akan tidur di hadapan orang lain.

Diva menggeleng kuat, tidak ingin memikirkan terlalu jauh.

“Skripsi aja belum beres, wisuda belum, udah mikir nikah aja,” dumelnya mengingatkan diri sendiri.

Pantulan cermin menunjukkan seorang gadis yang tengah mengeringkan rambutnya dengan hair dyer. Gadis itu bersenandung kecil, sembari menapaki anak tangga satu per satu. Dia tersenyum, mengecup pipi wanita paruh baya yang tengah menyiapkan sarapan.

“Ada rencana pagi ini?” tanya Mutia. Diva berpikir sejenak. Memilih mengecek jadwal di ponselnya. Dia sungguh pelupa, sehingga lebih sering memasang alaram pengingat.

“Ada jadwal pemotretan hari ini, Ma,” sahutnya.

Jadwalnya cukup padat hari ini. Akan menghabiskan waktu seharian di luar rumah.

Mutia menarik kursi di hadapan putrinya.

“Kamu bertengkar lagi dengan Papa?”

Diva kehilangan selera makan saat masalah itu diungkit lagi. Gadis itu meneguk air minum, guna menenangkan diri.

“Mulai sekarang Diva akan membiayai kuliah Diva sendiri, jadi Mama gak perlu cemas lagi,” ucap gadis itu, mengulas senyum tipis.

Mutia menatap putrinya sedih.

“Kamu tidak harus melakukan ini. Kamu hanya perlu menjelaskan segalanya sama Papa. Dia akan mengerti, Nak,”

“Enggak, Ma! Papa gak akan mengerti. Dia hanya menginginkan anak yang jenius dan berprestasi, bukan putri yang gak bisa apa-apa. Putri yang bahkan belum juga lulus kuliah,” sanggah gadis itu tersenyum kecut.

Mutia menarik Diva ke dalam dekapannya.

“Maafkan Mama,”

“Bukan salah Mama. Ini udah keputusan yang Diva ambil, jadi Mama harus menghargainya,” pinta gadis itu.

Mutia hanya mengangguk pasrah. Satu hal yang tidak berubah dalam diri putrinya yaitu pendiriannya yang selalu teguh.

“Makan lagi, Mama sengaja masak banyak, biar kamu gak diet terus,”

Diva terkekeh, mulai menikmati sarapan yang Mutia siapkan. Badannya tidak akan bertambah jika dia makan banyak, jadi tidak akan menjadi masalah.

“Oh iya, soal pria yang mengantar kamu kemarin, lumayan tampan juga. Apa dia pacar barumu?” tanya Mutia tiba-tiba.

Diva tersedak, segera meneguk air untuk menelan makanannya.

“Maksud Mama?”

“Loh kamu gak ingat? Kemarin malam kamu diantar sama seorang pria, kalau gak salah namanya..”

“Johan?” wanita paruh baya itu menggeleng, masih berusaha mengingat nama pria tampan itu. Diva sendiri mulai merasa tidak enak.

“Juandra, itu namanya,”

Deg!

Kabar buruk di pagi hari. Habislah sudah riwayat Diva sebagai mahasiswi bimbingan pria itu. ternyata itu bukan mimpi semata. Dia yang meneriaki Juandra dan menolak diantar pulang, ternyata benar-benar terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status