Share

BAB 4. Bad Situation

Dia meneguk lagi minuman berwarna, beralkohol kadar tinggi. Dia sudah sempoyongan, tetapi tidak terbesit niat untuk berhenti. Satu gelas terisi dan diteguk sampai habis.

Hari ini benar-benar menjadi hari terburuk. Diva akan menandainya di kalender dengan tinta hitam, sesuai warna yang amat dia benci. Sudah jatuh, tergelincir, tertimpa tangga pula. Satu pepatah yang cocok menggambarkannya hari ini.

“Kak Johan!” panggilnya, cowok setinggi 170 cm itu menoleh. Dia menaikkan alisnya, mempertanyakan siapa gadis yang memanggilnya. Diva berlari, mendekat. Cowok itu sama sekali tidak berubah bahkan setelah tiga tahun tidak bertemu. Masih tampan dan penuh karisma.

“Kakak gak ingat Diva?”

“Diva? Aku hanya kenal Diva Ariesta, yang tidak sebaik kamu. Maaf dari segi wajah,”

Diva terdiam, benar juga dua tahun tidak bertemu dengan Johan. Cowok itu pasti tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenali wajah barunya. Gadis itu menghela napas, mencoba tersenyum. orang mengenal Diva  yang berwajah pas-pasan.

“Ini aku, Johan. Diva Ariesta, putri dari Papa Raska dan Mama Mutia. Anak kedua dari dua bersaudara. Aku punya kakak laki-laki yang sekarang menjadi dosen di salah satu universitas ternama di Jakarta. Apa kamu mengingatnya sekarang?” jelas Diva berharap Johan akan mempercayai perkataannya.

Cowok di depannya belum memberi reaksi apa pun.

“Data pribadi bisa diambil dari mana saja. Aku bisa melaporkanmu yang berpura-pura menjadi orang lain,” ancam Johan.

Benar juga, tidak semudah itu mendapatkan kepercayaan dengan wajah barunya.

“Saka Pramudyono, meninggal akibat kecelakaan sekitar tiga tahun lalu, begitu juga dengan aku. Ada hal yang terjadi, hingga wajahku harus dioperasi. Awalnya aku berpikir akan mendapat wajah yang sama, tetapi dokter yang menanganiku salah menerima foto. Ini aku, Johan. Diva Ariesta, gadis yang sampai detik ini masih menyukaimu,” tutur Diva menatap sendu tepat di mata Johan. Mata yang membuat dia jatuh hati di detik pertama pertemuan mereka.

“Bahkan cowo yang aku suka, tidak mengenali wajahku,” gumamnya menghela napas berat.

Dia tertawa, meneguk minumannya yang ke sekian. Satu botol wine berkadar alkohol cukup tinggi sudah kandas.

“Div, ke dance floor kuy!”

“Enggak ah, aku udah gak kuat!” tolak Diva.

Dia merebahkan tubuhnya di sofa. Rasa pusing menghampirinya. Diva terkekeh dengan air mata yang tanpa sadar turun begitu saja. Dia menertawai kehidupan yang tidak pernah adil padanya.

“Aku kehilangan Saka. Tidak lagi jenius seperti dulu, dan sekarang orang tua aja gak sudi punya anak bodoh sepertiku. Teman-temanku pergi satu per satu karena merasa aku semakin tidak berguna untuk mereka,” rancaunya.

People come and  go, seharusnya mudah untuk diterapkan. Ketika berguna, mereka akan datang, lalu pergi setelah tidak lagi membutuhkan kehadiran kita.

“Hai manis,” sapa seseorang, berjalan sempoyongan ke arah  Diva.

Gadis itu memperbaiki posisinya, mulai was-was. Orang itu sepertinya sudah mabuk juga.

“Mau ke mana sih? Duduk dulu, temani aku ngobrol, “ ucap pria itu menahan tangan Diva yang hendak beranjak. Gadis itu berusaha keras melepas genggaman tangan pria yang semakin erat.

“Tolong lepas!” perintahnya. Pria itu tertawa, menarik Diva yang dalam sekali hentakan jatuh ke pangkuannya.

Pria itu semakin menjadi, mulai menyentuh wajah Diva yang sangat sempurna. Gadis itu tentu saja memberontak, berusaha keluar dari kukungan pria tidak dikenalnya itu.

“Kumohon lepaskan!”

Diva mulai terisak. Hari ini sungguh berat untuknya. Raskal yang terus mendesak. Dosen pembimbing yang tidak menghargai kerja kerasnya. Cowok yang disukai tidak mengenalinya dan sekarang, dia dalam masalah besar.

“Dia bilang lepas!” ucap seseorang.

Diva yang tadinya menutup mata sembari berdoa, mulai memiliki harapan. Suara itu meski samar, terasa familier untuknya. Dia sudah sering mendengarnya, jadi tanpa melihat pun, dia bisa menebak dari suaranya.

Pertanyaannya, apa yang dilakukan pria yang terkenal perfeksionis dan kritis itu di dunia malam yang jauh dari kehidupannya sebagai seorang dosen? Atau Diva yang salah mengenalinya?

“Mau sampai kapan di situ?” tanya suara itu. Diva menoleh dan menemukan Juandra yang menatapnya dingin. Pria itu mengulurkan tangan untuk menarik mahasiswi bimbingannya itu.

“Hei, kenapa mengganggu kesenangan kami?” cecar pria tadi tidak terima. Juandra menyembunyikan Diva di balik punggungnya. Menjauhkan gadis itu dari jangkauan pria mabuk di depannya.

“Kesenangan? Apa membuat seorang menangis adalah sebuah kesenangan?’ tanya Juandra tajam.

“Ck, ayolah! Aku hanya ingin bersenang-senang. Jangan menggangguku!” tukas pria itu hendak menarik paksa tangan Diva.

“Dia milikku malam ini, jadi jangan mengganggunya atau anda akan tau akibatnya!” pungkas Juandra tidak kalah mengerikan. Pria itu menarik tangan Diva.

Gadis itu berjalan terseok-seok, beberapa kali hampir jatuh karena tidak bisa berjalan dengan benar. Juandra mendengkus, menatap tajam gadis yang teramat menyusahkan itu.

“Apa ini kerjaan seorang mahasiswa? Apa ini karakter yang menggambarkan seseorang yang terpelajar?” cecarnya.

Diva menggerucutkan bibirnya. Memang siapa yang membuatnya seperti sekarang? Dia pusing dan butuh pelampiasan. Alhasil dia memilih untuk ke klub daripada pulang. Yang ada dia akan semakin stress.

“Bapak tadi mempertanyakan tentang kesenangan yang membuat seseorang menangis, bukan? Bapak sendiri bagaimana? Apa membuat saya stress, pusing dan nyaris tidak bisa bertahan adalah sebuah kesenangan?” rancau Diva mengeluarkan unek-unek dalam hatinya.

Gadis itu berjongkok, membuat Juandra kebingungan karenanya.

“Berdiri atau mau saya tinggal?” ancam Juandra.

“Pergilah! Aku juga gak mau pulang, nanti pasti kena masalah lagi,” sahut gadis itu tanpa ragu.

Gadis itu meletakkan kepala di lipatan lututnya, persis seperti anak hilang. Juandra menghela napas. Gadis itu selalu saja menyusahkannya. Tidak di kampus, juga di luar kampus.

“Bangun! Saya antar kamu pulang atau saya tidak akan pernah meluluskan kamu!” Ancaman yang seharusnya ampuh untuk membuat gadis itu menurut.

“Ancam aja terus! Desak aja terus! Bapak gak pernah tau kan apa yang saya alami? Bapak gak tau seberapa keras saya berusaha? Seberapa  keras saya mencoba dan akhirnya tidak berarti di mata Bapak!” teriak Diva berani.

Gadis itu mencoba berdiri, membalas tatapan dingin yang Juandra tujukan padanya.

“Bapak mengancam dengan mudah, menyuruh saya ini itu, menyuruh saya mengulang mata kuliah terus menerus. Saya lelah, Pak! Saya juga udah berusaha keras untuk mengerjakan tugas dari Bapak!” cecar Diva lagi. Mata gadis itu mengembun, siap meluncurkan air mata.

Orang mabuk biasanya sangat jujur.

“Ayo pulang,”

Tanpa menunggu respon dari Diva, pria itu mengangkat tubuh gadis itu tanpa izin. Awalnya Diva memberontak, sampai akhirnya mengalah. Gadis itu bahkan mulai terisak dalam pelukan Juandra.

“Saya juga gak mau ada di posisi ini, Pak. Saya juga ingin menjadi diri saya yang dulu, tetapi saya gak bisa,” lirihnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status