Share

BAB 6. Toko Kue

Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.

“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”

Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi  penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.

Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.

Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa.

“Aduh, Pak bisa gak lupa ingatan aja?” rancaunya kesal.

Ponselnya kembali berdering. Meski malas, gadis itu meraih ponselnya. Matanya membulat, menemukan nama Juandra di sana. Yup, habis sudah.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Dia berpikir cepat, mengabaikan panggilan dari Juandra. Jemarinya mencari nama seseorang yang mungkin bisa memberi solusi.

Raya, mahasiswa jurusan dan satu dosen pembimbing yang sama dengannya. Gadis itu satu tingkat di bawahnya, tetapi sudah menjalani proses sampai di tahap menyusun skripsi, sementara Diva? Jangan tanya lagi, masih gagal.

Gadis bernama Raya itu cukup dekat dengan Juandra, bahkan menjadi asisten dosennya itu. Raya sering ditugaskan menggantikan pria itu memeriksa tugas mahasiswanya, terkadang malah diberi mandat untuk mengawas ujian.

Diva mengenalnya saat gadis itu mengawasi ujian terakhir mata kuliah yang sampai detik ini belum juga tuntas.

Di sinilah dia sekarang. Setelah bersiap dalam waktu sesingkat mungkin gadis itu kini berada dalam sebuah cafe, tempat yang disepakati keduanya.

Gadis itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Rasanya sangat tidak sabar menunggu kehadiran Raya. Senyumnya merekah menemukan kehadiran Raya yang berjalan tergesa-gesa.

“Maaf ya, Kak, tadi jalan macet banget,” ucapnya begitu sopan. Diva mengangguk, gadis itu tetap menghormatinya sebagaimana mestinya. Tidak  angkuh meski sudah satu langkah di depan Diva.

“Aku butuh bantunmu, Ra,”

“Aku ga bisa membantu Kakak dalam hal nilai. Aku hanya diberi tugas memeriksa, sementara nilai akhir tetap di tangan Pak Juan, Kak,” sahut Raya, berpikir jika bantuan yang Diva butuhkan adalah soal nilai.

“Bukan itu, Ra,”

Diva menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk menceritakan semua yang dia ingat tentang malam itu.

“Aku stress makanya ke klub, meski itu memang bukan pertama kali sih,” ucap Diva memberi pembelaan setelah sesi cerita berakhir. Raya terlihat berpikir, cukup terkejut mendengar cerita kakak tingkatnya itu. siapa sangka Diva akan bertemu Juandra di klub, tempat haram yang tidak seharusnya dimasuki seorang pria seperti Juandra.

“Masalahnya sangat rumit sih, Kak. Pak Juan sangat tidak suka mahasiswa yang ehm, maaf sangat tidak beretika seperti itu. Sebagai mahasiswa terpelajar, mungkin Kakak harusnya bersikap lebih baik sih,” ungkap Reya memperdalam rasa frustrasi Diva.

“Aku tau, tapi apa dia tidak mengatakan apa pun padamu?”

“Tidak! Aku baru mendnegar ceritanya dari mulut Kakak,” aku Raya berkata sangat jujur. Diva terlihat berpikir, mungkin Juandra akan mengomel padanya dulu, sebelum memberi hukuman yang kemungkinan menjadi akhir dari hidupnya sebagai seorang mahasiswi.

“Akh, aku bisa gila jika begini terus!” teriak Diva tanpa sadar.

Raya memanggil pelayan, menyebutkan pesanannya, juga membelikan sesuatu untuk menenangkan kakak tingkatnya itu. Diva terlihat begitu sstres sekarang. Niat hati mengurangi beban, malah menambah masalah.

“Minum dulu, Kak,” ucapnya menyodorkan minuman dingin. Diva menggumamkan terima kasih, meneguk minuman yang terasa dingin di mulutnya. Melupakan hal yang sebenarnya sangat penting untuk kesehatannya.

“Aku gak bisa membantu banyak, tapi mungkin Kakak bisa menemui Pak Juan dan bicara baik-baik. Kakak bisa pergi membeli kue kesukaan beliau untuk mendapatkan hatinya. Paling tidak, dia akan lebih lembut dan mungkin bisa diajak kerja sama,”

Seperti mendapat berlian, mata Diva terlihat berbinar.

“Kue apa?”

Raya mengambil ponselnya, menunjukkan sebuah toko kue yang tempatnya lumayan jauh. Diva yang tidak memiliki pilihan, menerima saja saran dari gadis itu, berharap bisa menyelesaikan masalahnya.

“Tempatnya lumayan jauh, dan mungkin udah gak eksis lagi tokonya,”

“Gak apa, aku akan coba. Aku bahkan akan mencari pembuat kuenya, asal bisa membuat Pak Juandra mau bekerja sama,” sahut Diva tanpa ragu.

Gadis itu memutuskan untuk pergi ke tempat tersebut. Dia memilih mengendarai mobil sendiri, daipada haru menyusahkan orang lain. Awalnya, Raya berkeinginan untuk membantu, tetapi panggilan mendadak dan snagat penting membuat gadis itu mengurunkan niatnya.

Alhasil, Diva pergi seorang diri.

Perjalanan membutuhkan waktu hampir dua jam.

“Yup, aku menghabiskan dua jam demi sekotak kue. Baikah, demi masa depan sebagai sarjana, ayo semangat,” gumamnya meyakinkan diri.

Gadis itu mengenakan kacamata hitam, sebelum memasuki toko yang sudah cukup kumuh tersebut. Seperti yang Raya jelaskan, toko itu  sudah tidak eksis lagi. Tidak ada pelanggan atau keramaian seperti di toko kue pada umumnya.

Diva cukup beruntung, seorang pria tua yang diduga adalah pembuat kue, masih berada di sana.

“Selamat datang, Nona,” sambutnya hangat.

“Kakek, apa aku bisa memesan sekotak kue manis?” tanya Diva hati-hati.

“Ah kue itu, maaf Nak. Aku sudah lama tidak membuatnya. Terakhir kali, aku membuatnya untuk sepasang kekasih. namun, semenjak mereka tidak berkunjung, aku tidak lagi membuatnya,” jelas pria tua itu. punggung Diva menyurut. Hilang sudah harapnnya.

“Begitu ya?” gumamnya lirih.

Pria tua itu terlihat tidak enak hati sudah mengecewakan calon  pelanggannya.

“Tidak bisakah membuatnya? Aku bersedia membantu Kakek,” bujuk Diva belum menyerah. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan hati Juandra hanya kue kesukaan pria itu.

“Mungkin jika kamu mau berbelanja, aku bisa membuatkannya,”

Senyum Diva kembali. Gadis itu tentu saja menerimanya dengan semangat yang tinggi. Dia bahkan tidak keberatan jika harus berpanas-panasan untuk belanja perlengkapan membuat kue. Semua dilakukan demi masa depannya. Mau ditaruh di mana wajahnya, jika sampai dikeluarkan secara tidak terhormat dari kampus.

Diva mengabaikan rasa lelah dan pusing yang menghampiri, juga dentuman memekakan telinganya. Dia memilih fokus berbelanja dan kembali setelah merasa cukup. Hari itu dia habiskan untuk membuat kue.

“Sudah jadi. Aku membuatkan dua kotak, kamu bisa menikmatinya bersama keluarga nanti,” ucap pria tua itu menyerahkan dua kotak kue manis.

Diva menerimanya dengan wajah sumringah. Rasanya lega sekali. Sekarang, dia hanya harus menyiakan mental untuk bertemu Juandra. Penentu akhir dari hidupnya sebagai mahasiswa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status