Share

BAB 7. Sia-Sia

Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging.  Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.

Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.

“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”

“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”

“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”

Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nyaman.

Merasa lebih baik setelah berolahraga, Juandra memutuskan untuk mandi. Hari ini dia haanya ingin bersantai tanpa melakukan apa pun. Namun, schedulenya berubah ketika melihat foto seseorang di ponselnya.

Juandra menghela napas berat. Sesungguhnya masih sulit menerima kenyataan bahwa wanita itu sudah pergi untuk selamanya. Wanita yang teramat dia cinta dan ada dalam bayangan akan menjadi masa depannya, menjadi ibu dari anak-anaknya.

Manusia punya rencana dan semesta punya kenyataan.

Juandra mengambil kunci mobilnya, bergegas turun. Tujuannya adalah tempat peristirahatan sang kekasih. Sampai hari ini, hatinya masih milik wanita itu. Tidak seorang pun yang berhasill memikat hatinya, mungkin tidak akan pernah ada.

“Jun, maaf,”

Setiap kali berkunjung, hanya itu yang bisa dia gumamkan. Penyesalan  terdalamnya adalah tidak ada di sisi wanita itu. Dia juga tidak bisa menjadi alasan agar wanita itu tetap bertahan.

Kepala  Juan tertunduk dalam. Sangat menyakitkan ketika merindukan seseorang yang sudah tidak lagi bisa dilihat raganya. Juandra  merasa matanya panas dan siap meluncurkan air mata.

“Aku benar-benar minta maaf, Jun,” gumamnya mulai terisak.

Dia akan menjadi lemah saat berhubungan dengan Juni, wanita yang sangat dia cintai. Masa lalu yang terus menghantui, memerangkapnya begitu erat sampai rasanya sulit untuk merangkak keluar.

Juandra menghabiskan waktu hanya menangisi wanitanya. Dia memilih beranjak saat matahari semakin tinggi. Waktu yang dia rencanakan untuk bersantai, malah habis untuk menemani wanitanya.

Mata pria itu memicing, memastikan penglihatannya. Seorang gadis yang amat familiar tengah berjongkok di sisi sebuah makam.  Gadis itu terlihat bebricara panjang lebar, lalu berdoa sebelum beranjak dari sana.

“Diva, apa yang dia lakukan di tempat ini?” gumam Juandra.

Yup, gadis itu adalah Diva, gadis yang akhir-akhir ini sering masuk dalam kehidupannya. Juandra menghela napas, mengingat pertemuan terakhir mereka. Hari ini adalah saat yang tepat untuk mempertegas banyak hal.

Dia memilih menunggu sampai Diva selesai. Gadis itu terlihat bersiap pergi. Tidak jelas apa yang Diva bicarakan, yang pasti setelah bercerita, wajah Diva tampak lebih berbinar dan penuh kelegaan.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Juandra membuat gadis itu terkejut.

“Bapak membuat saya kaget aja ih,” dumelnya.

Gadis yang mengenakan topi hitam itu menggaruk telinganya, mengurangi kegugupan yang muncul tanpa aba-aba. Dia memuskan untuk ke makam Saka terlebih dahulu, sebelum mengunjungi apartemen milik Juandra. Namun, semesta sedang mempermainkan dia sepertinya. Seperti takdir yang terus terjalin, keduanya malah bertemu di parkiran TPU.

“Pak, soal kemarin malam,”

Diva menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Wajah Juandra masih sangat tenang. Namun, Diva sadar, semakin tenang wajah seseorang, semakin berbahaya.

“Bisa tolong dilupakan saja? Maksud saya begini, saya ke tempat itu di luar jam kampus, juga tidak mengenakan identitas kampus, jadi gak akan berdampak apa pun,”Diva mencoba menyusun kalimat yang masuk akal sebagai alibi.

“Kamu mabuk dan hampir diecehkan. Apa itu masih menggambarkan karakter seorang mahasiswi?”

“Saya pusing, Pak! Saya gak tau mau melampiaskannya ke mana lagi,” ungkap Diva tanpa sadar menaikkan nada bicaranya. Gadis itu memejamkan mata, rasa pusing terus saja menghampiri, entah apa yang salah dengannya.

“Maaf, Pak,” ucapnya lirih.

“Kamu tetap harus dihukum, karena sudah bertingkah menyebalkan dan membuat saya kesal kemarin malam,”

Diva mengerutkan keningnya. Dia tidak begitu ingat apa saja yang dia katakan atau lakukan saat bersama Juandra.

“Kamu muntah dan membuat jas kesayangan saya kotor,”

“Akan saya ambil dan cuci, Pak,” ucap Diva cepat, berharap akan mendapat keringanan. Juandra tidak merespon, hanya menatap gadis itu intens. Wajah gadis itu terbentuk sangat sempurna.

“Tidak perlu! Kamu hanya perlu bersiap menunggu hukumanmu saja!” pungkas Juandra. Akhir-akhir ini mengerjai Diva dan membuat gadis itu kesal menjadi cukup menyenangkan. Tanpa sadar sudut bibir pria itu melengkung, memunculkan segaris senyum yang amat tipis.

“Oh tunggu sebentar,”

Diva bergegas ke mobil, mengambil sesuatu yang mungkin bisa jadi penyelamatnya.

“Sekotak kue manis kesukaan Bapak. Saya gak bermaksud menyogok, kok. Anggap saja sebagai permintaan maaf dari saya,” jelas Diva, berharap penuh para Juandra.

Juandra menerima sekotak kue tersebut. Raut wajahnya berubah drastis. Rahangnya menegang, mata pria itu memerah, seperti menahan amarah.

Diva dibuat bingung dengan reaksi Juandra.

“Ada yang salah, Pak?” tanyanya hati-hati. Juandra menatapnya sangat tajam, melempar kue tersebut ke tempat sampah, tepat di hadapan gadis itu.

Diva membeku, tak mampu berkata lagi.

“Saya benci kue manis!” pungkas Juandra sebelum berlalu.

Tangan pria itu terkepal kuat.  Daripada melampiaskan kemarahannya pada Diva, lebih baik dia pergi.

Kini tersisa Diva yang menatap nanar kue yang berujung di tempat sampah. Perjuangannya sia-sia.  Dia mati-mati, menahan sakit demi mendapatkan kue itu.

“Kenapa dia tidak bisa menghargai usahaku sedikit saja? Kenapa dia sangat  kejam? Dasar monster sialan!” teriak Diva melampiaskan kekesalannya. Gadis itu menendang tempat sampah.

“Kenapa sih, Pak? Kenapa memperlakukanku begini?” gumamnya lirih. Gadis itu terduduk, dengan wajah di atas lipatan kaki. Rasanya sangat sakit ketika perjuangannya berakhir sia-sia.

Bukan hanya satu kali, Juandra tidak menghargai usahanya. Semua yang Diva lakukan selalu salah di mata pria itu.

Gadis itu menepuk dadanya yang mulai terasa sesak. Baru ingat hari ini dia bahkan belum mengisi amunisi sama sekali, ditambah minum es yang memperburuk keadaannya.

Dia mencoba berdiri, menjadikan badan mobil sebagai penyangga. Namun, naas kakinya yang seperti jelly tidak lagi mampu menahan berat tubuhnya.

“Saka, tolong,” gumamnya lirih.

Keadaannya sangat menyedihkan. Seorang diri di parkiraan dengan tubuh yang tidak lagi mampu untuk sekedar berdiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status