Share

BAB 8. Cara Terakhir

Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.

Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.

“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.

Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.

“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukainya ada di ruangannya.

Dia bahkah mengucek matanya berkali-kali, menghapus jejas air bening yang menghalangi pandangannya. Dia berusaha meyakinkan diri sendii kalau Johan, sosok yang dikauinya itu memang nyata, bukan sekedar ilusi.

“Bagaimana keadaan kamu?” tanya suara itu lagi.

“Ah, jauh lebih baik. Jadi Kak Johan yang membawaku ke rumah sakit?”

“Heum, aku sedang ke TPU kemarin sore dan menemukanmu di di parkiran. Kalau aja hari itu aku mengikuti rasa malas untuk berjiarah, entah siapa yang akan menolongmu,” jelas Johan. Diva tersenyum kaku. Entah suatu keberuntungan atau apa, membayangkan Johan menggendongnya dari TPU, membuat hatinya berdesir hangat.

“Kenapa kamu bisa pingsan di sana?” tanya Johan mengerurkan dahinya.

Dalam pikirannya, mungkin Diva bertemu sosok mahluk halus, sampai akhirnya tidak sadarkan diri. Diva sendiri berpikir keras, memikirkan jawaban yang tepat.

“Entahlah, mungkin karena kecapean aja,”

“Dokter bilang selain kecapean, kamu juga kehilangan banyak amunisi. Ssibuk apa sih, sampai lupa makan? Kalau sakit, siapa yang rugi coba?” omel Johan.

Hati Diva mendadak rapuh, mendengar omelan Johan. Dia seperti merasakan kehadiran Saka lagi. Sahabatnya itu biasa akan mengomel kalau Diva sakit. Dulu, Diva sering masuk rumah sakit karena terlalu sibuk mengukir prestasi, sampai lupa kesehatan sendiri.

“Janji gak akan diulangi lagi,” sahut Diva mengukir senyum tulus.

Kehadiran Johan seperti penyembuh untuknya. Meski setelahnya, rasa sakitnya kembali melihat kehadiran Raskal. Wajah pria paruh baya itu menunjukkan amarah yang besar. Di sisinya, Mutia menahan lengan sang suami, berusaha menenangkan pria tersebut.

“Kamu keluar dulu, saya ingin bicara dengan putri saya,” suruhnya pada Johan.

Johan hanya mengangguk kecil, kemudian berpamitan. Dia menoleh sekilas, sebelum berbalik dan menghilang di balik pintu. Tersisa sepasang suami istri dan putrinya di ruangan itu. Hening, tak ada yang membuka suara. Mutia terus mengusap punggung Raskal, agar tidak keterlaluan pada putri mereka yang masih sakit.

“Kalau Papa datang hanya untuk memarahi Duva, lebih baik gak usah deh. Diva juga bisa mengurus diri sendiri,” ucap Diva memecah keheningan.

Raskal memejamkan mata, menahan gejolak emosi yang tersulut kembali oleh perkataan lancang putrinya sendiri.

“Mau sampai kapan kamu seperti ini?”

“Apa? Gagal lagi? Itu maksud Papa? Pernah gak sih Papa bertanya kabar Diva gimana? Apa Diva kesulitan menghadapi hidup atau tidak? Papa selalu nuntut agar Diva berhasil, lulus kuliah, tanpa pernah tau apa yang Dia alami! Diva juga capek, Pa,” hardik Diva. Suaranya melemah di akhir.

Jikalau bisa memilih, Diva ingin hidupnya yang dulu sekali. Dia ingin hidup sebagai gadis biasa kebanggan orang tua dan keluarganya. Dia ingin hidup sebagai gadis yang berguna untuk banyak orang. Bukan gadis pembangkang yang hanya mengandalkan kecantikan belaka.

Raskal tercenung mendengar keluhan putrinya. Sebagai orang tua, dia hanya menginginkan yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya.

“Diva gak tau harus melakukan apalagi, Pa, Ma,” gumam gadis itu.

Mutia peka, lantas meraih putrinya itu ke dalam dekapannya. Mutia menyadari kalau tidak mudah menerima perubahan yang terlalu signifikan dalam hidu putrinya.

“Udah, kamu istirahat dulu aja. Gak usah terlalu dipikirkan,” ucap Mutia menenangkan.

“Kamu gak bisa seperti ini terus,” ucap Raskal membuka suara.

“Maksud Papa?”

“Mas, nanti aja bahasnya,” tegur Mutia memberi kode lewat mata, agar Raskal berhenti. Diva perlu istirahat, dan bukan sekarang saat untuk membahas masalah tersebut. Raskal seolah tidak peduli pada peringatan dari istrinya.

“Masalah ini harus diselesaikan sekarang. Kalau kamu capek kuliah, maka tidak perlu dilanjutkan, tetapi Papa akan menikahkan kamu dengan anak kolega Papa, jadi silakan pikirkan baik-baik keputusannya. Kamu bebas memilih, karena kamu bukan anak-anak lagi,” tukas Raskal.

“Pa..”

Diva menatap Mutia, memohon bantuan dari wanita paruh baya itu. Menikah atau kuliah dengan tekanan? Diva bahkan tidak pernah memiliki pemikiran untuk segera menikah, apalagi dengan orang yang tidak dicintainya.

Seberapa keras pun dia memikirkannya, tak kunjung memperoleh jawaban. Keputusan Raskal sudah tidak dapat diganggu gugat. Masalahnya dua pilihan itu sama-sama berisiko. Diva mengepalkan tangan kuat. Juandra bukan orang yang mudah untuk diluluhkan, begitu juga dengan Raskal.

Gadis itu menghela napas gusar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang.

“Tunggu, mantra itu, mungkin aku bisa mencobanya ‘kan?”

Teringat nomor seseorang yang diberikan oleh supir taksi beberapa hari yang lalu, Diva lantas meraih ponselnya, mencoba mengingat nama kontak tersebut.

Di dering kedua, terdengar suara seseorang dari seberang sana. Diva sedikit basa-basi dengan memperkenalkan dirinya.

“Boleh kita bertemu? Aku butuh mantra untuk meluluhkan hati seorang dosen galak.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status