Share

BAB 3. Musuh Bebuyutan

“Saka awas!”

Terlambat, mobil yang melaju kencang dan kehilangan kendali itu, menabrak pembatas jalan, hingga hancur berkeping-keping. Belum sempat menyadari apa yang tengah terjadi, tubuhnya sudah terdorong kuat, keluar dari mobil. Tubuhnya terlempar sangat kuat, hingga menyentuh aspal.

“Saka!” teriak gadis itu. sang sahabat masih tersisa di dalam mobil yang sebentar lagi akan meledak. Tertatih, dia mencoba bangkit, meski tubuhnya terasa sangat sakit.

Duar! Suara ledakan muncul bersama api. Tubuh gadis itu kembali terpental, cukup jauh. Wajahnya penuh luka bukan saja sebab terkena aspal yang keras, tetpi juga akibat ledakan yang membuat wajahnya hampir tidak dikenali.

“Saka!” gadis itu terbangun dengan keringat membasahi keningnya. Gadis itu menoleh, menemukan foto dua orang berlawanan jenis yang tengah tersenyum lebar.

“Ka, maaf,” lirihnya.

Dadanya seperti dihimpit oleh sesuatu membuat dia sedikit sulit mengatur napas. Gadis itu meraih gelas dan meneguk isinya sampai habis. Merasa membaik, dia melangkah turun dari ranjang.

Pantulan wajah di cermin membuatnya terpaku. Wajah di cerin itu berbeda jauh dengan wajah gadis yang tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi ratanya di foto.

“Ini seperti bukan aku,” gumamnya.

Saka Pramudyono cowok yang ada di sebelah gadis dalam foto. Cowok yang sejak dulu selalu ada.

Diva mengusap wajanya, menenangkan diri. Hari ini dia akan menemui seseorang yang sangat menyebalkan. Dia mengikat rambutnya asal, kemudian mengecek ponsel yang beberapa waktu dalam mode jangan ganggu.

Gadis itu duduk di sofa, mengecek riwayat panggilan dan pesan yang memenuhi ponselnya. Nama Juandra si musuh bebuyutan ada di urutan teratas. Bukan sembarang nama, pria itu adalah sosok dosen yang mempersulit hidupnya.

Mengingat kegagalan membuat suasana hati Diva buruk. Gadis itu meletakkan ponselnya, tanpa sedikit pun niat untuk membalas pesan dari dosennya itu.

“Awas aja kalau masih nolak judul yang aku ajukan, aku kirimin jimat biar mampus!” ocehnya.

Waktu yang menunjuk pukul tujuh, membuat dia bergegas bersiap, lantas menemui pria yang sedari kemarin mengganggu hidupnya.

Diva bersenandung kecil selama mandi, menikmati sentuhan air hangat di kulit mulusnya. Mandi dengan air hangat rupanya mampu mengembaikan mood-nya. Kaus yang dipadukan dengan rok berwarna peach ditambah jaket yang senada dengan bawahannya, menyempurnakan penampilannya hari ini.

“Sempurna!” gumamnya tersenyum puas. Dia mengambil tas selempang, dan bergegas turun.

“Mau ke kampus?” tanya seseorang. Diva menghentikan langkahnya. Perasaannya mulai tidak enak. Padahal dia berharap tidak bertemu dengan pria paruh baya itu, agar kewarasannya tetap terjaga. Setelah ini pun, dia akan menemui seseorang yang bisa membuat kewarasannya hilang.

“Iya,” sahut Diva singkat.

Pria paruh baya itu meletakkan majalah dengan wajah Diva pada cover di atas meja. Pria itu terlihat menghela napas.

“Papa sudah bilang tidak perlu bekerja sebagai model lagi. Kamu hanya harus fokus pada studimu yang belum juga selesai. Apa kamu akan terus seperti ini? Menentang perkataan Papa?”

Diva menatap majalah yang tergeletak tak berdaya. Wajah sempurnanya mengisi majalah itu. Rupanya pria paruh baya di depannya masih belum merestuinya juga.

“Ada yang salah? Toh Diva juga memenuhi kewajiban, dengan mengerjakan tugas-tugas Diva sebagai mahasiswa,” kata Diva membela diri.

Raskal mengusap wajahnya. Putrinya itu benar-benar keras kepala. Pendiriannya juga sangat kuat. Jika ya, maka ya dan begitu pun sebaliknya. Berkali-kali Raskal coba membujuk Diva agar berhenti melakukan photoshoot dengan tujuan, agar putrinya itu hanya fokus pada kuliahnya saja.

“Kamu udah memasuki semester 10, Diva. Mau sampai kapan gagal terus?”

“Papa keberatan membiayai kuliah Diva yang belum tuntas?” tanya Diva.

“Bukan begitu, Papa gak pernah keberatan, hanya saja ini bukan kamu. Ini bukan Diva yang Papa besarkan dengan baik. Diva yang Papa kenal itu sangat cerdas dan berprestasi, sementara kamu..” Raska menghela napas, berusah menenangkan diri agar tidak melewati batas.

Diva terkekeh kecil. Raskal memandangnya berbeda sejak hari itu. Hari di mana Diva terbangun setelah koma selama tiga bulan. Diva terbangun dengan wajah yang berbeda. Mereka bahkan hampir tidak mengenali putrinya, jika suara khas Diva tidak memanggilnya.

“Pa,” Diva meneguk ludahnya, merasa berat jika harus berhadapan dengan Raskal.

“Tolong ikuti kemauan Papa. Kamu cukup fokus belajar dan menyelesaikan pendidikanmu. Itu saja, apa susahnya, Diva?” tukas Raskal mulai kehilangan kendali atas dirinya.

“Kalau Papa keberatan masalah uang kuliah, mulai semester ini Papa tidak perlu membiayai kuliahku lagi. Aku bisa mengatasinya, dengan catatan Papa juga tidak boleh memaksaku untuk berhenti menjadi model,” pungkas Diva.

Gadis itu memutuskan untuk pergi, menghiraukan teriakan Raskal yang memintanya untuk berhenti. Diva mengendarai mobil merahnya di atas rata-rata, menggenggam erat stir mobil.

“Apa Papa tidak mengerti juga? Kenapa terus mendesakku? Ini juga bukan keinginanku!” teriaknya frustrasi.

Raskal hanya terus mendesaknya kembali seperti dulu, tanpa tahu apa yang Diva rasakan. Gadis itu sendiri juga kesulitan menjalani hidupnya yang berubah 180 derajad.

..

Baru juga dibuat kesal oleh Raskal, pagi ini suasana hatinya dibuat kacau balau oleh Juandra William, si musuh bebuyutan Diva.

“Judul macam apa ini?” ucapnya melempar dokumen pengajuan judul yang coba Diva buat. Gadis itu menatap nanar dokumen yang tergeletak di atas lantai. Dia sudah berusaha keras membuatnya, bahkan hampir jatuh sakit karena memaksa otaknya berpikir keras.

“Bisa gak Bapak menghargai usaha orang lain, sekali aja? Bapak pikir saya gak berjuang mati-matian untuk membuat itu?”

Diva berdiri, mendorong kursi dengan kasar sebagai bentuk pelampiasan, sebelum pergi. Toh apa gunanya? Juandra akan terus menolaknya.

“Diva, kamu dengar saya?”

Semua hanya angan. Diva yang ingin memberontak nyatanya hanya berada dalam angan. Gadis itu tidak seberani itu untuk membantah dosen di depannya. Pria yang menjadi penentu akhir hidupnya sebagai mahasiswa.

“Iya, Pak?”

Juandra bersandar, menatap Diva intens dengan tangan dilipat di depan dada.

“Kamu tau kalau saya gak suka diabaikan, bukan? Coba ulangi apa yang saya katakan sebelumnya!” suruh Juandra.

Diva gelagapan. Masalahnya, dia sama sekali tidak mendengar sedikit pun apa yang Juandra katakan terkait judulnya.

“Maaf, Pak,”

Hanya itu yang bisa dia katakan, berharap Juandra akan memaafkan kesalahannya kali ini.

“Kamu gagal di tahun kedua mata kuliah dari saya, dan dengan percaya dirinya kamu mengajukan judul skripsi?” cecar Juandra.

Diva terheyak, tidak mampu berkata-kata lagi. Juandra menjabat sebagai dosen pembimbing skripsinya, sekaligus dosen yang belum juga menuntaskan mata kuliah perkara penulisan esai yang katanya kurang tepat.

“Padahal nilai kamu dari semester satu sampai empat sangat sempurna, kenapa merosot sekali di semester berikutnya?”

Seandainya Bapak tau apa yang terjadi, batinnya

Juandra memakai kacamatanya kembali.

“Masuklah mata kuliah saya semester ini. Gabung saja dengan prodi lain. Kamu harus menuntaskannya semester ini atau saya gak akan pernah membantu skripsi kamu!”

Ultimatum terakhir. Diva hanya bisa pasrah. Salahkan saja Juandra yang begitu perfeksionis. Selama ini meski pas-pasan, Diva selalu tuntas dan menyelesaikan mata kuliahnya.

“Dasar dosen gila!” dumelnya dalam hati, sementara bibirnya berusaha mengulas senyum teramah untuk berpamitan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status